Saturday, February 25, 2012

Perempuan Tanpa Masa Lalu

Aku tahu, saat ini kau pasti sedang membakar semuanya. Semua pemberianku selama ini: surat-surat itu, buku-buku hadiah ulang tahunmu, beberapa sobekan tiket bioskop, kepingan CD rekaman lagu, gantungan kunci, gelang.... semuanya. Aku tahu sekarang kau sedang membakarnya di halaman belakang rumahmu, di mana aku pernah menyaksikan upacara kremasi terhadap masa lalumu yang lain. Aku tahu kau sedang membakar semuanya, membiarkan semua itu jadi abu dan berlalu bersama waktu yang kian petang. Aku tahu kau sedang melakukannya dengan tenang, tanpa air mata dan sedikitpun penyesalan. 

Sementara aku di sini menghisap rokokku dalam-dalam, memandangi kertas surat berwarna coklat tua yang tertempel di dinding kamarku, serta sepasang sepatu berwarna biru, yang menjadi penyebab segala kecewamu. Siapa yang salah? Entah. Mungkin ini salahku, karena terus saja menyimpan dua benda itu, apalagi meletakkannya bersama dengan benda-benda pemberianmu. Mungkin ini juga salahmu, yang selalu melarangku membuangnya jika hanya demi dirimu, tapi kecewa saat tahu jika bukan demi dirimu, maka benda itu akan tetap berada di sana. Kau menginginkanku untuk membuangnya atas keinginanku sendiri, padahal kau tahu betul, aku tak pernah ingin membuangnya. Bukan karena aku masih mencintai perempuan itu-perempuan yang memberiku benda-benda itu, melainkan karena aku tak pernah punya masalah dengan keberadaan benda-benda dari masa lalu, sehingga aku pun masih menyimpannya sampai sekarang, hanya untuk sesekali mengenang segala yang pernah kulalui, kemudian melampauinya, tanpa meninggalkan bekas-bekas yang tak pernah tuntas.

Berbeda denganmu, yang memang sejak dulu selalu melenyapkan semua benda peninggalan masa lalumu, segera setelah semuanya berakhir. “Aku ingin menjalani hari-hari setelahnya sebagai orang yang benar-benar baru, aku tak membutuhkan benda-benda seperti itu. Masa lalu cukup kusimpan dalam ingatan. Lagipula, aku tak ingin menyakiti orang yang sekarang bersamaku,” ucapmu padaku.
Aku ingat ketika suatu hari kau sibuk mencari surat-surat yang kau tujukan untuk mantan kekasihmu-surat-surat yang tak pernah kau kirimkan itu, dan ternyata ia kutemukan di antara halaman bukumu yang sedang kubaca. Kau langsung merebutnya. Aku bilang aku ingin membacanya. Kau bertanya apakah aku yakin. Aku menjawab ya. Kau memberikannya padaku sambil berkata “Jangan lama-lama, setelah selesai kau baca aku akan segera membakarnya.” Aku berkata kau tak perlu membakarnya karena aku, aku tak pernah cemburu pada hal-hal seperti ini. Kau bilang semua itu demi dirimu sendiri. 

Tenggelam - Raisa Kamila
Dan memang benar, setelah aku selesai membacanya, kau segera memasukkan surat-surat tak terkirim itu ke dalam sebuah kaleng biskuit yang tampak hangus di sana sini, seperti sebuah tanda bahwa ia sudah biasa kau gunakan sebagai tempat kremasi masa lalumu yang sebelumnya. Kemudian kau memasukkan minyak tanah, dan membakarnya di hadapanku. Semua itu kau lakukan dengan tenang, sangat tenang. Tak tampak penyesalan sedikitpun pada raut wajahmu yang tegas. Semua datar, seperti tidak sedang kehilangan apapun. Aku sendiri hanya berdiri mematung melihat itu semua. 

Aku tak pernah bisa mengerti mengapa kau harus selalu mengambil keputusan-keputusan yang ekstrim dalam berbagai hal, seolah-olah jalan tengah memang tak pernah ada dalam kamus hidupmu. “Segalanya atau tidak sama sekali,” kalimat itulah yang selalu kau andalkan untuk menyuruhku berhenti bertanya. Aku tetap saja masih tak bisa mengerti. Sama seperti dirimu yang tak pernah bisa mengerti mengapa aku selalu menghindari konfrontasi, meskipun karena itu terkadang aku seperti diharuskan mengambil jalan memutar. Bagimu, konfrontasi adalah bagian dari risiko jika kita ingin mempertahankan prinsip. Yah, dalam hal ini kita memang selalu gagal untuk saling memahami. 

Aku begitu yakin, ketika kau selesai dengan upacara kremasimu sore ini, selanjutnya kau akan mengganti namaku di buku telepon ponselmu dengan nama biasa, tak ada lagi panggilan istimewa. Aku yakin sekali. Kemudian keesokan harinya kau akan memotong rambutmu, menggantinya dengan model baru yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya serta mengubah gaya berpakaianmu. Kau berusaha untuk terlahir kembali, meletakkan dirimu yang dulu bersamaku pada keranjang masa lalu. Begitulah caramu mengakhiri sesuatu, selalu begitu. Kau adalah perempuan tanpa masa lalu, atau setidaknya, kau berusaha untuk menjadi seperti itu. Bagimu masa lalu hanya akan melahirkan luka-luka berkepanjangan yang tak akan membawamu ke mana-mana selain pada tangisan-tangisan yang tak bisa kau hentikan setiap malamnya. 

Kertas surat berwarna coklat tua itu masih terletak pada tempatnya semula, seperti sejak pertama kali kau mempermasalahkannya. Pada pertengkaran besar itu, aku berkata bahwa nanti surat itu akan kusimpan di tempat yang tidak terlihat, sehingga ia tidak akan membangkitkan kesedihanmu lagi. “Kesedihanku akan kusimpan juga di tempat yang tidak terlihat...” katamu menjawab tawaranku. Aku memohon padamu jangan bersikap seperti itu. Namun kau tetap bersikeras hanya itu yang dapat kau lakukan, hanya itu yang dapat kita lakukan, kita sembunyikan saja semuanya masing-masing. Aku terdiam. Kita saling terdiam. Aku kehabisan cara untuk membuatmu percaya bahwa surat itu hanyalah benda, yang tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan rasa cintaku padamu. Aku kehabisan cara untuk membuatmu mengerti bahwa tidak semua orang memperlakukan masa lalu sebagaimana dirimu memperlakukannya. Aku putus asa. “Kamu lelah?” suaramu memecah kesunyian. Aku menjawab ya. “Baiklah, aku pun lelah,” ucapmu sambil berlalu. Tanpa banyak bertanya pun aku mengerti, bahwa kau tak akan pernah kembali lagi.

Yogyakarta, 18 Januari 2012

No comments:

Post a Comment