Tuesday, July 5, 2016

Nadia

Ungaran, 26 Maret 2006

Sebelas tahun tidaklah selama yang pernah kita bayangkan. Rasanya belum lama kita main musik sama-sama, kehujanan menuju studio sepulang sekolah, tampil di berbagai panggung dengan berbagai jenis bayarannya—mulai dari ucapan terima kasih, nasi kotak, hingga uang yang lumayan untuk makan-makan satu band serta pengganti uang patungan sewa studio. Rasanya belum lama juga kita masuk studio untuk rekaman lagu kita satu-satunya kemudian mampir ke acara radio lokal untuk mempromosikan album kompilasi bersama band-band lain.

Sebelas tahun tidaklah selama yang pernah kita bayangkan. Rasanya belum lama kita naik gunung sama-sama, dan kau berteriak-teriak panik ketika aku kehilangan kesadaran sesaat setelah kita sampai di puncak Gunung Ungaran—pendakian pertama kita. Rasanya belum lama kita menjalani diklat VACHERA sama-sama, dan kau lupa mengenakan sarung tangan ketika melakukan rapling sehingga tanganmu melepuh sangat parah, namun aku tak bisa berhenti tertawa. Nostalgia selalu melahirkan perasaan haru yang klise, namun memang seperti itu kenyataannya. Sesuatu menjadi klise tentu ada penyebabnya bukan?

Aku baru saja menutup sambungan telepon yang menghubungkan kita. Obrolan selama satu jam tadi berhasil menimbulkan perasaan sedih yang sebelumnya tak pernah kusangka akan muncul hanya karena mendengar suaramu. Karena selama ini, tak pernah ada yang benar-benar berubah dari kita, selama apapun kita tidak bertemu atau saling kontak. Sebanyak apapun teman baru yang kita dapatkan pada tahun-tahun selepas SMA, tak mengubah apa yang kita punya.

Namun perbincangan telepon seperti tadi memang sudah lama kucoret dari daftar hal-hal yang bisa kapan saja kudapatkan darimu. Kau lulus kuliah lebih cepat, dan jurusanmu memang tak memberimu banyak waktu luang seperti jurusanku. Kau mulai bekerja lebih dulu dariku, kau menikah lebih dulu dariku, dan sekarang kau baru saja melahirkan seorang anak perempuan yang sangat kau cintai. Untuk berbagai urusan itu, aku selalu berada beberapa langkah di belakangmu.

Sejak beberapa tahun lalu, aku berhenti menjadikanmu orang pertama yang kucari ketika aku menghadapi masalah. Bukan karena aku tak lagi mempercayaimu, hanya saja, sedikit banyak aku merasa sungkan untuk menyampaikan masalah-masalahku yang masih berkutat di fase kehidupan yang sudah kau lewati. Aku merasa sungkan untuk curhat masalah cinta dan remeh temeh lainnya, sementara kau tengah bekerja keras mengumpulkan uang untuk menikah, kau sudah mantap menjadi orang dewasa. Memang betul kau tak pernah berubah, kita tetaplah baik, namun perbedaan fase hidup yang kita jalani mau tak mau menciptakan jarak.

September tahun lalu kau menikah, dengan lelaki baik yang terbukti sangat menyayangimu. Ada perasaan lega yang menghampiriku saat itu, mengingat betapa rumit perjalananmu untuk sampai ke sana. Aku merasa tugasku sebagai sahabatmu selesai, sekarang sudah ada yang akan menjagamu tanpa pamrih dan tentu saja senantiasa membahagiakanmu. Tak akan ada lagi luka dan rasa sedih seperti yang kau alami pada tahun-tahun sebelum kau bertemu dengannya.

Kita menjalani hidup masing-masing sambil sesekali bertukar kabar. Kau tak bosan-bosannya menanyakan perkembangan tugas akhirku dan Dea, kapan kami lulus, kapan kami berencana menikah, dan tentu saja, mengingatkan bahwa waktu terus berjalan dan kita semakin tua. Aku tak merasa terintimidasi dengan pertanyaan-pertanyaanmu, aku mengerti bahwa sungguh tak enak rasanya ketika kita telah sampai pada fase hidup tertentu, namun sahabat kita masih ada di fase sebelumnya. Aku mengerti bahwa ada perasaan ingin selalu mengalami fase hidup yang sama dengan sahabat kita. Namun kau tak pernah keberatan dengan jawabanku, kau bisa mengerti bahwa tiap orang memiliki ritmenya masing-masing, dan kau tak lantas menghakimiku. Ya, selama sebelas tahun aku mengenalmu, tak sekalipun kau menghakimiku.

Kau adalah satu-satunya temanku yang tak mengajukan pertanyaan maupun memberikan pandangan merendahkan ketika aku memutuskan untuk tak lagi mengenakan jilbab. Sorot matamu tetap hangat. Tanpa setitikpun keraguan kau menghampiriku dan merangkulku sambil berkata “Ora papa, Sai,” (Tidak apa-apa, Sai), kau tentu tak tahu, saat itu air mataku nyaris keluar. Dan kau tentu tak tahu bahwa aku akan terus mengingat kejadian sore itu sebagai penanda betapa berharganya dirimu. Kau sahabatku yang berharga karena kau tak pernah menganggapku aneh karena keadaan keluargaku, kau sahabatku yang berharga karena tak sekalipun kau menghakimi keputusan-keputusan yang kuambil dalam hidupku, kau sahabatku yang berharga karena meski aku kerap meyakini sesuatu yang berbeda dengan apa yang kau yakini, kita tetap bisa menghargai pilihan masing-masing, kau sahabatku yang berharga karena setelah sebelas tahun dan terpisah jarak kau masih menanggapi ceritaku dengan sama hangatnya seperti dulu.

Besok lebaran, dan hari ini kau berulang tahun. Untuk pertama kalinya aku tak berada di Yogya ketika lebaran. Untuk pertama kalinya aku tidak memakan masakan Ibuku ketika lebaran. Ada sedikit perasaan sedih, namun selebihnya aku bahagia, karena meskipun aku tak bisa menengokmu yang baru saja melahirkan serta tak bisa melihat Aruna, keponakanku yang mungil, namun dari pembicaraan telepon selama satu jam tadi, aku tahu kau bahagia dan baik-baik saja. Selamat ulang tahun, Nadia Prima, selamat menjadi Ibu.


Sahabatmu,

Saila Rezcan

No comments:

Post a Comment