Tuesday, May 20, 2014

Jeda

Hari ini, tepat satu bulan sejak kau pergi. Tidak betul-betul pergi, katamu, karena setelah beberapa langkah kau tersadar dan ingin kembali. Tapi aku telah menutup pintu, setidaknya untuk saat ini. Langkah yang hanya beberapa bagimu itu, adalah sebuah luka besar yang hingga saat ini masih tidak bisa kupercayai keberadaannya. Kau adalah orang terakhir yang kubayangkan bisa menyakitiku dengan cara seperti itu.

Bohong jika aku berkata perasaan telah hilang sama sekali. Namun berkata aku baik-baik saja pun hanya akan menjadi sebuah kebohongan lain. Aku tidak baik-baik saja, namun aku sadar aku tidak baik-baik saja. Untuk itulah aku tetap menutup pintu, walaupun aku tahu di balik pintu itu, kau memutuskan untuk menungguku bersedia membuka pintu dan mempersilakan kau masuk kembali. Sudah kukatakan padamu, keadaanku tidak memungkinkan untuk membuat keputusan apapun. Aku tidak cukup punya keberanian untuk memutuskan apapun, saat ini. Aku sedang tidak bisa mempercayai apapun, bahkan diriku sendiri.

Jadi aku memilih jeda. Aku tidak mengusirmu, namun juga tidak membuka pintu untuk siapapun. Dan kebetulan juga tak ada orang lain yang mengetuk pintuku dengan cukup meyakinkan, yang bisa membuatku percaya bahwa ialah yang sebaiknya kupersilakan masuk, kemudian memintamu untuk tidak lagi menunggu. Aku ingin hibernasi. Aku ingin bicara pada diriku sendiri. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencoba memahami apa yang sebenarnya kuinginkan. Katamu, perempuan yang sedang oleng tak ubahnya magnet bagi laki-laki jenis tertentu, yang merasa luruh melihat kerapuhan dan ingin menjadi penyelamat. Penyelamat yang mengharapkan cinta dariku sebagai gantinya. Aku menyadari betul hal itu, maka aku pun memilih untuk tetap menutup pintu dan menyembuhkan diriku sendiri. Aku salah satu orang yang tidak mempercayai teori bahwa untuk menyembuhkan luka kau harus menghadirkan orang baru. Tidak. Bukankah menjadi terluka adalah pilihanku sendiri? Maka aku pulalah yang harus secara sadar memilih untuk sembuh, atas kemauanku sendiri, atas usahaku sendiri. Bukan dengan menghadirkan orang lain. Karena kurasa cara seperti itu hanya akan menciptakan lingkaran setan yang tak ada habisnya. Yang membuatku merasa luka-luka itu telah sembuh berkat orang baru, namun sebenarnya justru menumpuk dan makin busuk.

Aku akan melakukan hal-hal yang telah lama ingin kulakukan namun belum sempat kulakukan, aku akan memusatkan seluruh energi dan pikiran untuk diriku sendiri. Aku akan menggunakan waktu ini untuk mengisi ketiadaan di kepala dan di dada. Tentu aku sadar melakukan semua ini, jadi jangan khawatir kalau-kalau aku akan mati rasa seterusnya. Tentu tidak. Aku punya batasanku sendiri, yang tentu saja tidak perlu kubagikan ke semua orang, kan? Seperti halnya batas kesehatan tubuh yang dapat kita rasakan, batas kesehatan jiwa pun dapat kita rasakan. Aku masih percaya akan ada seseorang yang bisa membuatku kembali berdebar, jatuh cinta, dan percaya. Entah itu orang yang benar-benar baru, ataukah dirimu yang mengaku telah sepenuhnya belajar dari kesalahan dan menjadi orang yang baru.

Tapi tidak untuk saat ini. Aku akan menunggu momentum itu datang dengan sendirinya. Pasti ada. Kau masih boleh menunggu di depan pintu. Hanya menunggu, jangan mengetuk pintu. Biarkan aku menikmati jeda yang kubuat sendiri.

No comments:

Post a Comment