Tuesday, October 30, 2012

What a Coincidence!

















































*Projek ini merupakan projek yang saya kerjakan pada saat Outing KPY di Cilacap, dengan mentor Karolus Naga dan Kurniadi Widodo.

Sunday, September 30, 2012

Who's this?

Franz Stresemann's image source: http://vietsub.vn/forum/showthread.php?t=426

At first, I just wanna make a face with mustache. But then I realize, this photo reminds me of Takenaka Naoto's face as Franz Stresemann on "Nodame Cantabile: The Movie II", haha!

Saturday, September 29, 2012

Death.Inc

“Mereka hidup dari yang mati.

Kematian tak selalu kehilangan.

Yang mati bisa juga berarti.

Kematian adalah kehidupan.”

                Death.Inc merupakan sebuah on-going project yang saya mulai pada Mei 2011. Projek ini bercerita tentang paradoks kematian, yaitu ketika di balik sebuah peristiwa kematian, sesungguhnya ada orang-orang yang mencari penghidupan darinya.








Sad Fruits



I am sorry I eat you :|
I forget to flip the papaya-lips in order to give more sad-impression -_-

Thursday, May 31, 2012

Komunikasi, Sebuah Kegelisahan Personal

Tak terasa tiga puluh satu hari nyaris selesai, tak terasa pula empat tahun masa kuliah nyaris habis terpakai. Walaupun saya menguranginya dengan masa cuti satu semester, sehingga masa kuliah saya baru terhitung tiga setengah tahun.

Belum lama ini saya meluangkan waktu untuk melihat kembali transkrip nilai saya, serta mengingat ulang apa saja kiranya yang telah saya pelajari di kampus selama tiga setengah tahun ini. Saya melihat daftar mata kuliah satu per satu dan mengurai ingatan-ingatan tentangnya, baik itu materi kuliahnya, cara mengajar dosennya, maupun mengapa saya bisa mendapatkan nilai yang tertera di sana.

Hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Ada banyak mata kuliah yang saya ingat hanya sebagai sebuah kelas tanpa gol yang jelas. Tanpa ada alur belajar yang sistematik dan ukuran-ukuran nilai yang transparan. Mungkin jika diibaratkan sebagai sebuah ceramah, ia seperti ceramah motivasi yang terasa nyaman, solutif, serta mudah dipahami ketika kita mendengarkannya, namun semua kata-kata tersebut lenyap menguap begitu kita meninggalkan ruangan.

Saya rasa permasalahan terbesar dari kuliah jenis ini adalah sistem yang nir perencanaan. Tidak adanya kontrak belajar di awal pertemuan serta kurangnya sosialisasi Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) berakibat pada materi kuliah yang seolah-olah hanya berisi ceramah dosen yang tidak terarah. Semua seperti semau dosennya saja, ingin memberi materi apa pada tiap pertemuan. Akibatnya, mahasiswa cenderung memahami perkuliahan dengan sepotong-sepotong. Maksudnya, bisa jadi pada satu pertemuan kita paham topik atau isu aktual apa yang dibicarakan dosen, namun entah pada pertemuan-pertemuan lainnya. Sehingga pemahaman materi kuliahnya sudah tidak sesuai silabus, tidak utuh pula. Bahkan tak jarang, karena apa yang disajikan di dalam kelas tidak sesuai dengan silabus yang ada, banyak mahasiswa yang kecele terhadap mata  kuliah itu.

Sistem yang seperti itu tidak saja membuat perkuliahan menjadi sia-sia, namun juga merugikan mahasiswa dari segi penilaian. Jika dosen tidak memberikan ukuran nilai yang jelas di awal perkuliahan dan hanya memberi ceramah saja, bagaimana bisa kita mengonfirmasi nilai akhir kita, apa kriteria-kriteria penilaiannya? Harusnya hal-hal semacam ini disampaikan sejak awal, pun jika kebijakan dosen dalam menilai memang hanya sebatas Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester.

Selain itu semua, terdapat satu hal yang sebenarnya paling esensial terkait dengan kualitas perkuliahan, yaitu positioning yang jelas sejak awal, mahasiswa belajar ilmu tersebut sebagai apa? Sebagai calon praktisi ataukah calon akademisi? Bahkan bagi calon praktisi pun terbagi lagi menjadi dua prioritas, bagian kreatifnya-kah? Atau bagian teknisnya?




Jika memang visi sebuah kampus adalah menjadikan dirinya sebagai kampus berbasis riset yang bertujuan untuk melahirkan penemuan-penemuan baru atas ilmunya, maka tentu saja sejak awal mahasiswa harus diarahkan untuk melihat ilmu tersebut dari perspektif akademis, sehingga implementasinya pada perkuliahan, mahasiswa tidak akan terlalu direpotkan dengan masalah kreatif, apalagi teknis.

Benar jika kita harus mempelajari ilmu secara utuh. Namun yang saya tekankan di sini, dalam ranah ilmu komunikasi kita tetap harus melakukan pilihan fokus, karena menguasai ketiga kemampuan tadi jelas bukan hal yang ringan. Jika memang ingin mencetak praktisi yang kreatif, maka sejak awal mahasiswa harus diarahkan untuk melihat ilmu tersebut sebagai ilmu yang praktis non-teknis. Contohnya, dalam kuliah yang berkaitan dengan sinema, mahasiswa diarahkan untuk membuat ide dan konsep film yang memiliki visi. Penulis naskah, penata musik, director of photography, serta sutradara adalah profesi yang lahir dari perspektif ini. Sedangkan jika ingin mencetak praktisi teknis, maka sejak awal mahasiswa harus diarahkan untuk fokus menguasai teknis. Kameramen, soundman, serta kerja-kerja teknis lain merupakan profesi yang lahir dari perspektif ini.

Namun jika ingin mencetak akademisi, tentu saja sejak awal mahasiswa harus diarahkan untuk fokus melihat film sebagai objek penelitian, sebagai sesuatu yang bisa dipelajari secara akademis. Fokus di sini bukan berarti total pada satu hal kemudian sama sekali tidak peduli pada dua hal lainnya. Karena itu tidak akan terjadi, untuk menguasai satu hal, dua hal lainnya tetap perlu dipelajari, hanya saja bobot dan praktiknya yang harus dibedakan.

Kembali saya terpaku pada selembar kertas transkrip nilai. Saya sadari betapa tidak terorganisirnya ilmu yang telah saya pelajari, sehingga saya dan banyak teman-teman lain kelabakan ketika memasuki masa-masa akhir studi kami. Seolah selama ini kami belajar tanpa arah dan tujuan yang jelas. Saya bahkan belum dapat menentukan, dari berbagai fokus studi yang terdapat pada Konsentrasi Media dan Jurnalisme, sebenarnya apa yang benar-benar saya sukai dan kuasai? Karena dalam konsentrasi tersebut pun masih terlalu banyak pilihan fokus studi yang tidak pernah diarahkan dalam pengambilannya. Apa sebenarnya yang saya pelajari dengan mendalam selama saya kuliah? Apakah Jurnalisme? New Media? Film? Komunikasi Budaya? Sejarah Media Massa? Komunikasi Politik? Penyiaran Radio? Penyiaran Televisi? Fotografi? Saya belum bisa menentukan, pun di saat jatah waktu kuliah telah nyaris habis terpakai.

Wednesday, May 30, 2012

Ecekepret #2

Deuh, saya buru-buru sekali. Sebentar lagi saya harus pergi ke sebuah acara diskusi nun jauh di jalan wonosari km. 11. Ini pun nyolong-nyolong posting. Besok hari terakhir 31 Hari Menulis, saya sudah menyiapkan tulisan panjang sebagai penutup. Sampai besok ya, warnetnya bikin emosi.

Tuesday, May 29, 2012

KKN: Kuli-ah Kerja Nyata?



Sebentar lagi Kuliah Kerja Nyata (KKN) antarsemester kembali datang. Kegiatan tahunan yang konon telah menjadi trademark tersendiri bagi UGM ini rupanya belum banyak mengalami perubahan, termasuk dalam hal pembenahan.

Samar-samar saya mendengar dan membaca berbagai komentar dari mahasiswa angkatan 2009 yang akan melaksanakan KKN bulan Juli nanti. Komentar-komentar tersebut ternyata belum beranjak dari ketidakjelasan berbagai informasi, ”ketidakpedulian” LPPM pada kebutuhan tiap kelompok KKN akan mitra pendanaan, pada bagaimana birokrasi ke kepala daerah sehingga mahasiswa tidak diperas uangnya (karena seharusnya yang dimanfaatkan adalah ilmu dan tenaganya), serta birokrasi yang berbelit-belit dan tidak jelas alurnya.

Hmmm.... rasanya masih belum ada perubahan menuju arah yang lebih baik secara signifikan. Di bawah ini saya kutipkan sedikit tulisan dari Laporan Pelaksanaan Kegiatan (LPK) KKN yang saya tulis setahun lalu. Semoga kritik yang ada di dalamnya tidak kembali muncul pada LPK tahun ini ;)

(Romawi I hanya berisi uraian program KKN yang saya laksanakan beserta laporan dan evaluasinya)

II. KESIMPULAN
Secara keseluruhan, program-program yang direncanakan oleh mahasiswa KKN-PPM UGM telah terlaksana dengan baik, lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Sambutan baik masyarakat terhadap program-program yang ditawarkan KKN-PPM UGM menjadi faktor utama terlaksananya program-program tersebut. Selain itu, kerjasama yang baik dari para perangkat desa, dinas terkait serta pemuda-pemudi pun turut menjadi faktor pendukung terlaksananya berbagai program tersebut.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya tentu saja masih terdapat banyak kekurangan yang seharusnya tidak terulang di masa-masa yang akan datang. Mungkin saja apa yang diberikan oleh KKN-PPM UGM berbeda dengan apa yang diminta oleh masyarakat. Hal itu bukan merupakan kesalahan siapapun, hanya saja, masing-masing pihak tentu memiliki kepentingan serta argumennya sendiri dalam mengambil keputusan.
Sempat terdengar beberapa pertanyaan dan masukan, mengapa program-program KKN-PPM UGM tidak menyentuh wilayah dusun asli penduduk shelter yang ternyata masih ditinggali beberapa kepala keluarga.
Hal-hal tersebut memang bukan sesuatu yang harus dipikirkan dan ditanggapi secara serius, sebab sejak awal tema, wilayah kerja serta sasaran program KKN-PPM UGM ini adalah masyarakat di Shelter Dongkelsari, namun tidak ada salahnya hal ini menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana ke depannya.

Dengan terlaksananya semua program ini, kami berharap tujuan dari program-program tersebut dapat tercapai, dan masyarakat bisa mengambil manfaat darinya. Selain itu, keberlanjutan program-program tersebut pun menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan, karena jika tidak, maka semuanya hanya akan menjadi formalitas syarat kelulusan bagi mahasiswa saja, tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat.

Terima kasih kami ucapkan bagi seluruh pihak yang telah membantu dan turut serta dalam pelaksanaan kegiatan KKN. Semoga apa yang telah dilaksanakan bisa menjadi acuan untuk membuat KKN di tahun berikutnya menjadi lebih baik lagi.

III. SARAN
Saran untuk kegiatan KKN-PPM di masa mendatang :


  1. Mengingat perkembangan zaman yang pesat, rasanya perlu dilakukan peninjauan kembali mengenai relevansi KKN-PPM yang diselenggarakan oleh LPPM UGM, terutama di wilayah sub-urban seperti desa-desa di berbagai kabupaten di Propinsi DIY, apakah masih sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya? Karena kasus yang banyak ditemui pada KKN di wilayah sub-urban ialah besarnya gap antara apa yang diminta oleh masyarakat dengan apa yang diberikan oleh KKN, sehingga keduanya menjadi sama-sama tidak optimal. Masyarakat sub-urban memiliki tuntutan-tuntutannya sendiri yang terkadang masih belum mampu dipenuhi oleh KKN-PPM. Jika memang ke depannya KKN-PPM lebih relevan diselenggarakan di wilayah-wilayah luar Pulau Jawa, untuk masyarakat yang masih benar-benar membutuhkan, maka perlu peninjauan ulang pula terhadap LPPM, mengenai kesanggupannya untuk mendukung hal tersebut, mengingat perannya sebagai penyelenggara KKN-PPM itu sendiri.
  2. Sebagai akademisi, sebisa mungkin keterlibatan mahasiswa dalam KKN-PPM adalah sebatas partisipasi tenaga, waktu dan pikiran, bukan biaya untuk program-program itu sendiri. Rasanya kurang adil ketika segala keperluan KKN, mulai sejak pembentukan tema, negosiasi, pencarian dana hingga pembiayaan program (jika tidak berhasil mendapatkan mitra) semuanya ditanggung oleh mahasiswa.
  3. Di sini saya mempertanyakan peran LPPM sebagai sebuah supporting system sekaligus penyelenggara KKN-PPM itu sendiri.




Monday, May 28, 2012

Etika Komunikasi dalam Penyiaran: Mitos Lama yang Tak Kunjung Jadi Nyata

Berdasarkan UU Penyiaran NO. 32/2002, media penyiaran dibagi menjadi tiga macam yaitu Media Penyiaran Publik, Media Penyiaran Swasta serta Media Penyiaran Komunitas. Tentunya semua media tersebut tetap saja terikat dengan sebuah etika, terutama etika komunikasi. Seperti yang kita tahu, saat ini media penyiaran publik di Indonesia telah kehilangan taringnya sebagai media yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan publik. Sebut saja Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) yang saat ini nyaris tak terdengar gaungnya barang sedikitpun. Padahal, bicara tentang etika komunikasi, seharusnya media publik inilah yang menjadi teladan bagi dua media penyiaran lainnya. Di sisi lain, media penyiaran swasta/komersil jelas tak mungkin menjadikan etika serta hal-hal normatif lainnya sebagai sesuatu yang prioritas. Karena berdiri di atas kepentingan kapital dan modal, otomatis mereka rentan untuk dibutakan dengan uang dan keuntungan. Media swasta melihat apa yang mereka lakukan semata-mata adalah industri. Sedangkan media penyiaran komunitas dapat dikatakan sebagai media dengan sistem “kerja bakti”. Mereka berangkat dari komunitas yang notabene berasaskan kekeluargaan, dilatarbelakangi dengan kesamaan hobi atau kesukaan. Dengan demikian, tentu saja media komunitas tak memiliki daya kapital yang besar, bahkan relatif swadaya. Maka, untuk menembus tembok mainstream pun bukan hal yang mudah bagi media komunitas.

Jika melihat dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa media publik adalah media yang menjalankan etika komunikasi secara pas namun tidak dipedulikan, media swasta adalah media yang tidak peduli pada etika komunikasi dan cenderung mementingkan keuntungan semata, sedangkan media komunitas adalah media yang berusaha menjalankan etika komunikasi sebaik mungkin namun tak berdaya untuk meruntuhkan kebobrokan etika media swasta.

Peraturan terkait dengan etilka komunikasi sebenarnya sudah ada, namun bukan Indonesia namanya jika tidak berprinsip “peraturan ada untuk dilanggar”. Di sisi lain aturan tertulis terkait dengan etika komunikasi pun rumusannya belum terperinci dan masih banyak celah terjadinya pelanggaran. Bayangkan saja kode etik jurnalistik yang hanya memiliki 20 pasal itu diharapkan mampu mendidik para praktisi media di seluruh Indonesia untuk menjadi jurnalis yang beretika. Jelas omong kosong besar. Dibandingkan dengan kode etik lingkup perusahaan media The Times saja sudah kalah jauh. Selain itu, yang 20 pasal ini pun pada kenyataannya tak mampu bersikap keras terhadap pelanggaran yang terjadi. Mudah saja mengembalikan acara yang dikenai sanksi dilarang siar oleh KPI, ganti saja judulnya, siaran lagi, lalu beres. Seperti yang terjadi pada Empat Mata dan Silet. Kode Etik Jurnalistik hanya menjadi bahan olok-olok bagi kapitalisme. Jurang antara keduanya terlampau jauh, kode etik hidup di wilayah utopis dan realitasnya pelaksanaan jurnalisme berada pada kebalikannya.

Kondisi demikian terjadi tak lain karena sebuah sebab akibat yang tak dapat dilepaskan satu sama lain, kapital menuntut keuntungan, keuntungan dapat diperoleh jika modal lebih kecil daripada penjualan. Maka, modal dari media penyiaran antara lain adalah praktisi media /jurnalis yang bekerja untuk mereka, sedangkan penjualan adalah jumlah iklan dan rating yang ada pada institusi mereka. Kesimpulannya, sebisa mungkin institusi media menekan harga untuk praktisi media/jurnalis (modal), kemudian mencari cara untuk meningkatkan jumlah iklan dan rating. Caranya? Merekrut praktisi media/jurnalis yang murah gajinya, yang sekolahnya tidak sesuai dengan pendidikan jurnalis, yang tak mengeri apa-apa tentang jurnalisme. Yang penting penampilan menarik dan bisa sedikit berpikir. Lalu bagaimana dengan usaha peningkatan iklan? Cari saja berita-berita penuh sensasi, yang bombastis, yang humanis, yang dramatis, beres. Dengan kenyataan yang seperti itu, sudah sangat jelas bukan, tak ada lagi tempat untuk etika dalam media swasta.

Solusi untuk permasalahan ini tentu saja tidak mudah membalikkan telapak tangan, untuk menghilangkan jurang antara yang normatif dan kenyataan jelas peran masyarakat sangat dibutuhkan. Selama mainstream masyarakat masih terpaku pada sesuatu yang dangkal, tentu saja tak akan ada perubahan signifikan. Masyarakat perlu menjadi kritis dan membabat habis media yang tak tahu etika, media yang asal mencari keuntungan saja. Selain itu, media publik yang semestinya menjadi penetral pun harus melakukan revolusi besar-besaran agar dilirik masyarakat, sehingga nantinya media swasta akan meniru media publik.

Sunday, May 27, 2012

Keracunan Warpaint




Tadinya saya mau menulis tentang media penyiaran, tapi saya sedang keracunan band ini, khususnya lagu ini. Saya jadi sulit konsentrasi, mungkin besok saja saya tulis tentang media penyiaran. Sekarang mari kita dengarkan lagu yang merasuk ini...

Saturday, May 26, 2012

Ironi di Kampus Kita


Hari ini hasil Ujian Nasional tingkat SMA diumumkan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ada siswa yang berbahagia, ada yang berduka. Yang lulus tentu saja lega luar biasa, akhirnya perjuangan selama 12 tahun bersekolah selesai juga. Akhirnya mereka yang telah lama mendambakan menyandang status mahasiswa berkesempatan juga mengikuti
ujian masuk universitas.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, setelah ini akan ada para mahasiswa baru yang merasa berhasil meraih cita-citanya berkuliah di Universitas X, Fakultas Y, Jurusan Z. Tentu saya pilihan-pilihan tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, salah satunya adalah harapan siswa tersebut untuk belajar banyak hal yang berkaitan dengan apa yang ia minati. Misalnya saja siswa yang memilih Jurusan Ilmu Komunikasi, mereka tentu memiliki ekspektasi bahwa nantinya akan ada banyak kesempatan untuk menggali ilmu komunikasi sebanyak-banyaknya.

Pernahkah kita mendengar sebuah komentar yang berbunyi demikian: "Kalau jadi mahasiswa cuma kuliah saja nanti jadi cupu. Ada lebih banyak ilmu yang bisa dipelajari di luar kampus, kampus hanya untuk formalitas saja." Apakah anda berhasil menangkap sebuah ironi pada komentar semacam itu?

Saya sangat sepakat bahwasanya seorang mahasiswa harus mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dari mana saja. Namun yang menjadi perhatian saya pada komentar tadi adalah, betapa kampus lebih banyak dianggap sebagai formalitas dan status semata, bukan sumber ilmu yang utama.

Ini menyedihkan, jika mengingat betapa bersemangatnya para lulusan SMA ketika hendak memilih jurusan di sebuah universitas. Betapa mereka sangat antusias membayangkan akan kuliah di universitas besar dan terkenal. Namun ketika mereka benar-benar kuliah di sana, tahun demi tahun mereka semakin mahfum, bahwa kampus mereka bukanlah sumur ilmu yang deras airnya. Sampai akhirnya, banyak dari mereka yang menjadikan kuliah sebagai formalitas belaka, namun dalam perkara belajar, mereka mencari sumur-sumur ilmu lain yang terkadang mutu airnya justru lebih baik dan tidak memakan banyak biaya. Jadi sebetulnya kita kuliah itu membayar apa? Mungkin membayar biaya pembangunan gedung, portal-portal dan rumah sakit. Mungkin juga membayar sebuah prosesi wisuda danselembar kertas ijazah.

Ah, diam-diam saya merindukan sebuah masa di mana para mahasiswa berkata, "Di kampus, aku benar-benar mendapatkan ilmu yang aku harapkan, aku bersyukur kuliah di sini."

Friday, May 25, 2012

Kuliah Sore Bersama Ahnaf

Seorang anak kecil tiba-tiba membuka pintu ruang kuliah dan masuk dengan wajah yang sangat polos. Sejumlah mahasiswa yang telah cukup lama menunggu kedatangan sang dosen terkejut melihatnya. Ternyata di belakang anak kecil tersebut muncullah sang dosen yang terkenal sangat disiplin dan kaku itu. Mahasiswa mulai saling berbisik menebak siapa gerangan anak kecil yang datang bersama sang dosen.

Tampaknya sang dosen menangkap rasa penasaran yang menyebar di seluruh ruangan, ia pun serta merta berkata, "Ini anak saya yang nomor tiga, namanya Ahnaf, biasa dipanggil Anau. Katanya dia mau ikut kuliah."

Seketika seluruh kelas pun mencair. Anak kecil bernama Ahnaf ini memang lucu sekali, bahkan dosen yang terkenal kaku itu tampak menyunggingkan senyum ketika melihat tingkah anaknya. Sore itu sang dosen tidak tampil sebagai sosok yang kaku, melainkan ia yang menunjukkan perhatian pada anaknya.

Kelas Reportase sore itu terasa sangat menyenangkan, sang dosen tak segalak biasanya dan terlihat lebih banyak tersenyum. Sepertinya ia bahagia sekali. Walaupun ada sangat banyak kesalahan pengerjaan tugas kelas minggu sebelumnya, ia tidak marah-marah, malah cenderung memberi masukan yang sangat baik agar tugas tersebut diperbaiki lagi minggu depan.

Ketika kelas berakhir, Ahnaf mengucapkan salam perpisahan pada seluruh kelas sambil melambaikan tangan, membuat para mahasiswi menjerit gemas--tidak termasuk saya, hahaha. Dari kelas sore itu saya mendapatkan kesan lain dari sang dosen. Baru kali itu saya melihatnya demikian sering tersenyum, dan rasanya kelas jadi jauh lebih santai. Terima kasih Ahnaf, kapan-kapan ikut kuliah lagi ya :)

Thursday, May 24, 2012

Lelaki yang Membawa Bunga di Balik Punggungnya

Ia muncul dari balik gerbang sambil menyembunyikan tangan kanan dibalik punggungnya. Sedangkan tangan kirinya membawa sebuah buku, entah apa. Mungkin buku kumpulan cerpen, buku yang disukai kekasihnya itu. Mungkin juga buku yang berisi kumpulan surat cinta terkenal, yang bisa mewakili perasaannya pada perempuan yang berdiri di hadapannya, menunggu. Belum sempat perempuan itu mengatasi keterkejutannya karena laki-laki yang muncul dari balik pagar itu mengenakan kemeja terbaiknya, ia kembali terkejut ketika kekasihnya mengulurkan seikat bunga krisan putih dari tangan kanannya. Hatinya bergetar, mungkin itu adalah buket bunga pertama yang ia terima dari seorang laki-laki, hingga saat itu. Ia menganggap itu adalah scene yang kemungkinan munculnya paling kecil dalam keseluruhan hidupnya. Tapi ia mengalaminya hari itu.

Mungkin itu adalah adegan paling klasik yang pernah dimunculkan dalam kisah-kisah cinta, namun bagi gadis maupun laki-laki itu, segalanya terasa baru. Perempuan itu tak menyangka adegan tersebut akan menjadi bagian dari keseluruhan kisah hidupnya. Laki-laki itu pun baru pertama kalinya membeli bunga, ditemani oleh seorang sahabat yang menyaksikan semua itu dari beranda. Ah, semoga semua orang berbahagia.


*Khusus ditulis untuk Dea Anugrah, terima kasih ya :)

Wednesday, May 23, 2012

Sebab Kecemasan itu Tak Pernah Selesai

"sebab kecemasan itu tak pernah selesai"
Kalimat pertama pada puisi berjudul Misa Arwah karya Dea Anugrah tersebut sungguh tak bisa lepas dari pikiran saya. Sejak pertama kali membacanya, ia terus menghantui saya. Sebab kecemasan itu tak pernah selesai.

Sebagai orang yang sangat sering mencemaskan banyak hal, saya merasa kalimat tersebut memiliki kebenaran yang mutlak, setidaknya bagi saya. Manusia yang hidup adalah manusia yang masih mencemaskan sesuatu, menggelisahkan sesuatu.

Hari ini saya mencemaskan usia saya sendiri serta bagaimana operasi gigi geraham saya nanti malam akan berjalan. Saya tidak takut, hanya cemas saja. Apakah tahun depan ketika usia saya kembali berganti, saya masih menyandang status mahasiswa? Apakah "usia duapuluh dua, skripsi tak kelar juga" akan berganti menjadi "usia dua puluh tiga, akhirnya jadi sarjana"? Atau sekadar mencemaskna apakah nanti malam saya akan bisa tidur nyenyak dengan keadaan nyeri gigi yang habis dioperasi? Apakah saya bisa menepati semua deadline bulan ini? Dan masih banyak lagi...
"sebab kecemasan itu tak pernah selesai"
Dengan mengingat kalimat tersebut, setidaknya saya tidak perlu cemas jika saya selalu cemas.

Tuesday, May 22, 2012

Hidup yang Layak Dimenangkan

Hari ini salah satu sahabat saya sejak SMA menjalani wisuda S1-nya. Namanya Vidya, ia kuliah di Fakultas Hukum UGM. Karena itulah siang ini saya kembali bertemu dan berbincang dengan sahabat-sahabat saya sejak SMA, dan diantara kami semua, Vidya-lah yang pertama lulus kuliah. Suasana ini kembali membawa saya pada sebuah percakapan bersama Awe tentang fase setelah kuliah (lihat selengkapnya di sini). Dalam tulisan tersebut awe berkata:

"Jika saya terus disini bisa jadi Jogja hanya akan menjadi sebuah keseharian yang membosankan, saatnya berlibur ke tempat lain. Ah mengapa saya jadi mau menjadikan setiap tempat yang saya kunjungi sebagai tempat liburan, bukankah itu yang kamu bilang mengasyikkan Sail?"

Dalam tulisan tersebut, Awe menolak sekaligus tak dapat menghindari sebuah konsep yang saya tawarkan: liburan. Dalam perjalanan hidup seseorang, tentu saja berbagai fase akan dilewati, termasuk kegalauan untuk menentukan apa yang ingin dilakukan dalam hidup, dengan berbagai pertimbangannya. Pernah saya membicarakan hal ini dengan seorang teman, dan ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pada akhirnya impian dan cita-cita bisa jadi hanya sebagai klangenan saja. Sebagai bahan cerita untuk anak dan cucu, bahwa "Dulu bapak/ibu pernah begini lho nak...".

Dengan seorang teman yang lain, ia berkata bahwa sebisa mungkin ia tidak ingin ke Jakarta. Kemudian berceritalah ia tentang percakapannya dengan sang ibu di telepon. Ibunya berkata seperti ini,

"Egois sekali kamu kalau tidak ingin melakukan sesuatu hanya karena takut tidak betah, kamu pikir ayahmu selama ini betah bekerja seperti itu untuk menyekolahkanmu?"

Plak! Teman saya ini mengaku sedih mendengar kata-kata ibunya itu. Saya hanya mengiyakan apa yang dikatakan oleh ibunya.

Kemudian saya teringat sebuah percakapan lain dengan ibu saya, tentang cita-citanya di masa lalu. Saya tahu ibu saya pernah ingin menjadi pramugari, namun ia berkata ia tidak memenuhi syarat-syarat utama, secara fisik. Saya tidak pernah tahu apakah ia menyesali kenyataan yang tak pernah sampai pada mimpi-mimpinya atau tidak. Dan setiap kali ia berkata bahwa saya bebas menjalani apa yang saya mau, hati saya ngilu.

Mungkin pada akhirnya saya akan jadi seorang pemimpi yang keras kepala, yang bersikeras untuk terus menjalani hidup sebagai liburan seutuhnya. Untuk lebih mementingkan apa yang saya rasa perlu untuk lakukan dalam hidup. Namun tampaknya Awe salah mengartikan konsep liburan tersebut, liburan tidak terikat pada ruang, namun pada visi. Saya lihat saat ini ia tidak menetap di Jogja, ia sedang berada di Sumatera. Namun saya tahu, hingga saat ini ia tak pernah sedetikpun meninggalkan liburannya, karena apa yang ia lakukan sepenuhnya adalah yang ia inginkan.

Mungkin kelak saya akan melakukan sebuah pekerjaan yang hanya bertujuan untuk mencari uang, namun tidak kemudian saya meninggalkan liburan saya, mimpi-mimpi saya, kegelisahan saya. Saya tidak ingin menjadi robot yang tak punya jiwa. Saya mengerti saya harus mencari uang untuk menghidupi diri saya, namun saya tidak ingin menjadikan uang sebagai sebuah ambisi, tidak. Sekali lagi, tidak.

Mungkin saya sedang bertaruh dan mengambil risiko besar, namun sayup-sayup saya mendengar Friedrich von Schiller berbisik di telinga saya:  "Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan”

Monday, May 21, 2012

Ecekepret #1

Saya tidak akan menulis tentang kuliah komunikasi hari ini. Kenapa? Karena saya malas. Beberapa waktu belakangan saya sedang suntuk-suntuknya menjalani hari-hari penuh teori dan kenyataan-kenyataan tidak menyenangkan mengenai berbagai kebijakan jurusan saya yang ajaib. Tiba-tiba saja saya sedang tidak ingin menulis. Dan itu tentu saja bukan masalah besar. Toh ini blog saya, saya tidak memungut bayaran dari orang-orang yang membacanya. Seperti prinsip Pamityang2an Qwerty Radio, kalau tidak sepakat, silakan close tab. Anggap saja hari ini petarungan saya melawan diri saya sendiri sedang dimenangkan oleh diri saya yang lain--bingung ra? Yah, pokoknya, anggap saja hari ini saya yang mencoba konsisten sedang kalah oleh saya yang moody. Tapi paling tidak saya tetap menulis walaupun kemarin saya sempat kena denda satu kali, itu bukan karena saya tidak menulis, melainkan karena saya tidak posting. Bagi saya, saya tetap melakukuan 31 hari menulis, hanya saja saya hanya melakukuan 30 hari memposting. Dan itu tidak penting bagi saya, menulis dan posting jelas dua hal yang berbeda, dan yang saya lakukan adalah 31 hari menulis, sebuah pertarungan dengan diri saya sendiri.

Omong-omong lagi, tadi siang di kelas metode kualitatif saya ngobrol-ngobrol sedikit dengan teman seangkatan saya yang masih selo ngambil teori, kayak saya. Kami membicarakan betapa anehnya jurusan kami, karena dari sekian waktu yang harus ditempuh mahasiswanya untuk menyelesaikan teori, yang ada justru banyak sekali mata kuliah praktik, baik konsentrasi komunikasi strategis maupun media dan jurnalisme. Lalu kenapa syarat kelulusannya adalah skripsi yang mana merupakan sebuah penelitian akademis? Bukan sebuah tugas akhir yang lebih bersifat praktis seperti apa yang telah kita pelajari di kelas-kelas?

Kami berpikir, jika memang posisi jurusan adalah membentuk akademisi, maka sejak awal, di mata kuliah manapun seharusnya porsi tersebut lebih besar dibandingkan praktik. Sehingga kami terbiasa dengan masalah-masalah, terbiasa berjarak dan bersikap kritis dalam melihat sesuatu. Kalau tidak demikian, terang saja ketika teori-teori habis diambil, banyak mahasiswa jurusan yang kebingungan mencari masalah, karena tidak terbiasa kritis dalam melihat sesuatu.

Ah, sudahlah, saya kan sedang tidak ingin menulis hari ini, jadi dicukupkan saja tulisan ecekepret ini. Sekian.


Referensi:
Otak kiri, otak kanan, otak tengah

Sunday, May 20, 2012

Cerpen Sebagai Representasi Peradaban Masyarakat

Penyimpangan sosial merupakan gejala yang telah lama ada. Sejak terciptanya norma dan nilai sosial pada masyarakat, saat itu pula semua hal yang tidak sesuai dengan norma dan nilai tersebut bisa dikatakan sebagai penyimpangan sosial. Norma dan nilai pada awalnya lahir secara tidak disengaja , karena kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan harus berinteraksi dengan orang lain, maka kemudian menuntut adanya suatu pedoman, pedoman itu lama kelamaan pun dibuat secara sadar, berupa norma-norma tersebut.

Norma sendiri dapat diartikan sebagi sebuah tata aturan dalam kehidupan sehari-hari dalam batasan wilayah tertentu. Aturan tersebut ada demi menjaga keteraturan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Norma memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan sanksi yang muncul jika dilanggar. Tingkatan tersebut ialah cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), serta adat istiadat (custom). Sedangkan macam-macam norma antara lain norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma kebiasaan, serta kode etik. 

Norma agama dan norma kesusilaan berlaku secara luas di setiap kelompok masyarakat bagaimanapun tingkat peradabannya. Sedangkan norma kesopanan dan norma kebiasaan biasanya hanya dipelihara atau dijaga oleh sekelompok kecil individu saja, sedangkan kelompok masyarakat lainnya akan mempunyai norma kesopanan dan kebiasaan yang tersendiri pula.

Pada kenyataannya, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Penyimpangan-penyimpangan itu terekam dalam berbagai media, baik yang bersifat faktual maupun fiksional. Surat kabar, televisi, radio, buku,  maupun media-media fiksi seperti lagu, film, drama, dan karya sastra. 

Cerita pendek merupakan salah satu media yang masih sering dianggap kurang serius. Berakar pada sastra, cerita pendek menjadi sesuatu yang dikesampingkan sebagai referensi terhadap berita maupun fakta-fakta sosial yang terjadi di sekitar kita. Dengan argumen yang menyatakan bahwa cerita pendek lebih banyak mengadung fiksi dan imajinasi penulis dibandingkan fakta-fakta yang akurat, cerita pendek tumbuh menjadi sesuatu yang bersifat sekadar hiburan belaka serta hal yang sepele dan remeh.

Padahal, sastrawan asal Jerman, Günter Grass dalam suatu wawancara berpendapat bahwa karya sastra bisa mengubah dunia. Menurutnya, sastra bisa menjadi jiwa dari sebuah peradaban. (Forum, halaman D Koran Kompas, Senin 25 Oktober 2010). Hal inilah yang kemudian menarik untuk dibahas secara lanjut, karena di sisi lain, ada sangat banyak cerita pendek bertema sosial yang secara tak langsung dapat menjadi media introspeksi  bagi masyarakat luas.

Awal perkembangan sastra di Indonesia dimulai pada tahun 1920-an saat terbentuk Angkatan Balai Pustaka yang bertujuan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Melayu-Tinggi, Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda, serta dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.

Prosa Indonesia baru pun mulai muncul tahun 1920-an, dengan ditandai munculnya novel monumental berjudul Siti Nurbaya, buah karya Marah Rusli. Lalu zaman Pujangga Baru muncul pula Sutan Takdir Alisjahbana dengan roman berjdul Layar Terkembang. Lalu, menjelang kemerdekaan muncul Armiyn Pane yang menulis novel Belenggu yang dianggap novel modern pada zamannya.

Tahun 1955 muncul cerpen yang sangat terkenal, berjudul Robohnya Surau Kami, buah karya Ali Akbar Navis (lebih dikenal dengan A.A. Navis). Cerpen ini sarat dengan kritik sosial menyangkut kesalahan orang dalam menganut agama. Navis nampaknya ingin mendobrak paham keagamaan masyarakat Indonesia yang mengira beribadah hanyalah sekedar melaksanakan salat, puasa, atau mengaji Quran. Sedangkan kegiatan lain di luar ibdah formal, sepertimencari nafkah, peduli pada sesama dan alam dibaikan. Lewat tokoh Haji Shaleh yang tiba-tiba masuk neraka karena ulahnya di dunia yang mengabaikan kepentingan keluarga, Navis memberikan gambaran akan kesalahan dalam beragama masyarakat pada saat itu.

Pada tahun 1996, Penerbit Kompas menerbitkan Buku Cerpen Pilihan Kompas 1996, salah satu cerpen yang ada di dalamnya adalah cerpen yang berjudul “Eksperimen Moral” karya T.B Raharjo. Dalam cerpen tersebut ia mengambil kasus pemerkosaan dan pembunuhan remaja di bawah umur sebagai tema. Tokoh utama dalam cerpen ini adalah seorang guru yang dianggap teladan serta selalu lurus-lurus saja dalam menjalankan tugasnya. Namun pada suatu malam, ketika salah seorang murid perempuan kesayangannya datang ke rumah untuk belajar dan menginap (murid ini sudah sering menginap di rumah Pak Guru tersebut), ia malah memerkosa dan membunuh murid tersebut. Dalam gaya tuturnya, Raharjo sempat menuliskan
    “”…busana gadis itu telah kulepaskan, lalu kubaringkan di kamar yang berada di sebelah kamar istriku. Aku tidur di sebelahnya.””

Tahun 1996 merupakan masa Orde Baru dimana kebebasan berpendapat melalui media apapun termasuk karya sastra masih sangat dibatasi. Potongan cerpen tadi dilihat dari sudut pandang etika terlihat tidak vulgar jika dibandingkan dengan “…gadis itu kutelanjangi, lalu kubawa masuk ke kamar yang berada di sebelah kamar istriku. Kemudian kubaringkan tepat di sebelahku.”. Dalam kasus ini Raharjo tampaknya masih terpengaruh dengan atmosfer Orde Baru yang membatasi kebebasan berekspresi.

Jika kita bandingkan dengan sebuah cerpen berjudul “Hantu Nancy” karya Ugoran Prasad yang dimuat di Kompas 29 November 2009, saat reformasi sudah menjadi hal yang lumrah dan kebebasan berpendapat diteriakkan dimana-mana. Cerpen ini bercerita tentang pembunuhan seorang pemilik salon bernama Nancy yang dilakukan oleh sekelompok orang. Kasus-kasus pembunuhan saat itu memang merupakan hal yang wajar terjadi, dalam berita-berita Koran maupun televisi, berita kriminal tak pernah absen memenuhinya.    

Gaya tutur Ugoran terasa sangat bebas dan lantang. Mari kita lihat kutipan cerpen tersebut:
    “…Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang dan ngeri.”

Bagaimana perbedaannya? Sama-sama bercerita tentang pembunuhan, namun cerpen Ugoran terasa lebih vulgar dibandingkan dengan cerpen milik Raharjo. Bagaimana Ugoran memilih kata yang lugas tanpa ameliorasi sama sekali seperti “mampus”, serta gambaran akan keadaan tokoh Nancy saat mati.

Dalam hal ini, konsep etika menjadi lebur dan tak lagi membatasi. Batas-batas apa yang etis dan tidak menjadi kabur, toh masyarakat dapat menerima tulisan “kejam” dan “vulgar” karya Ugoran tersebut, toh tidak ada protes yang berarti terhadap karya tersebut, apalagi sampai pembredelan.

Artinya, perlahan-lahan konsep etika, nilai, norma, dan moralitas pada masyarakat Indonesia memang bergeser. Sesuatu yang tadinya kaku dan sensitif untuk dibicarakan kini menjadi hal yang biasa saja. Bahkan saat ini banyak karya sastra yang membahas tema-tema berbau seks dan SARA secara blak-blakan. Konsep karya sastra yang kaku dan banyak aturan pada awalnya, kini berubah menjadi jauh lebih futuristik dan bebas.

Melihat perkembangan karya sastra di Indonesia terutama cerpen, saat ini media tersebut menjadi salah satu media yang banyak digunakan untuk mengungkapkan pemikiran, pendapat, bahkan kritik tehadap fenomena-fenomena sosial. Kebebasan tersebut bukan hanya terbatas pada kebebasan berkarya namun sudah merambah sampai kepada kebebasan dalam memilih cara untuk menyampaikan pemikiran, pendapat serta kritik itu sendiri.

Apa yang disebut norma, etika, dan nilai saat ini telah kabur konsep dan batasnya. Masyarakat kita relatof lebih dapat menerima seala macam perbedaan pendapat maupun perbedaan mengenai cara berpendapat itu sendiri. Meskipun bukan berarti masyarakat kita telah sepenuhnya bertransformasi menjadi masyarakat yang tak acuh terhadap norma dan nilai, namun kecenderungannya adalah, tingkat toleransi terhadap sesuatu menjadi lebih besar.

Karya-karya sastra yang merepresentasikan berbagai fenomena sosial memang telah ada sejak dulu, namun bisa dikatakan, pada masa-masa awal Orde Baru, para penulis karya sastra itu masih “malu-malu” dalam mengkritik, masih ragu-ragu dalam mengungkapkan sesuatu secara gamblang. Namun melihat perkembangannya sejak tahun 2000an, dimana Reformasi merebak di udara, karya-karya sastra pun mengalami reformasi, orang-orang mulai meruntuhkan sekat-sekat batas dan aturan dalam menciptakan karya sastra. Siapapun bisa menuliskan sesuatu sesuai dengan yang ada di pikirannya.

Walau demikian, bukan berarti sanksi moral lantas menghilang sama sekali terhadap seuatu yang dianggap imoral. Sanksi dan tekanan sosial tetaplah ada, namun lebih bersifat fleksibel dan individual, dalam artian, belum tentu sesuatu yang dinilai tak layak ataupun tak etis oleh seseorang, maka akan dinilai demikian juga oleh orang lain. Ukuran etis dan tidak etis kini sangat tergantung pada persepsi masing-masing individu. Apalagi penilaian terhadap karya sastra yang cenderung dianggap bebas.

Saturday, May 19, 2012

YouTube Sebagai Teknologi Baru dalam Pemenuhan Kebutuhan Aktualisasi Diri Manusia

Upaya aktualisasi diri yang dilakukan oleh manusia dalam rangka memperoleh pengakuan dari lingkungan sekitarnya merupakan hal yang sering kita lihat. Manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk diakui dan dicintai, sehingga sejak awal peradabannya, usaha untuk memenuhi hal itu telah ditempuh manusia dengan berbagai cara. Pada setiap periodesasi zaman, tentu saja masing-masing peradaban di dunia memiliki cara yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tergantung pada berbagai berbagai macam faktor yang mempengaruhi pada saat itu, misalnya kondisi geografis maupun kondisi sosio-antropologis. Hal itulah yang kemudian membentuk budaya tertentu pada tiap-tiap peradaban.

Kebudayaan yang berkembang pada tiap-tiap peradaban tidak dapat dipisahkan dengan teknologi yang ada pada peradaban tersebut. Teknologi dipercaya dapat menjadi suatu ukuran keberadaban suatu masyarakat tertentu. Hal ini dapat kita lihat dari cara kita melakukan periodesasi sejarah, bagaimana kita mengelompokkan zaman-zaman dengan melihat hasil teknologi yang telah berkembang pada saat itu, misalnya berbagai teknologi zaman prasejarah mulai dari pisau persegi hingga kapak batu. Tiap pengelompokan didasarkan pada tingkat kemajuan teknologinya. 

Saat ini, di mana teknologi tidak lagi sekedar menjadi alat bantu untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan mendasar manusia seperti kebutuhan pangan sebagaimana pada masyarakat prasejarah, ia menjadi kompleks dan menyentuh berbagai lapisan kebutuhan masyarakat mulai dari primer hingga tersier.

Kembali pada salah satu kebutuhan manusia yaitu aktualisasi diri dan kebutuhan untuk diakui dan dicintai, saat ini muncul fenomena baru yang diperkirakan sebagai bentuk pemenuhan akan kebutuhan tersebut: menggunakan video dan internet sebagai sarana aktualisasi diri, seperti yang dilakukan oleh Sinta & Jojo serta Briptu Norman menggunakan situs video terkemuka, YouTube.

Fenomena ini menjadi menarik untuk ditelusuri karena fenomena ini hanya mungkin terjadi pada masa sekarang, di mana terdapat situs video bernama YouTube tersebut. Fenomena ini tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya internet dan situs YouTube.

Pada tulisan ini penulis akan lebih melihat fenomena ini sebagai relasi antara manusia, teknologi dan kebudayaan. Penulis hendak memetakan permasalahan yang terjadi, mengurai fenomena yang ada serta menganalisanya sebagai sesuatu yang mungkin menggantikan sesuatu yang telah ada sebelumnya tanpa bermaksud menggurui.
 
Manusia dan Aktualisasi Diri

Kebutuhan akan aktualisasi diri telah lama ada dalam diri manusia. Pengakuan oleh lingkungan di sekitarnya akan membuat ia terus hidup. Dalam kehidupan sosial, orang berlomba-lomba memperoleh status sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya demi satu tujuan: pengakuan akan eksistensi dirinya. Ada banyak cara untuk meraih status sosial dan memenuhi kebutuhan akan pengakuan tersebut, salah satu cara yang paling umum dilakukan adalah dengan bekerja. Pekerjaan yang kita lakukan menentukan tingkat kemampuan ekonomi, yang kemudian otomatis menentukan status sosial dalam masyarakat. Dengan demikian maka pengakuan lingkungan akan diperoleh. Selain dengan peningkatan kemampuan ekonomi, kebutuhan ini dipenuhi dengan cara peningkatan popularitas diri, misalnya dengan memperluas pergaulan dan memperbanyak kenalan, dengan cara demikian seorang individu akan dapat meyakinkan dirinya bahwa ia ada dan diakui keberadaannya. Atau bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi, hal itu merupakan salah satu cara untuk meyakinkan dirinya bahwa keberadaan dirinya penting.

Tingkat kebutuhan akan aktualisasi diri dan pengakuan pada tiap individu jelas berbeda-beda. Ada yang memiliki kebutuhan besar akan hal tersebut, ada yang sangat kecil. Hal ini terbukti dengan adanya jenis individu yang merasa nyaman memiliki sedikit teman saja dalam lingkarannya, namun ada juga yang selalu merasa perlu memperluas lingkaran pergaulannya. Namun pada dasarnya, tiap individu memiliki kebutuhan akan hal tersebut dan secara naluriah akan bergerak un tuk melakukan aktualisasi diri dengan berbagai cara, dengan kadarnya masing-masing.
   
Manusia dan Teknologi

 | Teknologi sebagai penunjang kebutuhan

Teknologi merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Pada tiap-tiap periodesasi masa, mulai dari pra sejarah hingga saat ini, teknologi menjadi sesuatu yang penting demi menunjang keberlangsungan hidup manusia. Jika pada masa-masa awal peradaban teknologi hanya berhenti pada piranti untuk membantu memenuhi kebutuhan pokok (dalam hal ini makan) seperti diciptakannya alat-alat berburu, maka semakin lama teknologi yang ada pun semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia di luar kebutuhan primer. Misalnya saja kebutuhan yang bersifat spiritual seperti ritual-ritual terkait dengan kepercayaan animisme maupun dinamisme pada saat itu, akan memunculkan kebutuhan-kebutuhan akan alat penunjangnya, misalnya Menhir untuk tempat pemujaan roh nenek moyang, dan sebagainya.

Dengan melihat pola yang seperti itu, maka secara kasar dapat dipahami bahwa teknologi berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia. Jika melihat kondisi saat ini, jelas sudah sangat kompleks jika dibandingkan dengan masa-masa tersebut. Peradaban manusia semakin maju, kebutuhannya pun telah demikian berkembang menjadi sangat beragam, begitu juga dengan teknologi yang diciptakan. Batas-batas antara kebutuhan primer, sekunder, dan tersier menjadi semakin tidak jelas, semuanya dibutuhkan dan diperjuangkan untuk dipenuhi.
    
 | YouTube sebagai pengganti audisi

Sumber: http://jurukunci4.blogspot.com/2012/05/ketika-semuanya-latah-courtesy-of.html


Teknologi yang dibahas di sini adalah internet sebagai penunjang kebutuhan akan informasi, serta lebih spesifiknya adalah situs video YouTube sebagai teknologi penunjang aktualisasi diri saat ini.

Dalam Pelle Snickars and Patrick Vonderau (2009:9), situs video YouTube bermula pada tanggal 9 Oktober 2006, dibuat oleh dua orang pemuda bernama Chad Hurley and Steve Chen. Dengan tujuan awal untuk berbagai video antaruser, YouTube kemudian berkembang sedemikian rupa menjadi situs yang “keramat” bagi para penggemar ataupun sekedar pencari video. Bahkan, YouTube dapat dimanfaatkan sebagai ajang bisnis dari para penggunanya.

Sistem yang ada di YouTube, yaitu sistem daftar dan “lihat saja” semakin memberikan pilihan kepada audiens, apakah ingin menggunakan YouTube secara intens ataukah hanya untuk mengisi waktu senggang saat berinternet. Dengan sistem daftar, maka tiap user memiliki satu ”kamar” pribadi di mana ia bisa mengupload video tentang apapun di sana (tentunya ada batasan-batasan tertentu sesuai dengan kesepakatan awal ketika membuat account), user lain pun dapat “berlangganan” video-video yang diupload oleh user lain dengan mengaktifkan fitur “subscribes”. Tanpa itu pun, user lain yang tidak mendaftarkan diri masih dapat melihat video-video dari user terdaftar, hanya saja ia harus mencari secara manual menggunakan kata kunci tertentu.

Kemudahan yang ditawarkan YouTube sebagai sebuah teknologi informasi jelas menyita banyak perhatian seluruh audiens di dunia. Berbeda dengan Flickr yang mungkin menggunakan basis sistem yang sama, namun YouTube mampu mengalahkan Flickr dengan unsur “motion” yang ada di dalamnya. Flickr hanya sebatas wadah dari gambar tak bergerak, sedangkan YouTube adalah wadah dari video-gambar yang bergerak. Hal inilah yang kemudian membuat YouTube menjadi demikian populer. Kebanyakan situs lain yang membutuhkan referensi video, sebagian besar memberikan link ke YouTube. Dapat dibayangkan bukan seberapa besar traffic yang ada pada situs ini setiap harinya?

Peran YouTube terhadap berbagai kejadian politis di Indonesai pun lumayan besar, masih ingat dengan video penganiayaan di Cikeusik? Walaupun beberapa waktu setelahnya video itu telah dihapus dari YouTube, namun pesan yang telah disampaikan pada khalayak tidak akan pernah terhapus dari ingatan. Para user YouTube menyadari betul bahwa ada sangat banyak mata yang melihat situs ini setiap harinya, ada sangat banyak pengguna internet yang setiap hari asyik menjelajahi situs ini untuk berbagai tujuan.

Asumsi ini lantas menimbulkan fenomena baru di Indonesia: fenomena artis karbitan YouTube. Masih ingat dengan Sinta dan Jojo? Dua orang mahasiswi yang mengaku hanya iseng belaka saat melakukan lipsync sebuah lagu kemudian merekamnya dalam video lalu mengunggahnya ke YouTube. Namun apa dampaknya kemudian? Dalam sekejap nama keduanya demikian meroket, banyak dibicarakan infotainment, mendapat undangan untuk menghadiri berbagai acara, bahkan sampai mendapat beasiswa dan tawaran rekaman.

Masih segar dalam ingatan juga, bagaimana seorang Adhitya Sofyan memulai karier bermusiknya: lewat YouTube, lewat video-video jamming yang ia rekam di kamarnya lalu ia unggah ke YouTube. Dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil mencuri perhatian audiens di Indonesia, dan sampailah ia pada karier musik yang sesungguhnya: rekaman, tur, konser.

Mungkin yang membedakan antara Sinta-Jojo dan Adhitya Sofyan adalah kemampuan bemusiknya. Sinta-Jojo hanya bermodalkan lipsync dan tidak benar-benar memiliki kemampuan menyanyi, sedangkan Adhitya Sofyan sejak awal memang menciptakan lagu, memainkannya, lalu secara tidak langsung mempromosikannya melalui YouTube. Namun adakah perbedaan hasil akhir dari keduanya ketika pada akhirnya keduanya sama-sama menjadi “musisi”? Mereka sama-sama membuat album, sama-sama tur, sama-sama konser.

Pada level yang lebih besar mungkin kita dapat melihat kesuksesan Justin Bieber sebagai salah satu fenomena artis yang memulai kariernya dari YouTube. Ia bukan siapa-siapa sampai seorang Scooter Braun menemukannya lewat video kompetisi menyanyi lokal “Stratford Star” yang dipublikasikan oleh ibunya di YouTube, kini ia telah menjadi salah satu penyanyi pop yang masuk dalam nominasi Grammy Awards.

Fenomena ini bisa jadi menggantikan fungsi audisi pada ajang pencarian bakat, ataupun fungsi pencari bakat dalam memburu bibit-bibit berbakat. Satu hal yang perlu diingat, Sinta-Jojo, Adhitya Sofyan dan Bieber hanyalah tiga dari sekian banyak fenomena artis karbitan YouTube.

Dengan adanya kasus-kasus tersebut, muncul pemahaman baru akan ketenaran: kamu bisa tenar selama ada YouTube. Beralih ke sebuah kasus yang lumayan kontroversial dan masih melibatkan YouTube, yaitu kasus video Briptu Norman. Bagaimana pro dan kontra mengenai masalah ini justru makin meroketkan namanya. Dan, audiens tidak pernah peduli pada pelanggaran apa yang telah dilakukan oleh Norman, satu-satunya yang menjadi perhatian publik ialah betapa seorang aparat kepolisian tetap saja memiliki sisi yang dapat dinikmati sebagai sebuah humor. Buktinya, meskipun pro dan kontra masih terus berlangsung, Norman dengan santainya tetap dapat berkunjung ke berbagai acara yang mengundangnya, mengikuti berbagai talkshow di televisi, bahkan mendapatkan beasiswa dari sebuah perguruan tinggi.

Namun demikian, kemunculan-kemunculan pengekor baik itu pengekor Sinta-Jojo maupun Adhitya Sofyan, Bieber dan Norman tetaplah ada, dan justru ini yang menarik. Mungkin Sinta-Jojo dapat berkata bahwa sama sekali tidak ada unsur kesengajaan untuk mencari popularitas dari apa yang mereka lakukan, namun apa yang mereka lakukan tentu saja dilihat secara berbeda oleh audiens. Hal ini bisa dipahami sebagai salah satu cara cepat menjadi terkenal, terbukti setelah kasus tersebut mencuat, muncul ratusan pengikut Sinta-Jojo, yang sayangnya tidak seberuntung mereka.

 | Pergeseran metode aktualisasi diri

Jadi apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat saat ini? Dengan melihat berbagai contoh kasus, dapat kita pahami bahwa kebudayaan masyarakat terkait dengan aktualisasi diri telah bergesar. Yang tadinya begitu ketat dan sulit bahkan untuk sekedar tampil di khalayak, saat ini dengan teknologi informasi yang telah berkembang sangat pesat, hal itu jadi semudah menekan tombol enter pada keyboard komputer.

Satu hal yang menjadi benang merah antara kasus Sinta-Jojo, Adhitya Sofyan maupun Bieber, yaitu kebutuhan akan pengakuan yang terakomodasi oleh teknologi. Budaya malu untuk menonjolkan diri perlahan telah digeser dengan budaya berlomba-lomba memamerkan diri pada berbagai media yang ada, dan cara yang mudah adalah menggunakan YouTube. Tidak ada orang yang benar-benar berkuasa untuk menilaimu dan menyeleksimu, semuanya ada di tangan masyarakat luas, apakah nantinya video itu akan populer atau tidak.

Budaya seperti ini hanya dimungkinkan muncul ketika terlebih dahulu ada teknologi bernama internet dan tentu saja YouTube. Perubahan ini pun membawa berbagai dampak: berkurangnya minat masyarakat pada ajang audisi bibit berbakat dan meningkatnya YouTube users. Semuanya jadi demikian mudah dan murah, YouTube telah menggantikan proses panjang sebuah audisi menjadi sangat sederhana, unggah video promosi diri dan jika beruntung akan ada seseorang yang bersedia mengorbitkanmu. Sesederhana itu.

Kemunculan YouTube dapat menandai bergesernya metode aktualisasi diri pada manusia  sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan akan pengakuan lingkungan sekitarnya. Kemudahan yang ditawarkan teknologi YouTube sangat memungkinkan seseorang untuk melakukan eksekusi eksibisi bahkan seorang diri. Berbeda dengan metode sebelum munculnya YouTube, tentu setiap orang harus repot-repot mengajukan proposal pada perusahaan rekaman, atau berharap suatu saat para pencari bakat menemukannya. Dengan YouTube, pengorbanan yang dilakukan tidak seberapa, namun jika beruntung, justru keuntungan yang sangat besar menanti kita.

Telah banyak kasus yang dapat dijadikan contoh betapa budaya lama tersebut telah tergantikan oleh budaya baru: artis karbitan YouTube. Di sini kita tidak akan bicara apakah hal tersebut merupakan sesuatu yang baik ataukah buruk, di sini saya hanya ingin mencoba melihat fenomena tersebut sebagai sesuatu yang perlahan menggantikan budaya lama dalam pemenuhan kebutuhan manusia akan aktualisasi diri.



Referensi:

Pelle Snickars and Patrick Vonderau.2009.The YouTube Readers.Lithuania:Logotipas.

http://www.youtube.com

Friday, May 18, 2012

Vulgaritas: Sebuah Paradoks Dalam Gaya Pemberitaan

Pers merupakan satu dari empat tiang penyangga demokrasi suatu negara. Kebebasan pers di suatu negara sangat berpengaruh terhadap kualitas demokrasinya. Seperti yang telah kita ketahui, pers di Indonesia memiliki banyak kisah suram pada masa Orde Baru, terkait dengan kebebasannya untuk mengungkapkan fakta. Rezim Soeharto tidak hanya melakukan kebiri atas kebebasan berpendapat, namun ia juga membentuk suatu konstruksi dan konsep yang otoriter mengenai perlindungan terhadap keamanan negara. Informasi tak lagi dibatasi dengan garis pembeda antara fakta dan fiksi, namun menggunakan garis pembeda antara berbahaya bagi rezim atau tidak, baik fakta maupun fiksi. Sebuah fiksi sekalipun, jika dinilai membahayakan keamanan negara, maka bisa saja penulisnya masuk penjara. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer yang karya-karyanya banyak dilarang dan dibakar.

Luka dan ketakutan yang digoreskan rezim Orde Baru kepada pers Indonesia membuatnya lari menuju titik sebaliknya ketika rezim itu runtuh dan digantikan oleh Reformasi. Pers Indonesia lari dari titik takut-takut menuju titik liberal yang mengatasnamakan reformasi dan demokrasi. Semua orang merasa berhak berpendapat dan didengar pendapatnya, seperti euphoria menikmati kebebasan yang puluhan tahun sudah direnggut.

Fenomena itu semakin lama semakin menjadi-jadi, apalagi ditambah dengan munculnya berbagai media baru yang masih kurang pegalaman. Industri media seolah bukan perkara empat penyangga demokrasi suatu Negara lagi namun sudah mengarah pada industri murni, industri yang mengedepankan profit. Fenomena lain yang tak kalah mencengangkan adalah betapa pers kita berkembang ke arah gaya penyajian vulgar, dalam hal ini berita kriminal. 

Jika menggunakan asumsi mengenai hubungan antara kesejahteraan ekonomi dan tindakan kriminal, maka sebagai negara berkembang yang masih belum mampu menyelesaikan perkara kebutuhan pokok sehari-hari, masyarakat Indonesia berpotensi tinggi untuk melakukan tindakan kriminal. Hal ini terbukti dengan adanya sekian banyak kasus kriminal yang terjadi tiap tahunnya di Indonesia.

Mengutip sebuah pendapat lama mengenai fakta, bahwasanya sesuatu itu menjadi ada atau terjadi ketika itu diberitakan di media. Sebuah contoh, seandainya saja tidak ada yang memberitakan Perang Vietnam yang dimulai sejak tahun 1955 dalam Isserman (2003:21), mungkin perang tersebut tidak akan pernah ada dalam catatan sejarah dunia. Ya, sedemikian hebatnya kekuatan berita, ia mendokumentasikan fakta dan mencatat sejarah, ia membuat seluruh dunia mengakui bahwa hal tersebut benar-benar ada dan terjadi.

Hal tersebut berlaku sama pada kasus-kasus kriminal yang diberitakan di Indonesia. Masyarakat tidak akan mengetahui tentang kekejaman para pelaku mutilasi yang mendadak menjadi tren dalam kasus-kasus kriminal. Banyak muncul pertanyaan mengenai apa penyebab meningkatnya kasus kriminal yang mirip satu sama lain tersebut? Mengapa seolah-olah tercipta tren dalam melakukan tindakan kriminal? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terlebih dahulu kita harus melihat bagaimana kasus-kasus kriminal tersebut diberitakan.

Tentu saja kita masih ingat dengan sebuah program berita kriminal milik stasiun televisi Indosiar berjudul PATROLI, yang muncul pasca Orde Baru, sekitar tahun 2000. Program yang seolah ingin menampilkan kesuksesan kinerja aparat kepolisian tersebut secara rutin menyajikan berita-berita mengenai kasus kriminal dari berbagai daerah di Indonesia yang telah mampu dipecahkan oleh aparat. Lalu apa yang salah dari hal tersebut? Dari segi informasi, tentu saja informasi mengenai kasus kriminal tersebut tetap penting. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah penting untuk menampilkan secara vulgar seluruh konten yang berkaitan dengan sebuah kasus kriminal? Misalnya saja, apakah perlu media memberitakan sebuah kasus dengan menampilkan fisik korban pembunuhan yang sudah sangat tidak layak tampil? Sekalipun visual tersebut telah disensor menggunakan mozaik. Namun seberapa pentingkah tampilan tersebut ikut muncul dalam pemberitaan? Informasi apa yang bisa didapatkan pemirsa dari tampilan tersebut? Apakah signifikan dengan informasi yang penting tentang kasus itu sendiri?

Jika kita melihat kembali masa-masa pembungkaman jurnalisme di Indonesia, jangankan visual yang vulgar—yang mampu menebar teror di masyarakat, visual yang biasa saja namun mampu memberikan dampak negatif bagi pemeritah saja pasti langsung tak lolos sensor. Maka menjadi sesuatu yang menarik ketika saat ini, tampilan-tampilan tersebut semakin banyak muncul di media, dengan alasan menyajikan fakta.
Yang perlu ditelaah lebih lanjut ialah, tentang seberapa penting dan signifikan fakta itu diketahui masyarakat. Seno Gumira (1997:48), menjelaskan bahwa saat ia menulis berita mengenai tragedi Dili pada tahun 1991 untuk Jakarta Jakarta, ia menggunakan begitu banya kalimat vulgar untuk menggambarkan kekejaman yang terjadi saat itu. Ia beberapa kali ditangkap karena masalah itu, namun ia bersikukuh bahwa apa yang ia lakukan itu benar, karena ia hanya menuliskan informasi yang ia dapatkan dari saksi mata, itu semua adalah fakta. Saya setuju dengan Seno ketika ia memilih untuk tidak menyensor tiap kalimat dalam beritanya. Alasannya, permasalahan Dili merupakan permasalahan besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sedapat mungkin jangan ada sedikitpun fakta yang dihilangkan.  Jika memang terdapat suatu fakta mengenai penduduk sipil yang dipukuli kepalanya sampai pecah, tulis saja apa adanya. Hal itu menjadi penting untuk diketahui masyarakat agar jelas siapa yang salah dalam insiden tersebut.

Berbeda dengan kasus kriminal kecil seperti pembunuhan yang bermotif dendam pribadi, saya kira tidak perlu sampai sedetail itu dalam penyajiannya menjadi berita. Bukan berarti saya meremehkan satu nyawa manusia, namun saya beranggapan bahwa penyajian secara detail tidak akan banyak menambah fakta yang diserap oleh masyarakat. Toh ketika menyimak sebuah berita mengenai pembunuhan, masyarakat yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan korban maupun tersangka hanya dapat mengambil satu kesimpulan sederhana: ada pembunuhan di daerah X, dengan motif dendam pribadi, tersangkanya A, korbannya B. Kesimpulannya: keamanan semakin berkurang. Dengan menambahkan detail mengenai bagaimana pembunuhan itu dilakukan, tidak akan menambah informasi tersebut, melainkan justru semakin menambah ketakutan dan kengerian, salah-salah malah menjadi inspirasi untuk melakukan pembunuhan yang serupa.

Dalam pemberitaan tentang insiden Dili, di mana konteksnya tidak hanya antara pelaku dan korban, namun lebih terkait dengan kelangsungan hidup masyarakat Dili terkait dengan konflik dengan pemerintah, saya rasa penting untuk menampilkan fakta dan detail sekecil apapun, karena hal tersebut akan memperjelas posisi masing-masing, baik pihak masyarakat Dili maupun pihak pemerintah, sehingga masyarakat luas pun dapat menilai dengan tepat atas apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang pantas untuk dibela.

Mungkin saja fenomena penayangan vulgar dalam pemberitaan kasus kriminal terjadi akibat pemahaman keliru mengenai konsep penyajian yang faktual. Bisa jadi media-media tersebut merasa kurang akurat jika tidak menayangkan pula visual-visual yang mendukung, meskipun sebenarnya hal itu tidak menambahkan informasi penting apapun kepada masyarakat selain kekejaman. Selain itu, kemungkinan yang kedua adalah lagi-lagi mengenai media dan industri, yaitu ketika sesuatu mengandung violence, asumsinya hal tersebut akan banyak diminati oleh masyarakat, sehingga ia jadi bernilai tinggi untuk “dijual”. Kemungkinan kedua inilah yang patut diwaspadai. Sungguh menakutkan bukan jika masyarakat kita tumbuh menjadi masyarakat yang tega menjual kekejaman demi kepentingan industri?



Referensi:
Ajidarma, Seno Gumira.1997.Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus
Bicara.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya

Isserman, Maurice.2003.Vietnam War.New York:Facts On File, Inc




*Tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Pemberitaan