Monday, June 27, 2016

Dua Lima

Waktu itu akhir bulan Agustus, dan udara sedang sangat kering dan dingin. Sudah nyaris dua bulan kita berada di sana, di desa yang letaknya jauh di utara kota. Desa yang setahun sebelumnya tertimbun material gunung api yang erupsi, bersama banyak desa lainnya. Kita sama-sama bertugas di satu unit selama dua bulan. Sebelumnya aku tidak mengenalmu dekat, aku menawarkanmu bergabung dengan unitku karena kami masih kekurangan orang dari gugus sosio humaniora. Karena kau pun terlalu malas untuk mencari unit lain, kau setuju bergabung.

Meski baru mengenalmu beberapa bulan sebelum kita sampai di sana, aku senang berteman denganmu. Banyak pembicaraan asyik yang sama sekali tidak ada dalam ekspektasiku. Cara berpikirmu jernih. Kau selalu bisa menjelaskan sesuatu yang tidak kupahami atau bahkan salah kupahami menjadi terang. Namun bukan berarti kau tak mau mendengar omongan orang, kau selalu menjadi pendengar yang baik—kalau hatimu tidak sedang dirungsingkan sesuatu.

Hal lain yang membuatku betah bicara denganmu adalah caramu memperlakukan lawan bicaramu, kau tidak pernah mengintimidasi ataupun hilang minat jika partner bicaramu tidak memahami topik yang kau bicarakan. Kau justru senang karena kau jadi punya kesempatan untuk menjadi tukang cerita dan memungkinkan untuk menyisipkan cerita-cerita karanganmu yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan topik pembicaraan. Kau suka ketika orang mempercayai kisah-kisah yang kau karang. Kau suka membual, seperti Usopp dalam komik One Piece.

Meski begitu, kau tidak pernah menulis prosa, melainkan puisi. Aku tidak terlalu menyukai puisi, karena aku sangat jarang menemukan puisi yang dapat kupahami sebagaima banyak kutemukan pada prosa. Atau bisa jadi akulah yang tak terlau giat mencari karena memang tak berminat. Penyair yang puisinya pertama kali kukenal tentu saja—seperti kebanyakan remaja lainnya—Kahlil Gibran. Dan kau tahu, membaca Kahlil Gibran tidak pernah mendatangkan kesenangan atau bahkan reaksi apapun padaku. Saat itu kuputuskan aku bukanlah penggemar puisi. Aku tidak bisa mengerti mengapa banyak temanku yang mengaku tersentuh membaca puisi-puisi beliau saat itu, bahkan gemar sekali mengutip-ngutipnya. Sementara aku jauh lebih suka mengikuti petualangan Ryubi Gentaku dalam komik kisah perang di Daratan Cina, Three Kingdom, atau Chinmi dalam komik Kung Fu Boy.

Sejak mula mengenalmu, aku selalu yakin kau memiliki bakat untuk menjadi seorang pencerita yang baik. Harusnya kau jadi prosais, bukan penyair, kataku suatu hari, sambil mengaduk-aduk pasta dalam panci. Tapi kau yang sedang menonton televisi hanya mengeluarkan kalimat-ejekan-untuk-prosais yang biasa kau gunakan bersama Rozi, sambil terkekeh-kekeh. Waktu itu aku tak pernah menyangka kau justru akan termakan omonganmu sendiri seperti sekarang. Rasakan.
Nah sekarang, di tanggal ulang tahunmu ini, yang membuat usiamu seperempat abad ini, coba kau ingat kapan terakhir kali kau menulis puisi? Sudah lama ya? Hmm. Dan coba kau ingat juga kalimat-ejekan-untuk-prosais yang dulu fasih betul kau ucapkan sambil terkekeh itu? Hmm. Sekarang aku berusaha sangat keras untuk tidak tertawa dan memasang tampang mengejek yang selalu berhasil membuatmu berkata “Njelehi banget mukanya hhh.” Kau mesti bersyukur kita tidak sedang bertatap muka.

Selamat ulang tahun ya, semoga semakin terampil menulis prosa, menulis puisinya kapan-kapan sajalah.

Karena kau tak pernah suka kejutan, maka kukatakan sekarang saja: nanti siang akan ada paket berisi dua buku yang datang ke kantormu, semoga kurirnya sampai dengan selamat. Yang pertama adalah buku yang sudah lama kau cari tapi tak kunjung kau temukan—padahal sebenarnya tak susah-susah amat dicari—Sang Guru Piano. Yang kedua adalah The Simpsons, A Complete Guide To Our Favorite Family, semacam ensiklopedi tentang semua karakter di The Simpsons (tentu penuh dengan gambar dan berwarna!), harta karun yang kutemukan di Lotte Mart.

Baiklah, semua kejutan sudah kubocorkan, tak ada alasan bagimu untuk memprotesku karena membuat kejutan.


Peluk,
SR


No comments:

Post a Comment