Hari
ini, tepat satu bulan sejak kau pergi. Tidak betul-betul pergi, katamu, karena
setelah beberapa langkah kau tersadar dan ingin kembali. Tapi aku telah menutup
pintu, setidaknya untuk saat ini. Langkah yang hanya beberapa bagimu itu,
adalah sebuah luka besar yang hingga saat ini masih tidak bisa kupercayai
keberadaannya. Kau adalah orang terakhir yang kubayangkan bisa menyakitiku
dengan cara seperti itu.
Bohong
jika aku berkata perasaan telah hilang sama sekali. Namun berkata aku baik-baik
saja pun hanya akan menjadi sebuah kebohongan lain. Aku tidak baik-baik saja,
namun aku sadar aku tidak baik-baik saja. Untuk itulah aku tetap menutup pintu,
walaupun aku tahu di balik pintu itu, kau memutuskan untuk menungguku bersedia
membuka pintu dan mempersilakan kau masuk kembali. Sudah kukatakan padamu,
keadaanku tidak memungkinkan untuk membuat keputusan apapun. Aku tidak cukup
punya keberanian untuk memutuskan apapun, saat ini. Aku sedang tidak bisa
mempercayai apapun, bahkan diriku sendiri.
Jadi
aku memilih jeda. Aku tidak mengusirmu, namun juga tidak membuka pintu untuk
siapapun. Dan kebetulan juga tak ada orang lain yang mengetuk pintuku dengan
cukup meyakinkan, yang bisa membuatku percaya bahwa ialah yang sebaiknya
kupersilakan masuk, kemudian memintamu untuk tidak lagi menunggu. Aku ingin
hibernasi. Aku ingin bicara pada diriku sendiri. Mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan mencoba memahami apa yang sebenarnya kuinginkan.
Katamu, perempuan yang sedang oleng tak ubahnya magnet bagi laki-laki jenis
tertentu, yang merasa luruh melihat kerapuhan dan ingin menjadi penyelamat. Penyelamat
yang mengharapkan cinta dariku sebagai gantinya. Aku menyadari betul hal itu,
maka aku pun memilih untuk tetap menutup pintu dan menyembuhkan diriku sendiri.
Aku salah satu orang yang tidak mempercayai teori bahwa untuk menyembuhkan luka
kau harus menghadirkan orang baru. Tidak. Bukankah menjadi terluka adalah
pilihanku sendiri? Maka aku pulalah yang harus secara sadar memilih untuk
sembuh, atas kemauanku sendiri, atas usahaku sendiri. Bukan dengan menghadirkan
orang lain. Karena kurasa cara seperti itu hanya akan menciptakan lingkaran
setan yang tak ada habisnya. Yang membuatku merasa luka-luka itu telah sembuh
berkat orang baru, namun sebenarnya justru menumpuk dan makin busuk.
Aku
akan melakukan hal-hal yang telah lama ingin kulakukan namun belum sempat
kulakukan, aku akan memusatkan seluruh energi dan pikiran untuk diriku sendiri.
Aku akan menggunakan waktu ini untuk mengisi ketiadaan di kepala dan di dada. Tentu
aku sadar melakukan semua ini, jadi jangan khawatir kalau-kalau aku akan mati
rasa seterusnya. Tentu tidak. Aku punya batasanku sendiri, yang tentu saja
tidak perlu kubagikan ke semua orang, kan? Seperti halnya batas kesehatan tubuh
yang dapat kita rasakan, batas kesehatan jiwa pun dapat kita rasakan. Aku masih
percaya akan ada seseorang yang bisa membuatku kembali berdebar, jatuh cinta,
dan percaya. Entah itu orang yang benar-benar baru, ataukah dirimu yang mengaku
telah sepenuhnya belajar dari kesalahan dan menjadi orang yang baru.
Tapi
tidak untuk saat ini. Aku akan menunggu momentum itu datang dengan sendirinya.
Pasti ada. Kau masih boleh menunggu di depan pintu. Hanya menunggu, jangan
mengetuk pintu. Biarkan aku menikmati jeda yang kubuat sendiri.
No comments:
Post a Comment