Waktu itu akhir bulan
Agustus, dan udara sedang sangat kering dan dingin. Sudah nyaris dua bulan kita
berada di sana, di desa yang letaknya jauh di utara kota. Desa yang setahun
sebelumnya tertimbun material gunung api yang erupsi, bersama banyak desa lainnya.
Kita sama-sama bertugas di satu unit selama dua bulan. Sebelumnya aku tidak
mengenalmu dekat, aku menawarkanmu bergabung dengan unitku karena kami masih
kekurangan orang dari gugus sosio humaniora. Karena kau pun terlalu malas untuk
mencari unit lain, kau setuju bergabung.
Meski baru mengenalmu
beberapa bulan sebelum kita sampai di sana, aku senang berteman denganmu.
Banyak pembicaraan asyik yang sama sekali tidak ada dalam ekspektasiku. Cara
berpikirmu jernih. Kau selalu bisa menjelaskan sesuatu yang tidak kupahami atau
bahkan salah kupahami menjadi terang. Namun bukan berarti kau tak mau mendengar
omongan orang, kau selalu menjadi pendengar yang baik—kalau hatimu tidak sedang
dirungsingkan sesuatu.
Hal lain yang membuatku
betah bicara denganmu adalah caramu memperlakukan lawan bicaramu, kau tidak
pernah mengintimidasi ataupun hilang minat jika partner bicaramu tidak memahami
topik yang kau bicarakan. Kau justru senang karena kau jadi punya kesempatan
untuk menjadi tukang cerita dan memungkinkan untuk menyisipkan cerita-cerita
karanganmu yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan topik pembicaraan. Kau
suka ketika orang mempercayai kisah-kisah yang kau karang. Kau suka membual,
seperti Usopp dalam komik One Piece.
Meski begitu, kau tidak
pernah menulis prosa, melainkan puisi. Aku tidak terlalu menyukai puisi, karena
aku sangat jarang menemukan puisi yang dapat kupahami sebagaima banyak
kutemukan pada prosa. Atau bisa jadi akulah yang tak terlau giat mencari karena
memang tak berminat. Penyair yang puisinya pertama kali kukenal tentu
saja—seperti kebanyakan remaja lainnya—Kahlil Gibran. Dan kau tahu, membaca
Kahlil Gibran tidak pernah mendatangkan kesenangan atau bahkan reaksi apapun
padaku. Saat itu kuputuskan aku bukanlah penggemar puisi. Aku tidak bisa
mengerti mengapa banyak temanku yang mengaku tersentuh membaca puisi-puisi
beliau saat itu, bahkan gemar sekali mengutip-ngutipnya. Sementara aku jauh
lebih suka mengikuti petualangan Ryubi Gentaku dalam komik kisah perang di Daratan
Cina, Three Kingdom, atau Chinmi
dalam komik Kung Fu Boy.
Sejak mula mengenalmu,
aku selalu yakin kau memiliki bakat untuk menjadi seorang pencerita yang baik.
Harusnya kau jadi prosais, bukan penyair, kataku suatu hari, sambil mengaduk-aduk
pasta dalam panci. Tapi kau yang sedang menonton televisi hanya mengeluarkan
kalimat-ejekan-untuk-prosais yang biasa kau gunakan bersama Rozi, sambil
terkekeh-kekeh. Waktu itu aku tak pernah menyangka kau justru akan termakan
omonganmu sendiri seperti sekarang. Rasakan.
Nah sekarang, di tanggal
ulang tahunmu ini, yang membuat usiamu seperempat abad ini, coba kau ingat
kapan terakhir kali kau menulis puisi? Sudah lama ya? Hmm. Dan coba kau ingat juga
kalimat-ejekan-untuk-prosais yang dulu fasih betul kau ucapkan sambil terkekeh
itu? Hmm. Sekarang aku berusaha sangat keras untuk tidak tertawa dan memasang
tampang mengejek yang selalu berhasil membuatmu berkata “Njelehi banget mukanya hhh.” Kau mesti bersyukur kita tidak sedang
bertatap muka.
Selamat ulang tahun ya,
semoga semakin terampil menulis prosa, menulis puisinya kapan-kapan sajalah.
Karena kau tak pernah suka
kejutan, maka kukatakan sekarang saja: nanti siang akan ada paket berisi dua
buku yang datang ke kantormu, semoga kurirnya sampai dengan selamat. Yang
pertama adalah buku yang sudah lama kau cari tapi tak kunjung kau
temukan—padahal sebenarnya tak susah-susah amat dicari—Sang Guru Piano. Yang kedua adalah The Simpsons, A Complete Guide To Our Favorite Family, semacam
ensiklopedi tentang semua karakter di The
Simpsons (tentu penuh dengan gambar dan berwarna!), harta karun yang
kutemukan di Lotte Mart.
Baiklah, semua kejutan
sudah kubocorkan, tak ada alasan bagimu untuk memprotesku karena membuat
kejutan.
Peluk,
SR
No comments:
Post a Comment