Street Food Dalam Konteks Kebudayaan Indonesia
Apa
yang pertama kali muncul di kepala anda ketika membaca judul di atas?
Mungkinkah anda memikirkan hal yang sama seperti yang saya pikirkan? Yang jelas
di sini saya tidak akan bicara panjang lebar mengenai definisi street food beserta turunannya. Seperti
yang kita ketahui bersama, dari asal katanya, secara sederhana street food dapat dipahami sebagai
makanan yang dijual di ruang publik yang terbuka, biasanya di pinggir jalan.
Karakteristik lain yang menonjol adalah penggunaan lapak yang portabel sehingga
mudah dibongkar-pasang. Sedangkan untuk jenis makanan yang dijual, sangat
beragam di berbagai belahan dunia, tapi umumnya merupakan jenis makanan yang ringan
namun cukup mengenyangkan.
Bicara
mengenai makanan, tentu kita tidak dapat memisahkannya dari konteks kebudayaan
yang melekat padanya. Dalam hal ini, Indonesia yang karakter masyarakatnya
heterogen membuat perkembangan makanan menjadi sangat beragam dibandingkan
dengan negara yang homogen, walaupun konon masyarakat Indonesia memiliki satu
nenek moyang yakni Bangsa Yunan.
Kemajemukan
tersebut salah satunya tercermin dari banyaknya jenis kue/makanan ringan
tradisional yang biasa dijual sebagai street
food. Baik wilayah Indonesia bagian barat, tengah dan timur masing-masing
memiliki banyak macam kue tradisional. Sebut saja kue cucur, otak-otak, tahu
bakso, martabak, nagasari (atau naga sari?), cemplon, klepon, molen, pisang
goreng, dodol, dan sebagainya. Yang menarik dari Indonesia—dalam beberapa
kasus, terdapat dua atau lebih jenis kue yang memiliki nama dan berasal dari
daerah yang berbeda, namun secara komposisi, rasa dan bentuk, sebenarnya tidaklah
betul-betul berbeda. Maksud saya, terdapat beberapa jenis kue yang berasal dari
daerah berjauhan, namun sangat mirip. Yang membedakan satu dengan lainnya
hanyalah ada-tidaknya satu/dua bahan di dalamnya, namun sehari-hari tetap saja
disebut sebagai dua jenis kue yang berbeda nama dan asalnya.
Berbeda
Namun Satu Rasa
Saya
lahir dan besar di Yogyakarta, kedua orang tua saya berdarah dan berlidah
Jawa—seleranya cenderung pada makanan manis, namun saya sendiri justru tidak
terlalu suka rasa manis dan memiliki lidah yang lebih fleksibel. Karena itulah,
saya lebih kerap melakukan “jelajah kuliner” sendirian daripada bersama orang
tua saya. Beruntung, sektor kuliner di kota tempat tinggal saya, Yogyakarta,
kini telah berkembang pesat dibandingkan ketika saya masih kanak-kanak. Mungkin
posisi Yogyakarta sebagai kota tujuan bagi para pelajar dari berbagai wilayah
Indonesia membuatnya lebih dinamis dalam merespon perubahan. Respon yang
dinamis tersebut salah satunya dapat dilihat dari semakin bertambahnya ragam street food yang dijual. Sekarang ini
tidaklah sulit mencari makanan khas daerah lain yang beberapa tahun lalu masih
sangat jarang ditemui di sini. Misalnya saja papeda, masakan khas Indonesia
Tengah dan Timur, hingga saat ini saya telah menemukan setidaknya dua warung
makan di Yogyakarta yang menjualnya.
Suatu
ketika, karena penasaran dengan sebuah warung makan yang menjual makanan khas
Ternate, saya pun memutuskan untuk bertandang ke sana. Tanpa disangka-sangka,
saya malah terlibat pembicaraan menarik dengan pemiliknya yang asli Ternate.
Berawal dari pertanyaan saya mengenai kue-kue yang dijual di sana, ia pun
menjelaskan dengan detail setiap nama serta komposisi kue-kue tersebut.
Kebetulan dari tiga jenis kue yang dijual, saya sangat menyukai sebuah kue yang
bentuknya seperti pai, di atasnya terdapat krim seperti susu, mirip dengan pai
susu dari Bali. Namun pemilik warung tersebut menyebutkan nama kue tersebut
bukanlah pai susu, melainkan tart fla. Ya, saya pun menyadari bahwa kue
tersebut hanya berbeda topping-nya
saja dengan pai susu dari Bali. Yang lebih mengagetkan adalah kue kedua yang
saya makan, yaitu jenis kue manis yang sama persis dengan nagasari (atau naga
sari?), sama-sama dibungkus dengan daun pisang dan berisi potongan pisang. Sama
persis! Namun saya lupa pemilik warung asal Ternate tersebut menyebutnya dengan
nama apa, kami pun sama-sama tertawa geli mengetahui fakta mengenai kue
tersebut.
![]() |
Kue tart fla dari Ternate |
Sejak
saat itu saya jadi memiliki kebiasaan memperhatikan berbagai makanan
tradisional dari berbagai wilayah di Indonesia—terutama kue-kue, yang dijual di
berbagai warung. Muncul perasaan senang yang ganjil setiap saya menemukan dua
makanan yang sangat mirip, namun memiliki nama dan berasal dari daerah yang
berbeda. Rasa-rasanya, berbagai konflik di Indonesia yang konon terjadi akibat
banyaknya keragaman pada masyarakat kita menjadi demikian konyol. Bagaimana
bisa membesar-besarkan perbedaan, namun di sisi lain, sesungguhnya banyak
bentuk kebudayaan kita—dalam hal ini makanan, yang mirip bahkan sama persis
antara satu daerah dengan yang lainnya?
Saya rasa, melalui ragam street food di Indonesia, kita dapat
belajar banyak mengenai cara terbaik menyikapi perbedaan, yakni mempertahankan
kecirian masing-masing tanpa perlu menjadi arogan. Mari kita ingat sejenak
sosok lembut pai susu dari Bali yang tak pernah mempermasalahkan rasa
manis-gurih milik tart fla asal Ternate—beda namun nyaris sama dengan miliknya.
Keduanya tetap ada dan terus mengada, tanpa perlu menghilangkan yang lain.
Ketika saya hendak menutup tulisan ini,
saya jadi teringat pada obrolan sore hari bersama seorang penjual tempe mendoan
di Kebumen. Dialog kami kira-kira seperti ini:
“Mendoan jualan Ibu kering atau lembek,
Bu?”
“Mendoan ya lembek, Mbak.”
“Oh, berarti seperti Mendoan Cilacap,
ya?”
“Lho, nggak. Beda, di Cilacap nggak
pakai tempe yang lebar-lebar. Nggak ada
di sana.”
“Lho, bukannya di Cilacap juga lembek
dan lebar-lebar, Bu?” tanya saya, yang sebelumnya sudah pernah jajan tempe
mendoan di Cilacap.
“Nggak,
Mbak. Mendoan kayak gitu ya cuma dari
sini, dari Kebumen. Punya Kebumen
itu.”
Mendengar jawabannya, saya
hanya mengangguk sambil tersenyum. Namun dalam hati saya menyimpan duga,
barangkali yang demikian inilah yang membawa kita pada perdebatan tentang asal
usul mendoan, hingga lupa cara menikmati mendoan itu sendiri. Padahal, mendoan
akan tetap ada dan mengada, di berbagai tempat, dengan rasa yang mirip atau
bahkan sama.
No comments:
Post a Comment