Saturday, June 6, 2015

Mereka yang Mendapatkan Traktiran Buku

Ketika pertama kali merencanakan traktiran buku, saya tidak memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap respon teman-teman. Saya sangat menyadari bahwa di zaman kita hidup sekarang, berkirim surat kerap dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim karena kerepotan yang menyertainya. Selain itu, ajakan berkirim surat di zaman serba cepat seperti ini, relatif mudah disalahartikan sebagai hal yang romantis/tidak kasual, yang di dalamnya terdapat lebih dari sekadar niat berteman. Terlebih jika kegiatan berkirim surat itu dilakukan oleh dua orang berbeda gender. Karena hal-hal itulah, saya sadar betul tidak akan ada banyak orang yang tertarik mengikuti kuis yang saya adakan, mungkin karena malas, mungkin juga karena takut disalahartikan sebagai upaya-upaya pendekatan yang tidak tulus.

Ternyata dugaan saya tidak sepenuhnya tepat. Mulanya saya pikir paling banyak akan ada lima orang pengirim surat, kenyataannya lebih dari itu. Bahkan ada beberapa nama yang tidak saya kenal sebelumnya. Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal terkait kuis traktiran buku kemarin.

Pertama,
Saya memahami, tidak mudah menulis surat untuk orang yang tidak kita kenal baik, yang belum pernah kita temui, yang berjarak. Sedangkan surat merupakan medium yang cenderung terasa akrab. Dari seluruh surat yang masuk, beberapa langsung meninggalkan kesan yang kuat, beberapa tidak. Beberapa terasa dekat dan hangat, beberapa terasa seperti resensi buku di surat kabar yang sangat berjarak. Anehnya, kesan-kesan tersebut tidak selalu berkaitan dengan kedekatan saya dengan si pengirim surat di dunia nyata. Ada surat yang dikirim oleh orang yang hanya saya tahu dari media sosial, namun ia bisa bercerita secara lancar, terasa akrab dan tidak dibuat-buat.

Kedua,
Terdapat kesalahpahaman yang lumayan masif dari para partisipan, yakni pemahaman mengenai "salah satu buku favorit". Beberapa partisipan mengaku merasa kesulitan menentukan buku favorit mereka. Padahal, jelas-jelas saya menuliskan "salah satu". Itu artinya, saya mengerti, bahwa tidak akan pernah ada satu buku favorit. Nyaris mustahil seseorang bisa memilih satu saja buku kesukaan. Harapan saya, dengan membubuhkan "salah satu", bisa dipahami bahwa saya mengerti jika buku favorit tiap-tiap orang pastilah lebih dari satu. Maka silakan pilih salah satu buku yang menimbulkan kesan, kemudian ceritakan kesan tersebut kepada saya. Mungkin tidak semua partisipan membaca dengan seksama tulisan saya itu, hehe. Tapi tidak apa-apa.

Ketiga, 
Saya ingin berterima kasih kepada seluruh partisipan yang meluangkan waktunya untuk mengirimi saya surat, terlepas dari harapan untuk mendapatkan buku gratis di baliknya, hehe. Terima kasih karena tidak menyalahartikan ajakan saya untuk berkirim surat. Terima kasih juga untuk partner saya, Dea Anugrah, yang tidak pernah merasa terganggu, terancam ataupun melarang saya untuk menjalin pertemanan dengan siapapun. Terima kasih.

Mulanya saya katakan, saya akan memilih dua surat yang paling saya sukai, namun pada praktiknya, ada tiga buah surat yang membuat saya terkesan. Hingga saat ini, saya tidak bisa memilih satu surat yang harus saya eliminasi dari ketiga surat itu. Maka, saya mengambil keputusan untuk memenangkan ketiganya. Ya, saya akan menambahkan satu buku lagi sebagai hadiah. Bagi yang tidak menang, jangan kecewa secara berlebih :)

Ketiga pengirim surat yang mendapatkan hadiah buku Seekor Burung Kecil Biru di Naha dari saya adalah:

1. Andi Sri Wahyuni
2. Pujianto
3. Ayu Diah Cempaka

Selamat!
Silakan cek surel, saya telah mengirimkan balasan :)

Saturday, May 23, 2015

Traktiran Buku

Saya suka membaca buku bagus, dan saya suka berbagi hal-hal yang saya suka. Dua hari lalu saya mulai membaca buku Seekor Burung Kecil Biru di Naha karya Linda Christanty dan langsung menyukainya. Secara garis besar, buku ini merupakan kumpulan esai dan reportase mengenai dinamisnya hubungan manusia dari pelbagai kawasan, mulai dari Asia, Eropa, hingga Amerika. Tulisan-tulisan di buku ini memiliki kesamaan garis yakni konflik, tragedi, dan rekonsiliasi. Meski belum selesai membacanya, saya tidak berniat untuk berhenti sebelum halaman terakhir. Tulisan Linda dapat dinikmati oleh siapapun, bahkan yang awam dengan jurnalisme.

Kebetulan hari ini saya berulang tahun dan saya memiliki sejumlah uang sisa belanja bulanan. Ketimbang kalian minta saya mentraktir makan, saya ingin mentraktir dua buah buku Seekor Burung Kecil Biru di Naha kepada dua orang teman. 




Namun karena saya bukan lagi bocah berusia dua tahun yang hanya berteman dengan kakak saya, maka untuk menentukan siapa yang akan saya kirimi buku ini, saya membuat semacam kuis. Berikut ketentuannya, silakan bagi yang tertarik untuk mendapatkan buku ini:

1. Kuis ini terbuka untuk siapapun, domisili Indonesia.

2. Saya suka berkirim surat, maka silakan tulis sebuah surat berbahasa Indonesia untuk saya, yang secara garis besar, kira-kira menceritakan salah satu buku yang kalian suka dan mengapa kalian menyukai buku itu. Anggaplah kalian sedang menceritakannya kepada saya.

3. Karena formatnya surat, jadi tidak ada ketentuan teknis seperti EYD, jumlah kata atau halaman, semuanya bebas.

4. Mempertimbangkan efisiensi, saya tidak akan meminta kalian mengirimkannya melalui pos, namun silakan kirim surat kalian melalui surel ke sailarezcan@gmail.com, dengan subjek email "Saila, traktir buku dong!"

5. Surat paling lambat saya terima pada tanggal 30 Mei 2015 pukul 24.00.

6. Setelah itu saya akan membaca satu persatu semua surat yang masuk, dan menentukan dua orang yang menurut saya telah menuliskan surat paling asyik dan menarik. Penilaiannya tentu saja bersifat subjektif dan tidak menerima protes.

7. Dua orang tersebut akan saya hubungi melalui email pada tanggal 6 Juni 2015 untuk konfirmasi dan teknis pengiriman buku. Yang tidak menerima email balasan pada tanggal itu berarti tidak menang.

8. Jika memungkinkan, sebagai bonus, saya juga akan menulis surat balasan atas surat yang dikirim oleh dua orang pemenang tersebut dan mengirimkannya juga bersama buku.

9. Kalau kalian sudah punya bukunya, tidak ada salahnya ikut juga, karena buku yang akan saya berikan masih utuh bersegel, jadi kalau dapat, bisa juga diberikan pada teman atau gebetanmu. Lumayan kan.

10. Sepertinya sudah semua. Selamat menulis surat!

Ulang Tahun







Dua puluh tiga tahun lalu, ulang tahun saya dirayakan dengan sebuah kue tart, meskipun hanya bersama keluarga, tanpa mengundang teman. Lagipula, berapa sih jumlah teman yang mungkin dimiliki bocah berusia dua tahun? Seingat saya, satu-satunya teman yang saya miliki sebelum masuk taman kanak-kanak adalah kakak laki-laki saya, Bram. Ia yang mengenakan rompi warna-warni pada foto di atas. Sedangkan perempuan berkacamata itu adalah Mama saya. Usianya saat itu dua puluh empat tahun, lebih muda satu tahun dari usia saya sekarang, dan ia sudah memiliki dua anak. Saya tidak memiliki ingatan lengkap tentang hari itu, namun empat foto di atas membantu saya untuk percaya bahwa hal itu benar pernah terjadi.

Sejauh yang dapat saya ingat, itu merupakan satu-satunya perayaan ulang tahun yang "ideal" yang pernah saya alami. Bersama keluarga, menyanyi, meniup lilin, memotong kue tart, menggunakan "dress ala princess", membuka hadiah. Setelahnya tidak pernah ada lagi. Demikian juga dengan kakak dan adik-adik saya. Sepertinya orang tua saya melakukannya bukan berdasarkan tradisi namun hanya agar anak-anaknya paling tidak pernah merasakannya satu kali. Saya setuju, karena saya tidak terlalu suka merayakan apapun dengan hal-hal yang lebih besar kerepotannya ketimbang kebahagiaannya.

Hari ini saya kembali berulang tahun, sama saja seperti tahun-tahun lalu. Namun ulang tahun keduapuluh lima terasa sedikit berbeda, entah kenapa. Terlebih ketika saya melihat adik saya yang berusia lebih muda lima tahun dari saya dan segala kegiatannya. Rasanya saya jadi sedikit mengerti mengapa usia awal dua puluh sering disebut sebagai yang paling menyenangkan.

Saya ingat beberapa tahun lalu, seorang teman baik saya bernama April sengaja memesan secara khusus sejumlah notes, untuk ia bagikan pada teman-temannya ketika ia berulang tahun. Saya mendapatkan sebuah, dan sudah saya gunakan sampai lembar terakhir. Notes penuh catatan itu masih saya simpan. Dari April, saya belajar bahwa jika kita tidak terlalu menikmati pesta perayaan ulang tahun dengan mentraktir makan teman-teman, kita bisa merayakannya dengan mentraktir hal lain.

Tahun ini saya ingin melakukannya. Saya ingin mentraktir buku, namun hanya untuk dua orang. Kalian bisa melihat ketentuannya di sini.

Wednesday, April 15, 2015

Cerita 6: Untuk Shivert Si Rubah dan Icha Si Panda

Beberapa hari lalu saya memutuskan untuk merapikan tampilan blog. Dalam proses sekitar satu jam itu, akhirnya saya juga memutuskan untuk “membersihkan” berbagai widget yang ada. Yang paling berat untuk saya hapus adalah widget virtual pet. Namun karena saya sudah memutuskan untuk membuat tampilan blog lebih rapi dan sederhana, jadi itu harus saya lakukan.

Berawal dari tahun 2011, Dea, pacar saya, pertama kali pamer virtual pet di blog miliknya, ia mengadopsi seekor rubah bernama Shivert sejak tahun 2008. Kemudian saya jadi ingin juga mengadopsi virtual pet di blog, hehe.

Saya memutuskan untuk mengadopsi seekor panda yang saya beri nama Icha, yah walaupun virtual, anggaplah ia betul-betul “seekor”. Saya sangat senang waktu itu, karena di kehidupan nyata, orang tua saya tidak mengizinkan saya memelihara hewan apapun di rumah. Setidaknya, sejak saya mengadopsi virtual pet di blog ini, saya jadi bisa merasakan sedikit-sedikit senangnya mengadopsi hewan, meskipun interaksinya sangat terbatas dan ia tidak benar-benar memiliki nyawa yang harus saya jaga.

Saya menamainya Icha karena itu merupakan nama panggilan adik saya yang suka sekali dengan panda, perawakan dan wajahnya pun mirip. Waktu ia kecil—saya lupa usia berapa bulan persisnya, ada sebuah momen di mana ia yang sedang tengkurap di tempat tidur tiba-tiba merangkak kemudian duduk untuk pertama kalinya. Saat itu ada saya, Ibu, dan kakak saya yang melihat. Ibu saya spontan nyeletuk “Weh, kayak panda.” Kami pun tertawa. Beberapa detik kemudian Icha menangis kencang sekali. Sampai saat ini kami tidak tahu apa yang menyebabkan ia menangis. Ketika ia dewasa dan kami ceritakan ulang padanya pun ia sama sekali tidak ingat (tentu saja). Mungkin waktu itu ia merasa ditertawakan. Makanya, ketika mendengar kata panda, yang pertama kali saya ingat adalah adik saya sendiri, Icha.

Widget virtual pet tersebut memiliki pilihan hewan berbeda-beda, dan tiap pilihan hewan memiliki pilihan interaksi yang berbeda pula. Kebetulan untuk jenis panda hanya memiliki satu pilihan interaksi selain pilihan ajakan bermain melalui klik kiri pada badannya (yang ada pada semua hewan), yaitu pilihan memberi makan daun bambu. Berbeda dengan Shivert, yang selain bisa kita beri makan daging, ia bisa juga kita beri bunga. Jika kita arahkan bunga kepadanya, ia akan mengendusnya dan muncul banyak tanda hati di sekitar kepalanya, yang menunjukkan bahwa ia suka.



Tahun lalu, saya lupa bulan apa, seiring dengan popularitasnya yang meningkat—ini bullying, Dea merasa perlu untuk merapikan tampilan blognya. Jadilah ia menghapus widget virtual pet di blognya, karena dirasa kurang pas dengan lay out baru yang ia pilih. Belum lama ini ia bahkan hijrah ke domain dot com, demi menciptakan kesan profesional katanya—ini juga bullying :pSaya agak sedih ketika Shivert tidak ada lagi, padahal saya lumayan sering mengunjungi blog Dea bukan untuk membaca tulisannya, melainkan hanya untuk menengok Shivert dan memberi makan, bunga atau sekadar mengajaknya bermain dan melompat-lompat. Untuk menghibur saya, Dea bilang Shivert sudah cukup tua dan anggap saja sudah saatnya mati. Saya malah jadi tambah sedih :(

Namun sekarang saya sudah cukup mengerti, bahwa segalanya memiliki batas waktu. Dan sekarang adalah waktunya untuk membenahi dan merapikan blog ini agar lebih nyaman dibaca. Mungkin saja sebentar lagi saya malah bisa mengadopsi hewan sungguhan, hehe.

Untuk Shivert dan Icha, saya tidak tahu ke mana perginya makhluk virtual seperti kalian setelah mati, tapi semoga kalian baik-baik saja. Terima kasih sudah jadi penjaga blog kami beberapa tahun kemarin. Jangan lupa makan ya! :3


Tuesday, March 31, 2015

Andai Bisa Kembali Remaja

Ketika mulai membaca Novel KAMU, Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya karya Sabda Armandio (selanjutnya disebut KAMU), yang serta-merta terbesit di kepala saya adalah kehidupan saya di akhir masa SMA. Saya mencoba mengingat apa saja yang saya lakukan ketika itu serta apa saja keputusan penting yang saya buat, sebagai seseorang yang belum menemukan dan membaca buku ini.

Berbagai ingatan berkecamuk. Mulai dari ujian praktik olahraga yang melelahkan, persiapan Ujian Nasional, ketakutan saya pada Matematika, berbagai tawaran untuk membeli bocoran jawaban soal ujian (tentu saya menolaknya), repotnya menjadi panitia buku tahunan, acara malam perpisahan yang terdiri atas riuhnya band-band-an, penolakan seorang lelaki atas pernyataan cinta saya yang terbata-bata, sekaligus penolakan saya atas sebuah pernyataan cinta dari seorang lelaki yang lain.

Dalam kekacauan di kepala saya, terdapat satu pertanyaan yang mengapung-apung di tengah lautan ingatan tersebut. Satu pertanyaan yang sungguh minta diperhatikan, yakni: apa sajakah buku karya penulis Indonesia yang saya baca pada masa-masa itu? Tentu saja di luar daftar buku-buku terbitan Balai Pustaka yang diwajibkan baca oleh sekolah. Mana saja yang meninggalkan kesan?
Di luar komik, saya hanya dapat mengingat beberapa seri yakni Lupus – Hilman dan Boim, Ipung – Prie GS, The Da Peci Code – Ben Sohib, Badman: Bidin! – Boim Lebon, dkk., Pangeran Bersarung – Mahbub Jamaluddin, Santri Semelekete – Ma’rifatun Baroroh. Dari yang sedikit itu, bisa saya katakan hanya dua judul yang meninggalkan kesan hingga sekarang, Lupus tentu salah satunya. 

Ya, saya tahu betapa menyedihkannya riwayat membaca saya ketika remaja, jika hanya diukur dari buku karya penulis Indonesia yang saya baca. Jika saya baca ulang buku-buku itu sekarang, dua judul terakhir yang saya sebutkan bahkan kerap gagal menyajikan kalimat yang baik, alih-alih menyajikan gagasan, karakter, alur, dan gaya bercerita yang memikat.

Saat itu sedang tren penulis-penulis swadaya dengan tema-tema agama. Mendadak banyak sekali nama-nama baru yang menerbitkan buku melalui jalur swadaya. Bermunculan beberapa komunitas yang memiliki sistem penerbitan swadaya untuk anggotanya. Tak mau kalah, buku-buku motivasi menulis pun ikut bermunculan, seolah menulis hanya membutuhkan keberanian untuk menulis apa saja yang ada di pikiran, tanpa harus memperkaya bacaan dan mengasah gagasan. Yang jelas, kondisi tersebut berpengaruh pada pilihan-pilihan bacaan saya—yang pada saat itu sama sekali tidak mengerti karya seperti apa yang bagus, siapa penulis yang bagus, dan sebagainya.

Akhirnya, pikiran praktis saya mencoba mengambil jalan pintas: memilih untuk membaca buku bacaan terjemahan. Dalam pikiran saya saat itu, walalupun belum tentu lebih berkualitas, namun paling tidak buku yang ditulis penulis luar negeri memiliki kemungkinan lebih besar untuk menawarkan set sosio-kultural yang tidak saya temui di sini. Kalaupun ternyata kualitasnya buruk, paling tidak saya tidak rugi-rugi amat. Jadilah saya membaca Go Ask Alice, sebuah buku yang ditulis berdasarkan  buku harian seorang gadis remaja yang terjerat narkotika dan seks bebas yang tidak aman. Saya meminjam buku itu dari seorang teman sekelas ketika saya duduk di kelas tiga SMP. Itulah pertama kalinya saya membaca buku remaja yang demikian lugas menyajikan fakta (karena buku harian) demikian lugas dan tidak normatif. Terus terang saya mengalami gegar budaya pada saat itu, namun saya senang mendapat pengetahuan baru di luar apa yang selama ini saya tahu. Setelah Go Ask Alice, saya jadi memiliki ketertarikan lebih terhadap buku-buku remaja terjemahan, salah satu yang meninggalkan kesan selain Go Ask Alice adalah Looking for Alibrandi karangan Melina Marchetta. Buku itu menceritakan kegelisahan remaja keturunan Yahudi yang mengalami berbagai benturan budaya dalam upaya pencarian jati dirinya, Marchetta menuliskannya dengan sangat baik dan jujur terhadap apa yang ingin ia suarakan.

Pengalaman membaca itu kemudian memicu saya untuk selalu bertanya, ada apa lagi di luar sana? Apakah hal-hal seperti yang tertulis pada buku Go Ask Alice tidak terjadi pula di tempat saya tinggal? Mengapa saya tidak menemukan buku-buku yang menceritakan hal-hal tersebut? Mengapa kebanyakan buku remaja yang ditulis penulis Indonesia hanya bisa membicarakan cinta, dengan cara yang membosankan pula?

*

Membaca novel remaja pada usia menjelang seperempat abad tentu memiliki kekurangan-kekurangannya sendiri. Yang utama tentu saja referensi saya yang sudah jauh bertambah dibandingkan ketika saya masih remaja. Hal ini secara otomatis menurunkan harapan saya atas kejutan-kejutan yang bakal saya dapatkan dari buku ini. Sekadar mengantisipasi munculnya rasa kecewa berlebihan jika ternyata buku ini betul-betul tidak bisa saya nikmati—karena kondisi saya yang sudah berjarak cukup jauh dari hingar bingar kehidupan remaja.

Namun ternyata saya tidak kecewa-kecewa amat. Ternyata tokoh Aku di sini sangat membosankan—layaknya sebagian besar orang dewasa. Saya jadi merasa terhubung dengan hal-hal yang ia ucapkan serta bagaimana ia melihat dunia bekerja. Tokoh Aku dewasa menceritakan masa mudanya yang sebetulnya tak kalah membosankan, jika saja ia tak berteman dengan Kamu.

Ya, saya rasa tokoh utama dalam cerita ini bukanlah Aku, melainkan Kamu, seperti judul novel ini. Karakternya sungguh memikat: perpaduan antara remaja bandel yang energinya meluap-luap, namun juga memiliki sisi-sisi bijaksana seperti orang dewasa, seolah-olah hidup telah memaksa ia untuk menjadi dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Tokoh Kamu begitu hidup, berkebalikan dengan tokoh Aku. Biasanya, sudut pandang orang pertama akan mendominasi keseluruhan mood cerita, namun tidak dalam novel ini. Seolah tokoh Aku hanya ditugaskan untuk mengantarkan pembaca kepada kehidupan Kamu. Justru di situ menariknya.

Kejutan-kejutan yang tadinya tidak terlalu saya harapkan ternyata justru muncul dalam berbagai bentuk yang menyenangkan, membuat saya tertawa atau minimal senyum-senyum sendiri ketika membaca KAMU. Dio berhasil menggambarkan tingkah polah remaja yang apa adanya, tidak disopan-sopankan maupun sengaja dibuat urakan. Rokok, bir, ganja serta kehamilan di luar rencana, diceritakan sebagai hal yang terasa biasa saja, tidak tabu, namun juga tidak dikesankan menjadi sesuatu yang patut dipamer-pamerkan, dikeren-kerenkan. Pembaca mendapatkan gambaran yang cukup akan sesuatu, tanpa membuat mereka merasa yang seperti itulah yang seharusnya, yang seperti itulah yang keren. Saya percaya, salah satu cara membentuk rasa tanggung jawab pada remaja adalah dengan membuka segala akses informasi mengenai apa-apa yang ingin mereka ketahui, bukan menutupinya. Dengan demikian, pilihan sepenuhnya ada di tangan mereka, berikut segala risikonya.

Sebagai orang yang mengenal editor KAMU, Dea Anugrah, saya kira ini merupakan salah satu bentuk kolaborasi penulis-editor yang pas porsinya. Dea sebagai editor tidak terasa mendominasi dan menghilangkan poin-poin penting yang mewakili Dio sebagai penulis, di sisi lain, Dio tidak menutup diri dari masukan-masukan Dea yang membuat keseluruhan cerita menjadi lebih baik. Saya rasa keduanya berhasil menjadi partner yang baik dalam buku ini, dan sebaiknya tetap seperti itu dalam buku selanjutnya.

Ada satu hal yang saya sesali dari munculnya Moka Media dan terbitnya KAMU: kenapa baru sekarang? Andai saat ini saya bisa kembali menjadi remaja, tentu saya akan menjadi remaja yang memiliki riwayat membaca yang lebih baik, karena KAMU menjadi salah satu buku penulis Indonesia yang saya baca.

Friday, February 13, 2015

Setelah Tiga dan Satu

Jumat, 13 Februari 2015

Halo Dea,

Tiga tahun ternyata tidak sepanjang yang kita bayangkan, ya? Agustus tahun lalu kita melewatinya, dan sore ini, persis pada jam ini, tepat satu tahun berlalu sejak aku mengantarmu ke stasiun untuk pindah ke Jakarta—lalu malam harinya abu vulkanik dari letusan Gunung Kelud tiba di Yogyakarta.

Aku tak pernah menyangka, satu tahun meninggali kota yang berbeda denganmu akan terasa seberat ini. Satu tahun yang membuat hubungan ini berkembang, meskipun harus dibayar  dengan banyak hal. Namun setidaknya itu sepadan.

Selama satu tahun ini, kita seolah dikembalikan pada fakta bahwa manusia tak akan pernah berhenti merasa kesepian. Maka dari itulah kita tak bisa menjalin sebuah hubungan hanya berdasarkan keinginan untuk menghilangkan rasa kesepian itu. Mustahil. Manusia akan selalu kesepian, sejak lahir sampai mati, dengan atau tanpan pasangan hidup.

Mulanya kukira jarak yang menumbuhkan perasaan kesepian. Namun aku kembali mengingat, kesepian tetap saja sesekali hinggap di diri kita dalam waktu dua tahun sebelum kau pindah ke Jakarta. Saat kita masih berada di kota yang sama dan dapat bertemu kapan saja kita mau. Pernah aku disibukkan oleh urusan beberapa hari sehingga tak sempat bertemu, dan setelahnya kau mengaku merasa kesepian, padahal aku masih berada di kota itu dan masih selalu menghubungimu. Begitu juga sebaliknya.

Pada akhirnya aku memahami bahwa akar dari rasa kesepian ada pada diri manusia itu sendiri, karena manusia berharap seseorang dapat mengisi ruang kosong dalam dirinya, karena manusia tidak pernah menerima kekosongan itu sebagai sebuah keutuhan. Padahal tidak akan pernah ada satu orang yang memiliki segala kelengkapan yang kau butuhkan untuk mengisi kekosongan itu—jika kita anggap kekosongan itu memang perlu diisi. Maka orang yang mencari pasangan dengan tujuan itu tidak akan pernah menemukan satu orang yang cukup, karena sejatinya terlalu banyak yang tidak dimiliki manusia.

Aku senang menyadari hal itu karena dengan demikian aku dapat menerima bahwa rasa kesepian bukanlah sesuatu yang mesti kita lenyapkan. Yang mesti kita lakukan justru mencari seseorang yang bisa kita ajak menjalani kesepian itu bersama-sama. Kontradiktif memang, namun itulah yang kupikirkan. Aku senang melihat kenyataan bahwa kita masih bersama-sama dengan segala kekosongan dalam diri masing-masing, tanpa merasa wajib untuk saling menambal kekosongan itu. Aku tidak membutuhkanmu untuk melengkapiku, namun aku menginginkanmu untuk menemaniku. Ada perbedaan mendasar antara membutuhkan dan menginginkan. Kebutuhan akan selesai ketika terpenuhi, dan akan mengecewakan ketika tidak terpenuhi. Sedangkan keinginan tidak. Kukira sebab paling jujur dari sebuah kebersamaan adalah karena kedua manusia itu memang ingin bersama-sama. Itu saja. Semoga kita masih ingin bersama-sama dalam waktu yang lama. Selamat menjalani tahun keempat bersamaku, selamat menjalani tahun kedua di Jakarta. Terima kasih ya, Dea Anugrah.




Saila Rezcan

Friday, January 23, 2015

Kutukan yang Terlambat Datang

Dua puluh hari berlalu sejak pesan terakhir yang kukirimkan padamu—entah kau membacanya atau tidak. Isinya kira-kira seperti ini: aku tidak tahu apa yang kau alami di kota lain yang berjarak ratusan kilometer dari kotaku ini, namun satu hal yang pasti, aku bersedia menunggumu menjawab pesanku lagi.

Empat puluh hari berlalu sejak pertama kali aku merasa ada yang berubah dari perangaimu. Dengan media komunikasi yang terbatas dan jarak yang nyata, sungguh, aku tak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku mengusahakan usaha paling maksimal yang dapat dilakukan manusia dalam kondisi seperti itu, namun rasanya itu tak mengubah apa-apa.

Segala hal tentangmu yang kukenali dan kukumpulkan sebagai fragmen pembentuk sosokmu perlahan hilang dan kau berubah menjadi bentuk yang asing. Bentuk yang tak pernah kubayangkan muncul dari dirimu, setidaknya dalam kurun nyaris lima tahun terakhir. Nyaris lima tahun telah kita lalui bersama-sama. Aku selalu bisa menebakmu. Aku selalu bisa memberitahumu, siapa saja perempuan di sekitarmu yang diam-diam jatuh cinta padamu, meskipun mereka tak bisa melakukan apa-apa. Karena mereka tahu mereka takkan bisa membuatmu jatuh cinta. Mereka tak bisa menjadi aku.

Namun kemampuanku membacamu ternyata memiliki batas. Perbedaan kota yang kita tinggali sungguh menyulitkanku dalam kondisi seperti ini. Aku bukanlah cenayang yang sungguh-sungguh dapat menerawang segala hal tentangmu, aku hanya terlahir dengan kadar kepekaan melebihi manusia biasa, sehingga aku lebih sensitif terhadap tanda-tanda. Namun dengan jarak sejauh ini, apa yang bisa kuharapkan? Tak ada yang terlihat.

Akhirnya aku menunggu, kutahan selama mungkin rasa penasaran yang menggerogoti pikiranku. Kau tahu betul ya bagaimana cara terbaik menyiksaku, orang yang demikian mudah jatuh penasaran ini. Hari-hari kuhabiskan dengan melakukan apapun yang dapat mengalihkanku dari dugaan-dugaan tak menentu akan keberadaanmu, dan yang lebih penting, perasaanmu padaku. Selama dua puluh hari aku berusaha menghubungimu entah berapa kali lewat pesan pendek, lewat telepon yang tak kau angkat—atau kalaupun kau angkat, hanya satu dua kata yang keluar dari mulutmu seperti “Aku sibuk,” atau “Nanti saja kutelpon,” sebelum kemudian kau matikan begitu saja telepon dariku, tanpa peduli sedikitpun padaku yang melongo bersama dengan nada telepon yang putus.

Dan aku tahu betul, setelah nada-nada itu selesai, tak pernah ada telepon darimu. Hingga akhirnya, setelah dua puluh hari berusaha semampuku, kuputuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat untukmu: “Hadiah terbaik yang bisa kuberikan adalah waktu. Ketahuilah, mulai hari ini aku hanya akan menunggumu mau bicara padaku lagi. Dua puluh hari telah kugunakan untuk melakukan semua yang bisa kulakukan, dan kurasa sekarang saatnya aku diam. Jika ada hal-hal yang meresahkanmu, gunakanlah waktu ini untuk menyelesaikan keresahan-keresahan itu. Kau tahu aku selalu ada di tempat yang sama.”

Selama dua puluh hari setelahnya, tak ada satu pun jawaban darimu. Di kantor, aku dikatai zombie oleh teman-temanku. Kata mereka, meskipun pekerjaanku tak ada yang meleset, namun tampangku lama-lama jadi tak mirip manusia. Seperti hanya cangkang tanpa jiwa, yang menurut saja mengerjakan apa-apa yang memang seharusnya dikerjakan, namun akalnya berhenti bekerja. Mereka sampai kehabisan akal untuk membuatku tertawa. Satu-satunya hal yang masih bisa menghiburku dan paling tidak membuat tawaku pecah—meski sedikit—adalah obrolan ringan bersama mereka selepas jam kantor dan sedikit lembur. Dua puluh malam berturut-turut kami pergi minum bir di Ox’s, mereka bergantian mentraktirku, melarangku membayar apapun, seolah-olah kesedihan telah membuatku jatuh miskin. Mereka menikmati sekali kesempatan ini, kesempatan untuk mengejekku yang sangat jarang datang. Sialan. Tapi aku cukup senang, di kota yang kacau ini ternyata masih ada orang-orang gila yang memikirkan betul kondisi teman sekantornya, meskipun dengan cara yang aneh.

Walapun terdengar menyedihkan seperti anak remaja yang kehilangan arah, namun aku tidak pernah minum sampai mabuk. Aku bukan orang yang bersedia kehilangan kendali atas diriku. Selalu ada batas yang bisa kuketahui, kapan waktunya meneguk gelas terakhir. Lagipula, bir buatan Ox’s memiliki kadar alkohol yang lebih sedikit dibandingkan bir kalengan. Konon pemiliknya memang ingin memperkenalkan sebuah terobosan baru: menciptakan bir untuk peminum pemula. Entah bagaimana caranya, mereka bisa membuat bir dengan kadar alkohol yang lebih sedikit ketimbang bir kalengan. Dengan terobosannya itu, mereka juga menjadi tempat minum pertama di kota ini yang menjual home made beer. Aku sudah pernah menceritakannya padamu, walaupun kita belum sempat ke sini bersama-sama.

Selama dua puluh hari itu, kesadaranku berada di antara keinginan untuk melupakan dan merelakan segalanya, termasuk tahun-tahun panjang yang kita lalui bersama, dengan keinginan untuk terus memegang erat segala kemungkinan di luar itu. Mulanya aku lebih mengkhawatirkan apa yang kau alami di sana ketimbang perasaanku sendiri. Hal segawat apakah yang telah menimpamu sehingga kau memutuskan untuk menghindariku dan bukannya berbagi denganku? Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.

Namun belakangan aku mulai dapat merasakan lukaku sendiri. Ketika di tengah keheningan ini aku melihatmu masih aktif mengecek dan berbincang dengan orang lain di media sosial, seperti tidak sedang mengalami hal buruk apapun. Aku jadi merasa sangat tolol telah memikirkanmu begitu serius. Mau apa lagi, kita adalah generasi yang dikutuk teknologi. Setelah berusaha menahan air mata yang hendak menjejalkan dirinya keluar dari pelupuk mataku, aku mematikan telepon genggam. Aku tak suka kehilangan kendali atas diriku, lebih-lebih pada tiga puluh menit menjelang rapat redaksi mingguan.

Terdengar musik 光とど dari kubikel Sam yang terletak beberapa meter dariku, tampaknya aku berhasil meracuni selera musiknya. Kunikmati saja suara sayup album “The Joys In Not Knowing” itu sambil merebahkan kepala di atas meja. Aku tidak ingin memikirkan apapun, aku tidak ingin mencari tahu apapun lagi.

***

Aku memutuskan untuk mengambil cuti selama dua minggu, dan saat ini sudah memasuki awal minggu kedua. Tidak buruk, seminggu kemarin kuhabiskan untuk membereskan rumah yang sudah seperti pengungsian korban banjir. Bahkan aku mulai membuat rancangan furniturku sendiri. Menarik menemukan ide-ide desain do it yourself di internet, ketimbang menghabiskan tabunganmu untuk berbelanja di toko furnitur mahal. Rasanya seperti kembali ke masa-masa ketika aku masih kuliah. Yah, sudah berapa tahun aku tak pernah berhubungan langsung dengan desain interior, karena tentu saja jika kau bekerja di majalah mingguan untuk perempuan, pengetahuan tersebut tidak diperlukan.

Aku jadi teringat sebuah kursi berbentuk kepompong yang dulu sama-sama kita lihat ketika jalan-jalan ke toko furnitur di sebuah pusat perbelanjaan. Kau tampak sangat senang mencoba kursi itu, sampai-sampai petugas toko mengingatkan kita untuk hati-hati mencobanya. Di saat-saat seperti itu, kau tak ubahnya anak kecil yang berbinar matanya, apalagi wajahmu memang seolah tak pernah bisa bertambah tua.

Kursi kepompong itu kita gambar ulang (atau lebih tepatnya aku, karena kau sama sekali tak bisa menggambar) sepulang dari jalan-jalan, karena kita tidak ingin melupakan kursi yang kita inginkan jika kelak kita punya cukup uang. Dan sekarang gambar itu secara tak sengaja kutemukan di antara lembar-lembar gambar yang lain. Entah mengapa, tanpa sadar aku mulai membuat rancangan yang lebih serius dan detail untuk kursi tersebut. Dan sepertinya besok aku akan mulai mencari materialnya. Aku ingin mencoba membuat kursi itu.

Sejak pesan terakhir yang kukirimkan padamu, sudah dua puluh tujuh hari berlalu. Aku tidak menyangka aku bisa melewatinya. Sekarang ini bisa dikatakan aku telah mencapai fase tidak mau ambil pusing. Aku bahkan bisa membayangkan perpisahan kita tanpa harus menangis. Bisa saja aku memanfaatkan cutiku untuk pergi ke kotamu dan mendatangimu, namun aku memilih tidak melakukannya. Kaulah yang pergi meninggalkanku, jika kau ingin pulang, pulanglah. Aku merasa ada batas yang tegas antara memperjuangkan apa yang berharga bagi dirimu atau mengorbankan dirimu sendiri untuk hal yang terlihat berharga hanya karena kau telah memilikinya dalam waktu lama. Ya, nyaris lima tahun tentu tidak bisa dibilang sebentar.

Pernah ada yang berkata padaku, tahun ketiga dalam sebuah hubungan merupakan salah satu titik terberat yang rawan konflik besar berujung perpisahan. Mungkin kita dapat mengandaikannya sebagai sebuah check point. Jika kita berhasil melewatinya, maka bolehlah merasa lega hingga tiga tahun berikutnya. Begitu seterusnya.

Kenapa tiga tahun? Entahlah, mungkin ia hanya mengamati dari yang sudah-sudah lalu mengambil konklusi, bahwa pasangan yang memasuki tahun ketiga sangat rawan berpisah, ketika terdapat masalah mendasar yang tak kunjung selesai—atau setidaknya disepakati untuk selesai.

Namun kenyataannya tak sesederhana itu. Bukan hanya perkara sebuah masalah selesai atau tak selesai, yang lebih rumit justru, bagaimana jika perasaannya belum selesai? Jika hanya melihat masalah-masalah dalam hubungan, semuanya jadi lebih sederhana. Masalah tak kunjung selesai, bisa dikatakan hubungan sulit berlanjut. Masalah selesai, berarti hubungan bisa berlanjut.

Jika masalah tak kunjung selesai, seharusnya hubungan tak dianjutkan. Tapi masalah tak kunjung selesai dan perasaan yang juga belum selesai akan melahirkan pilihan-pilihan yang sulit. Pilihan mengakhiri hubungan menjadi pilihan yang sulit karena perasaan kita akan terluka. Kehilangan. Kesepian. Rasa takut menghadapi hal-hal itulah yang biasanya mencegah—atau setidaknya memikirkan ulang—keputusan untuk mengakhiri sebuah hubungan.

Kita pernah membicarakan hal ini panjang lebar, saat itu tahun keempat usia hubungan kita. Kita membicarakan hal itu sambil tertawa-tawa, seolah kita termasuk dalam golongan yang telah berhasil melewati check point pertama dan tahun keempat merupakan masa yang bisa dilalui dengan santai. Memang benar tahun keempat kita lalui dengan santai, sebagian besar masalah dan proses penyesuaian diri antar-individu telah kita selesaikan di tiga tahun pertama. Namun ternyata di akhir tahun keempat, kau mendapatkan pekerjaan di kota lain. Pekerjaan yang telah lama kau inginkan jika dibandingkan dengan pekerjaanmu di kota ini. Aku ikut senang. Apa yang layak dikhawatirkan dari hubungan jarak jauh bagi pasangan yang telah mengalahkan kutukan tahun ketiga?

***

Empat puluh hari berlalu sejak pesan terakhir yang kukirimkan padamu—entah kau membacanya atau tidak. Besok merupakan hari di mana kita seharusnya merayakan tahun kelima kita bersama, namun tak ada tanda-tanda kau masih menganggap hubungan ini ada. Kursi kepompong bergoyang-goyang, meskipun tak ada angin yang bertiup dari jendela. Aku berhasil menyelesaikannya selama satu minggu terakhir cutiku. Cukup nyaman diduduki, walaupun pasti ada satu-dua kekurangan jika dibandingkan dengan kursi aslinya.

Telepon genggamku berbunyi. Fotomu muncul bersama dengan nomormu, kau menelepon. Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku sangat takut. Aku tidak berani mengangkatnya hanya untuk mendengar suaramu yang berkata ingin mengakhiri hubungan. Entahlah, aku hanya merasa telepon darimu jelas hanya akan menyampaikan kabar buruk. Aku membiarkannya saja hingga mati sendiri. Beberapa menit kemudian kau kembali menelepon. Aku kembali mendiamkannya. Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kukatakan padamu? Apa aku harus berkata “Halo, apa kabar?”, ah tentu tidak. Tidak. Bagaimana kalau aku menangis mendengar suaramu? Aku tidak ingin menangis. Aku tidak suka ketika aku harus menangis.

Kupasang earphone di telingaku dan kuputar musik apapun sekeras-kerasnya. Aku tidak ingin mendengar bunyi telepon, tapi tidak ingin mematikannya. Aku ingin kau mengalami bagaimana rasanya menelepon ratusan kali namun tidak kunjung diangkat.

Let's just forget
Everything said
And everything we did
Best friends and better halves

Pemutar musikku memainkan salah satu lagu kesukaanmu, baru kali ini aku benar-benar mendengarkan liriknya.

Goodbyes
And the autumn night
When we realized
We were falling out of love

There were some things
That were said
That weren't meant
But were said

Like we never did
Not to be
Overly
Dramatic

I just think it's best
'Cause you can't miss what you forget

Kulihat lampu kecil di sudut telepon genggamku berkedip. Tanda sebuah pesan masuk. Darimu. Sambil tetap mengenakan earphone, kubuka pesan itu. Hanya sebuah kalimat singkat: “Kita putus saja, ya? Aku lelah, kurasa kau pun demikian.”

Pemutar musik masih memainkan lagu yang sama, seperti kau sendiri yang menyanyikannya untukku.

So let's just pretend
Everything and anything
Between you and me
Was never meant* 



*“Never Meant”, sebuah lagu dari band asal Amerika, American Football