Dua puluh hari berlalu sejak pesan terakhir yang kukirimkan padamu—entah kau membacanya atau tidak. Isinya kira-kira seperti ini: aku tidak tahu apa yang kau alami di kota lain yang berjarak ratusan kilometer dari kotaku ini, namun satu hal yang pasti, aku bersedia menunggumu menjawab pesanku lagi.
Empat puluh hari berlalu sejak pertama kali aku merasa ada yang berubah dari perangaimu. Dengan media komunikasi yang terbatas dan jarak yang nyata, sungguh, aku tak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku mengusahakan usaha paling maksimal yang dapat dilakukan manusia dalam kondisi seperti itu, namun rasanya itu tak mengubah apa-apa.
Segala hal tentangmu yang kukenali dan kukumpulkan sebagai fragmen pembentuk sosokmu perlahan hilang dan kau berubah menjadi bentuk yang asing. Bentuk yang tak pernah kubayangkan muncul dari dirimu, setidaknya dalam kurun nyaris lima tahun terakhir. Nyaris lima tahun telah kita lalui bersama-sama. Aku selalu bisa menebakmu. Aku selalu bisa memberitahumu, siapa saja perempuan di sekitarmu yang diam-diam jatuh cinta padamu, meskipun mereka tak bisa melakukan apa-apa. Karena mereka tahu mereka takkan bisa membuatmu jatuh cinta. Mereka tak bisa menjadi aku.
Namun kemampuanku membacamu ternyata memiliki batas. Perbedaan kota yang kita tinggali sungguh menyulitkanku dalam kondisi seperti ini. Aku bukanlah cenayang yang sungguh-sungguh dapat menerawang segala hal tentangmu, aku hanya terlahir dengan kadar kepekaan melebihi manusia biasa, sehingga aku lebih sensitif terhadap tanda-tanda. Namun dengan jarak sejauh ini, apa yang bisa kuharapkan? Tak ada yang terlihat.
Akhirnya aku menunggu, kutahan selama mungkin rasa penasaran yang menggerogoti pikiranku. Kau tahu betul ya bagaimana cara terbaik menyiksaku, orang yang demikian mudah jatuh penasaran ini. Hari-hari kuhabiskan dengan melakukan apapun yang dapat mengalihkanku dari dugaan-dugaan tak menentu akan keberadaanmu, dan yang lebih penting, perasaanmu padaku. Selama dua puluh hari aku berusaha menghubungimu entah berapa kali lewat pesan pendek, lewat telepon yang tak kau angkat—atau kalaupun kau angkat, hanya satu dua kata yang keluar dari mulutmu seperti “Aku sibuk,” atau “Nanti saja kutelpon,” sebelum kemudian kau matikan begitu saja telepon dariku, tanpa peduli sedikitpun padaku yang melongo bersama dengan nada telepon yang putus.
Dan aku tahu betul, setelah nada-nada itu selesai, tak pernah ada telepon darimu. Hingga akhirnya, setelah dua puluh hari berusaha semampuku, kuputuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat untukmu: “Hadiah terbaik yang bisa kuberikan adalah waktu. Ketahuilah, mulai hari ini aku hanya akan menunggumu mau bicara padaku lagi. Dua puluh hari telah kugunakan untuk melakukan semua yang bisa kulakukan, dan kurasa sekarang saatnya aku diam. Jika ada hal-hal yang meresahkanmu, gunakanlah waktu ini untuk menyelesaikan keresahan-keresahan itu. Kau tahu aku selalu ada di tempat yang sama.”
Selama dua puluh hari setelahnya, tak ada satu pun jawaban darimu. Di kantor, aku dikatai zombie oleh teman-temanku. Kata mereka, meskipun pekerjaanku tak ada yang meleset, namun tampangku lama-lama jadi tak mirip manusia. Seperti hanya cangkang tanpa jiwa, yang menurut saja mengerjakan apa-apa yang memang seharusnya dikerjakan, namun akalnya berhenti bekerja. Mereka sampai kehabisan akal untuk membuatku tertawa. Satu-satunya hal yang masih bisa menghiburku dan paling tidak membuat tawaku pecah—meski sedikit—adalah obrolan ringan bersama mereka selepas jam kantor dan sedikit lembur. Dua puluh malam berturut-turut kami pergi minum bir di Ox’s, mereka bergantian mentraktirku, melarangku membayar apapun, seolah-olah kesedihan telah membuatku jatuh miskin. Mereka menikmati sekali kesempatan ini, kesempatan untuk mengejekku yang sangat jarang datang. Sialan. Tapi aku cukup senang, di kota yang kacau ini ternyata masih ada orang-orang gila yang memikirkan betul kondisi teman sekantornya, meskipun dengan cara yang aneh.
Walapun terdengar menyedihkan seperti anak remaja yang kehilangan arah, namun aku tidak pernah minum sampai mabuk. Aku bukan orang yang bersedia kehilangan kendali atas diriku. Selalu ada batas yang bisa kuketahui, kapan waktunya meneguk gelas terakhir. Lagipula, bir buatan Ox’s memiliki kadar alkohol yang lebih sedikit dibandingkan bir kalengan. Konon pemiliknya memang ingin memperkenalkan sebuah terobosan baru: menciptakan bir untuk peminum pemula. Entah bagaimana caranya, mereka bisa membuat bir dengan kadar alkohol yang lebih sedikit ketimbang bir kalengan. Dengan terobosannya itu, mereka juga menjadi tempat minum pertama di kota ini yang menjual home made beer. Aku sudah pernah menceritakannya padamu, walaupun kita belum sempat ke sini bersama-sama.
Selama dua puluh hari itu, kesadaranku berada di antara keinginan untuk melupakan dan merelakan segalanya, termasuk tahun-tahun panjang yang kita lalui bersama, dengan keinginan untuk terus memegang erat segala kemungkinan di luar itu. Mulanya aku lebih mengkhawatirkan apa yang kau alami di sana ketimbang perasaanku sendiri. Hal segawat apakah yang telah menimpamu sehingga kau memutuskan untuk menghindariku dan bukannya berbagi denganku? Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.
Namun belakangan aku mulai dapat merasakan lukaku sendiri. Ketika di tengah keheningan ini aku melihatmu masih aktif mengecek dan berbincang dengan orang lain di media sosial, seperti tidak sedang mengalami hal buruk apapun. Aku jadi merasa sangat tolol telah memikirkanmu begitu serius. Mau apa lagi, kita adalah generasi yang dikutuk teknologi. Setelah berusaha menahan air mata yang hendak menjejalkan dirinya keluar dari pelupuk mataku, aku mematikan telepon genggam. Aku tak suka kehilangan kendali atas diriku, lebih-lebih pada tiga puluh menit menjelang rapat redaksi mingguan.
Terdengar musik 光とど dari kubikel Sam yang terletak beberapa meter dariku, tampaknya aku berhasil meracuni selera musiknya. Kunikmati saja suara sayup album “The Joys In Not Knowing” itu sambil merebahkan kepala di atas meja. Aku tidak ingin memikirkan apapun, aku tidak ingin mencari tahu apapun lagi.
***
Aku memutuskan untuk mengambil cuti selama dua minggu, dan saat ini sudah memasuki awal minggu kedua. Tidak buruk, seminggu kemarin kuhabiskan untuk membereskan rumah yang sudah seperti pengungsian korban banjir. Bahkan aku mulai membuat rancangan furniturku sendiri. Menarik menemukan ide-ide desain do it yourself di internet, ketimbang menghabiskan tabunganmu untuk berbelanja di toko furnitur mahal. Rasanya seperti kembali ke masa-masa ketika aku masih kuliah. Yah, sudah berapa tahun aku tak pernah berhubungan langsung dengan desain interior, karena tentu saja jika kau bekerja di majalah mingguan untuk perempuan, pengetahuan tersebut tidak diperlukan.
Aku jadi teringat sebuah kursi berbentuk kepompong yang dulu sama-sama kita lihat ketika jalan-jalan ke toko furnitur di sebuah pusat perbelanjaan. Kau tampak sangat senang mencoba kursi itu, sampai-sampai petugas toko mengingatkan kita untuk hati-hati mencobanya. Di saat-saat seperti itu, kau tak ubahnya anak kecil yang berbinar matanya, apalagi wajahmu memang seolah tak pernah bisa bertambah tua.
Kursi kepompong itu kita gambar ulang (atau lebih tepatnya aku, karena kau sama sekali tak bisa menggambar) sepulang dari jalan-jalan, karena kita tidak ingin melupakan kursi yang kita inginkan jika kelak kita punya cukup uang. Dan sekarang gambar itu secara tak sengaja kutemukan di antara lembar-lembar gambar yang lain. Entah mengapa, tanpa sadar aku mulai membuat rancangan yang lebih serius dan detail untuk kursi tersebut. Dan sepertinya besok aku akan mulai mencari materialnya. Aku ingin mencoba membuat kursi itu.
Sejak pesan terakhir yang kukirimkan padamu, sudah dua puluh tujuh hari berlalu. Aku tidak menyangka aku bisa melewatinya. Sekarang ini bisa dikatakan aku telah mencapai fase tidak mau ambil pusing. Aku bahkan bisa membayangkan perpisahan kita tanpa harus menangis. Bisa saja aku memanfaatkan cutiku untuk pergi ke kotamu dan mendatangimu, namun aku memilih tidak melakukannya. Kaulah yang pergi meninggalkanku, jika kau ingin pulang, pulanglah. Aku merasa ada batas yang tegas antara memperjuangkan apa yang berharga bagi dirimu atau mengorbankan dirimu sendiri untuk hal yang terlihat berharga hanya karena kau telah memilikinya dalam waktu lama. Ya, nyaris lima tahun tentu tidak bisa dibilang sebentar.
Pernah ada yang berkata padaku, tahun ketiga dalam sebuah hubungan merupakan salah satu titik terberat yang rawan konflik besar berujung perpisahan. Mungkin kita dapat mengandaikannya sebagai sebuah check point. Jika kita berhasil melewatinya, maka bolehlah merasa lega hingga tiga tahun berikutnya. Begitu seterusnya.
Kenapa tiga tahun? Entahlah, mungkin ia hanya mengamati dari yang sudah-sudah lalu mengambil konklusi, bahwa pasangan yang memasuki tahun ketiga sangat rawan berpisah, ketika terdapat masalah mendasar yang tak kunjung selesai—atau setidaknya disepakati untuk selesai.
Namun kenyataannya tak sesederhana itu. Bukan hanya perkara sebuah masalah selesai atau tak selesai, yang lebih rumit justru, bagaimana jika perasaannya belum selesai? Jika hanya melihat masalah-masalah dalam hubungan, semuanya jadi lebih sederhana. Masalah tak kunjung selesai, bisa dikatakan hubungan sulit berlanjut. Masalah selesai, berarti hubungan bisa berlanjut.
Jika masalah tak kunjung selesai, seharusnya hubungan tak dianjutkan. Tapi masalah tak kunjung selesai dan perasaan yang juga belum selesai akan melahirkan pilihan-pilihan yang sulit. Pilihan mengakhiri hubungan menjadi pilihan yang sulit karena perasaan kita akan terluka. Kehilangan. Kesepian. Rasa takut menghadapi hal-hal itulah yang biasanya mencegah—atau setidaknya memikirkan ulang—keputusan untuk mengakhiri sebuah hubungan.
Kita pernah membicarakan hal ini panjang lebar, saat itu tahun keempat usia hubungan kita. Kita membicarakan hal itu sambil tertawa-tawa, seolah kita termasuk dalam golongan yang telah berhasil melewati check point pertama dan tahun keempat merupakan masa yang bisa dilalui dengan santai. Memang benar tahun keempat kita lalui dengan santai, sebagian besar masalah dan proses penyesuaian diri antar-individu telah kita selesaikan di tiga tahun pertama. Namun ternyata di akhir tahun keempat, kau mendapatkan pekerjaan di kota lain. Pekerjaan yang telah lama kau inginkan jika dibandingkan dengan pekerjaanmu di kota ini. Aku ikut senang. Apa yang layak dikhawatirkan dari hubungan jarak jauh bagi pasangan yang telah mengalahkan kutukan tahun ketiga?
***
Empat puluh hari berlalu sejak pesan terakhir yang kukirimkan padamu—entah kau membacanya atau tidak. Besok merupakan hari di mana kita seharusnya merayakan tahun kelima kita bersama, namun tak ada tanda-tanda kau masih menganggap hubungan ini ada. Kursi kepompong bergoyang-goyang, meskipun tak ada angin yang bertiup dari jendela. Aku berhasil menyelesaikannya selama satu minggu terakhir cutiku. Cukup nyaman diduduki, walaupun pasti ada satu-dua kekurangan jika dibandingkan dengan kursi aslinya.
Telepon genggamku berbunyi. Fotomu muncul bersama dengan nomormu, kau menelepon. Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku sangat takut. Aku tidak berani mengangkatnya hanya untuk mendengar suaramu yang berkata ingin mengakhiri hubungan. Entahlah, aku hanya merasa telepon darimu jelas hanya akan menyampaikan kabar buruk. Aku membiarkannya saja hingga mati sendiri. Beberapa menit kemudian kau kembali menelepon. Aku kembali mendiamkannya. Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kukatakan padamu? Apa aku harus berkata “Halo, apa kabar?”, ah tentu tidak. Tidak. Bagaimana kalau aku menangis mendengar suaramu? Aku tidak ingin menangis. Aku tidak suka ketika aku harus menangis.
Kupasang earphone di telingaku dan kuputar musik apapun sekeras-kerasnya. Aku tidak ingin mendengar bunyi telepon, tapi tidak ingin mematikannya. Aku ingin kau mengalami bagaimana rasanya menelepon ratusan kali namun tidak kunjung diangkat.
Let's just forget
Everything said
And everything we did
Best friends and better halves
Pemutar musikku memainkan salah satu lagu kesukaanmu, baru kali ini aku benar-benar mendengarkan liriknya.
Goodbyes
And the autumn night
When we realized
We were falling out of love
There were some things
That were said
That weren't meant
But were said
Like we never did
Not to be
Overly
Dramatic
I just think it's best
'Cause you can't miss what you forget
Kulihat lampu kecil di sudut telepon genggamku berkedip. Tanda sebuah pesan masuk. Darimu. Sambil tetap mengenakan earphone, kubuka pesan itu. Hanya sebuah kalimat singkat: “Kita putus saja, ya? Aku lelah, kurasa kau pun demikian.”
Pemutar musik masih memainkan lagu yang sama, seperti kau sendiri yang menyanyikannya untukku.
So let's just pretend
Everything and anything
Between you and me
Was never meant*
No comments:
Post a Comment