Thursday, November 18, 2010

Cerita 1: Ibu dan Anaknya

Ada yang menarik saat aku mengikuti sholat Idul Adha kemarin, 17 November 2010. Seperti biasa, usai sholat, para jamaah tak seluruhnya mendengarkan khotbah dengan khusyuk, begitu juga aku. Suara Imam yang memeerika khotbah hanya terdengar sayup-sayup dari shaf belakang, sedangkan suara tangis anak-anak kecil jauh lebih riuh dan menarik perhatianku.

Di shaf depanku agak ke kiri, kulihat dua orang anak perempuan yang sepertinya kakak beradik sedang bertengkar, sang adik memukul si kakak, lalu sang kakak meludahi si adik namun air ludahnya justru mengenai seorang perempuan yang sedari tadi sibuk memakaikan sepatu pada keduanya. Awalnya kukira perempuan itu adalah Ibu kedua anak tersebut, namun ternyata bukan. Perempuan itu adalah pengasuh dua anak itu, sedangkan Ibunya ada sebelahnya, sibuk merapikan rambut.

Ternyata, saat dua anak tadi bertengkar, mereka baru saja hendak pergi ke tukang balon di pinggir lapangan diantar oleh pengasuhnya, namun saat Ibunya mengetahui ulah si kakak yang meludah sembarangan, sang Ibu pun geram. Ia berkata pada pengasuh anaknya “Udah nggak jadi aja mbak, sini uangnya.” Kemudian ia mengambil uangnya kembali dan memasukkannya ke kotak amal. Si kakak pun cemberut, sungguh, wajah anak ini sangat mencerminkan bahwa ia badung, super badung! Hahahaha.

Dua anak ini pun kecewa karena tak jadi dibelikan balon, mereka bergelayut manja pada pengasuhnya-bukan pada Ibunya! Saat itu aku benar-benar merasa bahwa si pengasuh ini lebih cocok menjadi Ibu anak-anak itu. Si pengasuh pun hanya bisa menghibur sekenanya, tentu saja ia tak mungkin membelikan balon untuk keduanya menggunakan uangnya sendiri, salah-salah malah dipecat.

Yang menarik bagiku adalah bagaimana hubungan antara Ibu dan anak bisa demikian tergantikan oleh hubungan antara pengasuh dan anak. Jika melihat penampilan sang Ibu, sepertinya ia memang tipikal wanita karier yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga urusan mengasuh anak pun ia limpahkan pada pengasuh.

Cerita belum selesai, tak lama kemudian si Ibu pun luluh dan akhirnya dua anak ini dibelikan balon masing-masing satu. Setelah mendapatkan balon pun, mereka tetap lebih nyaman duduk berdampingan dengan si pengasuh dibangdingkan dengan Ibunya sendiri.

Selesai di sana, pandanganku teralih pada jamaah yang duduk tepat di depanku. Seorang ibu dengan jilbab lebar dan berkaus kaki, sedang khusyuk mendengarkan khotbah. Tiba-tiba datanglah tiga orang anak perempuan yang sepertinya kakak beradik. Anak yang paling besar membawa seplastik bakso goreng, kemudian dua orang adiknya mengikuti di belakangnya. Mereka bertiga duduk di sebelah ibunya lalu memakan bakso goreng yang hanya satu bungkus itu secara bergantian, mulai dari anak yang paling tua kemudian adik-adiknya.

Aku gemas melihat ekspresi wajah si adik bungsu, yang dengan penuh harap melihat ke arah kakaknya yang tengah mendapat giliran makan. Mereka akur, tak ada yang memancing keributan.

Si sulung tampaknya berhasil memberi teladan pada adiknya, bagaimana caranya berbagi dengan saudara. Sampai pada saat bakso goreng yang terakhir dilahap oleh si bungsu, mereka semua tertawa tanpa ada satu pun yang iri dan merasa mendapat jatah lebih sedikit dibanding lainnya.

Khotbah pun usai, sang Ibu berjilbab lebar tadi mengemasi sajadah dan alas sholat mereka, kemudian menggandeng si bungsu. Sedangkan si sulung menggandeng si tengah. Mereka meninggalkan lapangan dengan tertib tanpa ada tangisan rewel ataupun bentakan Ibu.

Aku mendapat dua gambaran yang kontradiktif hari ini, dan aku belajar satu hal penting: seorang anak bisa saja kehilangan kedekatan dengan ibu kandungnya sendiri.

Yah, semoga kelak aku bisa menjadi Ibu yang dekat dengan anak-anakku, amin.

No comments:

Post a Comment