Tuesday, May 7, 2013

Street Food Indonesia Sebagai Bukti Kebhinekaan Bangsa



Street Food Dalam Konteks Kebudayaan Indonesia
Apa yang pertama kali muncul di kepala anda ketika membaca judul di atas? Mungkinkah anda memikirkan hal yang sama seperti yang saya pikirkan? Yang jelas di sini saya tidak akan bicara panjang lebar mengenai definisi street food beserta turunannya. Seperti yang kita ketahui bersama, dari asal katanya, secara sederhana street food dapat dipahami sebagai makanan yang dijual di ruang publik yang terbuka, biasanya di pinggir jalan. Karakteristik lain yang menonjol adalah penggunaan lapak yang portabel sehingga mudah dibongkar-pasang. Sedangkan untuk jenis makanan yang dijual, sangat beragam di berbagai belahan dunia, tapi umumnya merupakan jenis makanan yang ringan namun cukup mengenyangkan.

Bicara mengenai makanan, tentu kita tidak dapat memisahkannya dari konteks kebudayaan yang melekat padanya. Dalam hal ini, Indonesia yang karakter masyarakatnya heterogen membuat perkembangan makanan menjadi sangat beragam dibandingkan dengan negara yang homogen, walaupun konon masyarakat Indonesia memiliki satu nenek moyang yakni Bangsa Yunan.

Kemajemukan tersebut salah satunya tercermin dari banyaknya jenis kue/makanan ringan tradisional yang biasa dijual sebagai street food. Baik wilayah Indonesia bagian barat, tengah dan timur masing-masing memiliki banyak macam kue tradisional. Sebut saja kue cucur, otak-otak, tahu bakso, martabak, nagasari (atau naga sari?), cemplon, klepon, molen, pisang goreng, dodol, dan sebagainya. Yang menarik dari Indonesia—dalam beberapa kasus, terdapat dua atau lebih jenis kue yang memiliki nama dan berasal dari daerah yang berbeda, namun secara komposisi, rasa dan bentuk, sebenarnya tidaklah betul-betul berbeda. Maksud saya, terdapat beberapa jenis kue yang berasal dari daerah berjauhan, namun sangat mirip. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah ada-tidaknya satu/dua bahan di dalamnya, namun sehari-hari tetap saja disebut sebagai dua jenis kue yang berbeda nama dan asalnya.

Berbeda Namun Satu Rasa
Saya lahir dan besar di Yogyakarta, kedua orang tua saya berdarah dan berlidah Jawa—seleranya cenderung pada makanan manis, namun saya sendiri justru tidak terlalu suka rasa manis dan memiliki lidah yang lebih fleksibel. Karena itulah, saya lebih kerap melakukan “jelajah kuliner” sendirian daripada bersama orang tua saya. Beruntung, sektor kuliner di kota tempat tinggal saya, Yogyakarta, kini telah berkembang pesat dibandingkan ketika saya masih kanak-kanak. Mungkin posisi Yogyakarta sebagai kota tujuan bagi para pelajar dari berbagai wilayah Indonesia membuatnya lebih dinamis dalam merespon perubahan. Respon yang dinamis tersebut salah satunya dapat dilihat dari semakin bertambahnya ragam street food yang dijual. Sekarang ini tidaklah sulit mencari makanan khas daerah lain yang beberapa tahun lalu masih sangat jarang ditemui di sini. Misalnya saja papeda, masakan khas Indonesia Tengah dan Timur, hingga saat ini saya telah menemukan setidaknya dua warung makan di Yogyakarta yang menjualnya.

Suatu ketika, karena penasaran dengan sebuah warung makan yang menjual makanan khas Ternate, saya pun memutuskan untuk bertandang ke sana. Tanpa disangka-sangka, saya malah terlibat pembicaraan menarik dengan pemiliknya yang asli Ternate. Berawal dari pertanyaan saya mengenai kue-kue yang dijual di sana, ia pun menjelaskan dengan detail setiap nama serta komposisi kue-kue tersebut. Kebetulan dari tiga jenis kue yang dijual, saya sangat menyukai sebuah kue yang bentuknya seperti pai, di atasnya terdapat krim seperti susu, mirip dengan pai susu dari Bali. Namun pemilik warung tersebut menyebutkan nama kue tersebut bukanlah pai susu, melainkan tart fla. Ya, saya pun menyadari bahwa kue tersebut hanya berbeda topping-nya saja dengan pai susu dari Bali. Yang lebih mengagetkan adalah kue kedua yang saya makan, yaitu jenis kue manis yang sama persis dengan nagasari (atau naga sari?), sama-sama dibungkus dengan daun pisang dan berisi potongan pisang. Sama persis! Namun saya lupa pemilik warung asal Ternate tersebut menyebutnya dengan nama apa, kami pun sama-sama tertawa geli mengetahui fakta mengenai kue tersebut.

Kue tart fla dari Ternate

Sejak saat itu saya jadi memiliki kebiasaan memperhatikan berbagai makanan tradisional dari berbagai wilayah di Indonesia—terutama kue-kue, yang dijual di berbagai warung. Muncul perasaan senang yang ganjil setiap saya menemukan dua makanan yang sangat mirip, namun memiliki nama dan berasal dari daerah yang berbeda. Rasa-rasanya, berbagai konflik di Indonesia yang konon terjadi akibat banyaknya keragaman pada masyarakat kita menjadi demikian konyol. Bagaimana bisa membesar-besarkan perbedaan, namun di sisi lain, sesungguhnya banyak bentuk kebudayaan kita—dalam hal ini makanan, yang mirip bahkan sama persis antara satu daerah dengan yang lainnya?

Saya rasa, melalui ragam street food di Indonesia, kita dapat belajar banyak mengenai cara terbaik menyikapi perbedaan, yakni mempertahankan kecirian masing-masing tanpa perlu menjadi arogan. Mari kita ingat sejenak sosok lembut pai susu dari Bali yang tak pernah mempermasalahkan rasa manis-gurih milik tart fla asal Ternate—beda namun nyaris sama dengan miliknya. Keduanya tetap ada dan terus mengada, tanpa perlu menghilangkan yang lain.

Ketika saya hendak menutup tulisan ini, saya jadi teringat pada obrolan sore hari bersama seorang penjual tempe mendoan di Kebumen. Dialog kami kira-kira seperti ini:
“Mendoan jualan Ibu kering atau lembek, Bu?”
“Mendoan ya lembek, Mbak.”
“Oh, berarti seperti Mendoan Cilacap, ya?”
“Lho, nggak. Beda, di Cilacap nggak pakai tempe yang lebar-lebar. Nggak ada di sana.”
“Lho, bukannya di Cilacap juga lembek dan lebar-lebar, Bu?” tanya saya, yang sebelumnya sudah pernah jajan tempe mendoan di Cilacap.
Nggak, Mbak. Mendoan kayak gitu ya cuma dari sini, dari Kebumen. Punya Kebumen itu.”


Mendengar jawabannya, saya hanya mengangguk sambil tersenyum. Namun dalam hati saya menyimpan duga, barangkali yang demikian inilah yang membawa kita pada perdebatan tentang asal usul mendoan, hingga lupa cara menikmati mendoan itu sendiri. Padahal, mendoan akan tetap ada dan mengada, di berbagai tempat, dengan rasa yang mirip atau bahkan sama.

No comments:

Post a Comment