Film “Indonesiaku Di Tepi Batas” karya Elsa Adelina L yang saya saksikan di Festival Film Dokumenter ke 10 tahun 2011 ini mengingatkan saya pada isu separatisme di Indonesia yang belakangan kian merebak. Dalam film tersebut, diceritakan bagaimana masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia hidup sebagai Warga Negara Indonesia yang lebih banyak “bergaul” ke Malaysia. Meskipun tema tersebut sudah banyak dibahas melalui berbagai media, namun film ini berhasil menyajikan realita tanpa terjebak pada framing yang cengeng.
Masyarakat yang hidup di sana baru mengetahui bahwa mereka merupakan bagian dari NKRI setelah sekian puluh tahun Indonesia merdeka, itupun ketika mereka menerima “bantuan” berupa bendera merah-putih dari pemerintah, menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia beberapa tahun lalu. Film ini membawa kembali ingatan saya ketika saya melakukan penelitian lapangan di Kayu Ara, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat setahun yang lalu. Ingatan tentang bagaimana infrastruktur di sana yang begitu buruk, harga kebutuhan pokok yang mahal, listrik dan air bersih yang tak kunjung tersedia, serta akses terhadap berbagai hal yang demikian terbatas.
Ada satu pernyataan dalam film tersebut yang diam-diam saya amini, yaitu bahwasanya tuntutan masyarakat perbatasan mengenai peningkatan kesejahteraan hidup tersebut merupakan sesuatu yang sangat wajar. Bukan berarti mereka hanya mampu menuntut saja pada pemerintah, tapi kalau tidak berharap pada pemerintah, mereka harus berharap pada siapa lagi? Jika hubungan negara-rakyat dianalogikan sebagai relasi orang tua dengan anak-anaknya, bukankah sangat wajar ketika anak meminta kebutuhan hidupnya pada orang tua? Dan bukankah itu merupakan hak mereka sebagai anak serta merupakan tanggung jawab negara sebagai orang tua? Bukan berarti masyarakat lantas tidak melakukan apapun, mereka bahkan telah banyak bekerja keras untuk hidup setiap harinya, dengan keringat mereka sendiri.
Di sini saya bukan hendak menyudutkan pemerintah, hanya saja, coba kita sisihkan waktu sejenak untuk berpikir masak-masak sebelum melontarkan slogan heroik seperti “Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kau berikan untuk negaramu.” Bagi saya, slogan tersebut tak lebih dari sekedar pembelaan atas kegagalan negara untuk mengurus rakyatnya sendiri. Mari kita ingat juga bagaimana Indonesia pernah demikian gencar menggalakkan program Keluarga Berencana pada masa Orde Baru, bukankah asumsi pemerintah tentang hubungan kesejahteraan hidup dengan jumlah anak dapat kita kembalikan lagi dalam tataran yang lebih besar? Pada saat itu muncul premis umum bahwa keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang memiliki sedikit anak. Nah, sekarang bagaimana dengan negara yang sejahtera? Bukankah negara dengan kemampuan minim juga sebaiknya sadar diri dan memiliki sedikit rakyat saja?
Dalam relasi orang tua-anak, mungkin memang tidak pernah ada istilah mantan-anak maupun mantan-orang tua, namun bagaimana dengan negara? Indonesia jelas tidak pernah melahirkan pulau-pulau atau kerajaan-kerajaan yang sekarang menjadi bagian dirinya, mereka sudah ada jauh sebelumnya, dengan ataupun tanpa Indonesia sebagai negara. Relasi negara dan rakyat itu terbentuk dari adanya musuh bersama (penjajah) serta harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Jika fungsi negara tersebut memang sudah tidak dapat dipenuhi lagi, dan setelahnya kehidupan mereka justru menjadi lebih buruk, bukankah wajar jika kemudian ada bagian dari dirinya yang ingin melepaskan diri dari relasi yang tidak impas tersebut? Timor Leste, Aceh dan Papua merupakan bukti nyata yang tidak dapat kita abaikan.
Jika masih ada orang-orang yang merasa bahwa gerakan separatisme merupakan sesuatu yang merusak persatuan bangsa, rasa nasionalisme dan sebagainya, coba dipikirkan ulang, bukankah mereka dapat berkata seperti itu karena mereka hidup di area yang nyaman, di area yang menjadi anak emas negara? Apa bedanya pemikiran tersebut dengan pola pikir penjajah yang menjadikan rasa persaudaraan sebagai topeng atas eksploitasi? Apakah negara memang telah memilih peran ‘orang tua tiri’ yang bermuka dua: di siang hari bermuka manis dan mengeruk keuntungan, sementara malamnya mencambuki sang anak? Dikritik sedikit minta pemakluman, bahwa tidak mudah mengatasi semua masalah di wilayah seluas Indonesia, bahwa pemerintah sudah berusaha sebaik mungkin, dan sebagainya. Bukankah mereka seharusnya paham sejak mula, bahwa memang tidak pernah mudah mengurus sebuah negara? Dan apa yang salah jika seorang anak yang merasa sanggup hidup mandiri kemudian hendak memilih jalan hidupnya sendiri? Mereka tak meminta apapun, bahkan ganti rugi atas semua yang telah diambil oleh orang tuanya pun tidak. Mereka hanya ingin lepas dari relasi yang menyakitkan.
Baiklah, mungkin analogi orang tua-anak menjadi demikian hierarkis, mari kita cari analogi yang lain, dimana masing-masing pihak memiliki nilai tawar yang sama. Relasi antara negara dan rakyat, yang dibangun atas dasar keinginan bersama untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik itu, sebenarnya mirip juga dengan hubungan sepasang suami istri. Bukankah kedua belah pihak sama-sama sepakat untuk membangun sebuah lembaga demi kebahagiaan bersama? Kemudian apa yang salah ketika salah satu pihak justru merasa teraniaya dengan relasi tersebut dan menginginkan perceraian? Bukan, saya bukan hendak mendukung “perceraian” tersebut, hanya saja saya merasa, dalam kasus-kasus tertentu, bukankah perceraian justru menjadi jalan keluar? Misalnya dalam hubungan tersebut sering terjadi kekerasan, dan salah satu pihak telah demikian rusak secara fisik maupun mental. Apakah hubungan yang demikian masih layak dipertahankan atas nama “cinta”? Apakah salah ketika pihak yang teraniaya memilih untuk berpisah? Tidak, menurut saya.
Lalu bagaimana dengan negara yang gagal melindungi rakyatnya dari tindak penganiayaan oleh “tangannya” sendiri? Sudah terlalu banyak peristiwa mengenaskan yang terjadi di negara ini. Apa salah ketika pihak-pihak yang terluka itu memilih untuk memisahkan diri? Bagi saya, bahkan ada dan tidaknya negara tak lebih dari sebuah alat yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan semua orang, jika memang hal tersebut tidak dapat terwujud, berhenti saja jadi negara. Paulo Coelho pernah berkata: “Love is joy. Don’t convince yourself that suffering is part of it.” Mencintai negara-atau apapun juga, seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan. Jika sebaliknya, maka jelas itu bukan cinta, atau kalaupun terpaksa disebut cinta, maka jelas ia berasal dari jenis yang buta, yang tentu saja akan membuat tersesat, mencari-cari di dalam gelap. Kemudian menggelapkan segalanya, seperti kata sebuah lagu milik Efek Rumah Kaca.
No comments:
Post a Comment