: Dea Anugrah
Hei penyair (yang) bodoh,
Jika benar manusia dibentuk oleh masa lalunya,
aku memilih untuk menjadi seperempat manusia saja.
Agar tigaperempat sisanya bisa kuberikan padamu,
untuk kau bentuk bersama waktu,
menjadi esok, lusa, dan seterusnya.
Hei penyair (yang) bodoh,
Jika benar manusia tak pernah melupakan sesuatu,
aku memilih untuk menjadi tigaperempat manusia saja.
Agar tigaperempat itu menjadi ingatan tentangmu,
dan seperempat lainnya hanyalah kenangan pahit yang sedikit,
tidak akan membuat sakit.
Hei penyair (yang) bodoh,
Jika benar manusia tak pernah punya pilihan,
aku akan berterimakasih pada waktu,
yang menjadikan manusia manusia seperti kita ini bertemu.
Oh, penyair,
Jika benar kau adalah penyair (yang) bodoh,
maka aku telah menjadi kebodohan itu,
yang selalu berada di sampingmu dan menjadi satu.
Sehingga manusia manusia yang (katanya) dibentuk dari masa lalunya itu,
juga manusia manusia yang (katanya) tak pernah melupakan sesuatu itu,
serta manusia manusia yang (katanya) tak pernah punya pilihan itu,
melihat kita dan berkata:
"Penyair (itu) bodoh."
yang sama saja dengan
"Kamu (itu) aku."
satu.
Thursday, September 29, 2011
Tuesday, September 6, 2011
Buat pacarku yang bernama televisi
Riuh adik adik yang berlarian
mengitari rumah,
dan bertengkar,
sebentar kemudian menangis,
sekejap hilang seperti mimpi.
Rasanya seperti ditarik menuju peti mati.
Aku di sini
bersama televisi
mendekap sunyi hingga sepi.
Sedangkan ruang
dan waktu terus berjalan bersama mereka
dalam ketuk langkah langkah kecil
yang perlahan tak bersuara
tak sudi sampai ke telinga.
Hanya kepada televisi aku bicara
tentang betapa sepi itu menjadi demikian rumit,
dan cengeng.
Sebagaimana ribuan orang kesepian lainnya
yang punya banyak catatan untuk dibahasakan
kepada orang orang.
Namun hanya ada televisi yang tersenyum simpul
di hadapan mereka.
Pun aku saat ini!
Karena hanya ada televisi,
tersisa
di tiap tiap ruang keluarga
yang ditinggal pergi pemiliknya.
mengitari rumah,
dan bertengkar,
sebentar kemudian menangis,
sekejap hilang seperti mimpi.
Rasanya seperti ditarik menuju peti mati.
Aku di sini
bersama televisi
mendekap sunyi hingga sepi.
Sedangkan ruang
dan waktu terus berjalan bersama mereka
dalam ketuk langkah langkah kecil
yang perlahan tak bersuara
tak sudi sampai ke telinga.
Hanya kepada televisi aku bicara
tentang betapa sepi itu menjadi demikian rumit,
dan cengeng.
Sebagaimana ribuan orang kesepian lainnya
yang punya banyak catatan untuk dibahasakan
kepada orang orang.
Namun hanya ada televisi yang tersenyum simpul
di hadapan mereka.
Pun aku saat ini!
Karena hanya ada televisi,
tersisa
di tiap tiap ruang keluarga
yang ditinggal pergi pemiliknya.
Subscribe to:
Posts (Atom)