Tuesday, March 31, 2015

Andai Bisa Kembali Remaja

Ketika mulai membaca Novel KAMU, Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya karya Sabda Armandio (selanjutnya disebut KAMU), yang serta-merta terbesit di kepala saya adalah kehidupan saya di akhir masa SMA. Saya mencoba mengingat apa saja yang saya lakukan ketika itu serta apa saja keputusan penting yang saya buat, sebagai seseorang yang belum menemukan dan membaca buku ini.

Berbagai ingatan berkecamuk. Mulai dari ujian praktik olahraga yang melelahkan, persiapan Ujian Nasional, ketakutan saya pada Matematika, berbagai tawaran untuk membeli bocoran jawaban soal ujian (tentu saya menolaknya), repotnya menjadi panitia buku tahunan, acara malam perpisahan yang terdiri atas riuhnya band-band-an, penolakan seorang lelaki atas pernyataan cinta saya yang terbata-bata, sekaligus penolakan saya atas sebuah pernyataan cinta dari seorang lelaki yang lain.

Dalam kekacauan di kepala saya, terdapat satu pertanyaan yang mengapung-apung di tengah lautan ingatan tersebut. Satu pertanyaan yang sungguh minta diperhatikan, yakni: apa sajakah buku karya penulis Indonesia yang saya baca pada masa-masa itu? Tentu saja di luar daftar buku-buku terbitan Balai Pustaka yang diwajibkan baca oleh sekolah. Mana saja yang meninggalkan kesan?
Di luar komik, saya hanya dapat mengingat beberapa seri yakni Lupus – Hilman dan Boim, Ipung – Prie GS, The Da Peci Code – Ben Sohib, Badman: Bidin! – Boim Lebon, dkk., Pangeran Bersarung – Mahbub Jamaluddin, Santri Semelekete – Ma’rifatun Baroroh. Dari yang sedikit itu, bisa saya katakan hanya dua judul yang meninggalkan kesan hingga sekarang, Lupus tentu salah satunya. 

Ya, saya tahu betapa menyedihkannya riwayat membaca saya ketika remaja, jika hanya diukur dari buku karya penulis Indonesia yang saya baca. Jika saya baca ulang buku-buku itu sekarang, dua judul terakhir yang saya sebutkan bahkan kerap gagal menyajikan kalimat yang baik, alih-alih menyajikan gagasan, karakter, alur, dan gaya bercerita yang memikat.

Saat itu sedang tren penulis-penulis swadaya dengan tema-tema agama. Mendadak banyak sekali nama-nama baru yang menerbitkan buku melalui jalur swadaya. Bermunculan beberapa komunitas yang memiliki sistem penerbitan swadaya untuk anggotanya. Tak mau kalah, buku-buku motivasi menulis pun ikut bermunculan, seolah menulis hanya membutuhkan keberanian untuk menulis apa saja yang ada di pikiran, tanpa harus memperkaya bacaan dan mengasah gagasan. Yang jelas, kondisi tersebut berpengaruh pada pilihan-pilihan bacaan saya—yang pada saat itu sama sekali tidak mengerti karya seperti apa yang bagus, siapa penulis yang bagus, dan sebagainya.

Akhirnya, pikiran praktis saya mencoba mengambil jalan pintas: memilih untuk membaca buku bacaan terjemahan. Dalam pikiran saya saat itu, walalupun belum tentu lebih berkualitas, namun paling tidak buku yang ditulis penulis luar negeri memiliki kemungkinan lebih besar untuk menawarkan set sosio-kultural yang tidak saya temui di sini. Kalaupun ternyata kualitasnya buruk, paling tidak saya tidak rugi-rugi amat. Jadilah saya membaca Go Ask Alice, sebuah buku yang ditulis berdasarkan  buku harian seorang gadis remaja yang terjerat narkotika dan seks bebas yang tidak aman. Saya meminjam buku itu dari seorang teman sekelas ketika saya duduk di kelas tiga SMP. Itulah pertama kalinya saya membaca buku remaja yang demikian lugas menyajikan fakta (karena buku harian) demikian lugas dan tidak normatif. Terus terang saya mengalami gegar budaya pada saat itu, namun saya senang mendapat pengetahuan baru di luar apa yang selama ini saya tahu. Setelah Go Ask Alice, saya jadi memiliki ketertarikan lebih terhadap buku-buku remaja terjemahan, salah satu yang meninggalkan kesan selain Go Ask Alice adalah Looking for Alibrandi karangan Melina Marchetta. Buku itu menceritakan kegelisahan remaja keturunan Yahudi yang mengalami berbagai benturan budaya dalam upaya pencarian jati dirinya, Marchetta menuliskannya dengan sangat baik dan jujur terhadap apa yang ingin ia suarakan.

Pengalaman membaca itu kemudian memicu saya untuk selalu bertanya, ada apa lagi di luar sana? Apakah hal-hal seperti yang tertulis pada buku Go Ask Alice tidak terjadi pula di tempat saya tinggal? Mengapa saya tidak menemukan buku-buku yang menceritakan hal-hal tersebut? Mengapa kebanyakan buku remaja yang ditulis penulis Indonesia hanya bisa membicarakan cinta, dengan cara yang membosankan pula?

*

Membaca novel remaja pada usia menjelang seperempat abad tentu memiliki kekurangan-kekurangannya sendiri. Yang utama tentu saja referensi saya yang sudah jauh bertambah dibandingkan ketika saya masih remaja. Hal ini secara otomatis menurunkan harapan saya atas kejutan-kejutan yang bakal saya dapatkan dari buku ini. Sekadar mengantisipasi munculnya rasa kecewa berlebihan jika ternyata buku ini betul-betul tidak bisa saya nikmati—karena kondisi saya yang sudah berjarak cukup jauh dari hingar bingar kehidupan remaja.

Namun ternyata saya tidak kecewa-kecewa amat. Ternyata tokoh Aku di sini sangat membosankan—layaknya sebagian besar orang dewasa. Saya jadi merasa terhubung dengan hal-hal yang ia ucapkan serta bagaimana ia melihat dunia bekerja. Tokoh Aku dewasa menceritakan masa mudanya yang sebetulnya tak kalah membosankan, jika saja ia tak berteman dengan Kamu.

Ya, saya rasa tokoh utama dalam cerita ini bukanlah Aku, melainkan Kamu, seperti judul novel ini. Karakternya sungguh memikat: perpaduan antara remaja bandel yang energinya meluap-luap, namun juga memiliki sisi-sisi bijaksana seperti orang dewasa, seolah-olah hidup telah memaksa ia untuk menjadi dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Tokoh Kamu begitu hidup, berkebalikan dengan tokoh Aku. Biasanya, sudut pandang orang pertama akan mendominasi keseluruhan mood cerita, namun tidak dalam novel ini. Seolah tokoh Aku hanya ditugaskan untuk mengantarkan pembaca kepada kehidupan Kamu. Justru di situ menariknya.

Kejutan-kejutan yang tadinya tidak terlalu saya harapkan ternyata justru muncul dalam berbagai bentuk yang menyenangkan, membuat saya tertawa atau minimal senyum-senyum sendiri ketika membaca KAMU. Dio berhasil menggambarkan tingkah polah remaja yang apa adanya, tidak disopan-sopankan maupun sengaja dibuat urakan. Rokok, bir, ganja serta kehamilan di luar rencana, diceritakan sebagai hal yang terasa biasa saja, tidak tabu, namun juga tidak dikesankan menjadi sesuatu yang patut dipamer-pamerkan, dikeren-kerenkan. Pembaca mendapatkan gambaran yang cukup akan sesuatu, tanpa membuat mereka merasa yang seperti itulah yang seharusnya, yang seperti itulah yang keren. Saya percaya, salah satu cara membentuk rasa tanggung jawab pada remaja adalah dengan membuka segala akses informasi mengenai apa-apa yang ingin mereka ketahui, bukan menutupinya. Dengan demikian, pilihan sepenuhnya ada di tangan mereka, berikut segala risikonya.

Sebagai orang yang mengenal editor KAMU, Dea Anugrah, saya kira ini merupakan salah satu bentuk kolaborasi penulis-editor yang pas porsinya. Dea sebagai editor tidak terasa mendominasi dan menghilangkan poin-poin penting yang mewakili Dio sebagai penulis, di sisi lain, Dio tidak menutup diri dari masukan-masukan Dea yang membuat keseluruhan cerita menjadi lebih baik. Saya rasa keduanya berhasil menjadi partner yang baik dalam buku ini, dan sebaiknya tetap seperti itu dalam buku selanjutnya.

Ada satu hal yang saya sesali dari munculnya Moka Media dan terbitnya KAMU: kenapa baru sekarang? Andai saat ini saya bisa kembali menjadi remaja, tentu saya akan menjadi remaja yang memiliki riwayat membaca yang lebih baik, karena KAMU menjadi salah satu buku penulis Indonesia yang saya baca.

No comments:

Post a Comment