Penyimpangan sosial merupakan gejala yang telah lama ada. Sejak terciptanya norma dan nilai sosial pada masyarakat, saat itu pula semua hal yang tidak sesuai dengan norma dan nilai tersebut bisa dikatakan sebagai penyimpangan sosial. Norma dan nilai pada awalnya lahir secara tidak disengaja , karena kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan harus berinteraksi dengan orang lain, maka kemudian menuntut adanya suatu pedoman, pedoman itu lama kelamaan pun dibuat secara sadar, berupa norma-norma tersebut.
Norma sendiri dapat diartikan sebagi sebuah tata aturan dalam kehidupan sehari-hari dalam batasan wilayah tertentu. Aturan tersebut ada demi menjaga keteraturan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Norma memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan sanksi yang muncul jika dilanggar. Tingkatan tersebut ialah cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), serta adat istiadat (custom). Sedangkan macam-macam norma antara lain norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma kebiasaan, serta kode etik.
Norma agama dan norma kesusilaan berlaku secara luas di setiap kelompok masyarakat bagaimanapun tingkat peradabannya. Sedangkan norma kesopanan dan norma kebiasaan biasanya hanya dipelihara atau dijaga oleh sekelompok kecil individu saja, sedangkan kelompok masyarakat lainnya akan mempunyai norma kesopanan dan kebiasaan yang tersendiri pula.
Pada kenyataannya, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Penyimpangan-penyimpangan itu terekam dalam berbagai media, baik yang bersifat faktual maupun fiksional. Surat kabar, televisi, radio, buku, maupun media-media fiksi seperti lagu, film, drama, dan karya sastra.
Cerita pendek merupakan salah satu media yang masih sering dianggap kurang serius. Berakar pada sastra, cerita pendek menjadi sesuatu yang dikesampingkan sebagai referensi terhadap berita maupun fakta-fakta sosial yang terjadi di sekitar kita. Dengan argumen yang menyatakan bahwa cerita pendek lebih banyak mengadung fiksi dan imajinasi penulis dibandingkan fakta-fakta yang akurat, cerita pendek tumbuh menjadi sesuatu yang bersifat sekadar hiburan belaka serta hal yang sepele dan remeh.
Padahal, sastrawan asal Jerman, Günter Grass dalam suatu wawancara berpendapat bahwa karya sastra bisa mengubah dunia. Menurutnya, sastra bisa menjadi jiwa dari sebuah peradaban. (Forum, halaman D Koran Kompas, Senin 25 Oktober 2010). Hal inilah yang kemudian menarik untuk dibahas secara lanjut, karena di sisi lain, ada sangat banyak cerita pendek bertema sosial yang secara tak langsung dapat menjadi media introspeksi bagi masyarakat luas.
Awal perkembangan sastra di Indonesia dimulai pada tahun 1920-an saat terbentuk Angkatan Balai Pustaka yang bertujuan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Melayu-Tinggi, Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda, serta dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Prosa Indonesia baru pun mulai muncul tahun 1920-an, dengan ditandai munculnya novel monumental berjudul Siti Nurbaya, buah karya Marah Rusli. Lalu zaman Pujangga Baru muncul pula Sutan Takdir Alisjahbana dengan roman berjdul Layar Terkembang. Lalu, menjelang kemerdekaan muncul Armiyn Pane yang menulis novel Belenggu yang dianggap novel modern pada zamannya.
Tahun 1955 muncul cerpen yang sangat terkenal, berjudul Robohnya Surau Kami, buah karya Ali Akbar Navis (lebih dikenal dengan A.A. Navis). Cerpen ini sarat dengan kritik sosial menyangkut kesalahan orang dalam menganut agama. Navis nampaknya ingin mendobrak paham keagamaan masyarakat Indonesia yang mengira beribadah hanyalah sekedar melaksanakan salat, puasa, atau mengaji Quran. Sedangkan kegiatan lain di luar ibdah formal, sepertimencari nafkah, peduli pada sesama dan alam dibaikan. Lewat tokoh Haji Shaleh yang tiba-tiba masuk neraka karena ulahnya di dunia yang mengabaikan kepentingan keluarga, Navis memberikan gambaran akan kesalahan dalam beragama masyarakat pada saat itu.
Pada tahun 1996, Penerbit Kompas menerbitkan Buku Cerpen Pilihan Kompas 1996, salah satu cerpen yang ada di dalamnya adalah cerpen yang berjudul “Eksperimen Moral” karya T.B Raharjo. Dalam cerpen tersebut ia mengambil kasus pemerkosaan dan pembunuhan remaja di bawah umur sebagai tema. Tokoh utama dalam cerpen ini adalah seorang guru yang dianggap teladan serta selalu lurus-lurus saja dalam menjalankan tugasnya. Namun pada suatu malam, ketika salah seorang murid perempuan kesayangannya datang ke rumah untuk belajar dan menginap (murid ini sudah sering menginap di rumah Pak Guru tersebut), ia malah memerkosa dan membunuh murid tersebut. Dalam gaya tuturnya, Raharjo sempat menuliskan
“”…busana gadis itu telah kulepaskan, lalu kubaringkan di kamar yang berada di sebelah kamar istriku. Aku tidur di sebelahnya.””
Tahun 1996 merupakan masa Orde Baru dimana kebebasan berpendapat melalui media apapun termasuk karya sastra masih sangat dibatasi. Potongan cerpen tadi dilihat dari sudut pandang etika terlihat tidak vulgar jika dibandingkan dengan “…gadis itu kutelanjangi, lalu kubawa masuk ke kamar yang berada di sebelah kamar istriku. Kemudian kubaringkan tepat di sebelahku.”. Dalam kasus ini Raharjo tampaknya masih terpengaruh dengan atmosfer Orde Baru yang membatasi kebebasan berekspresi.
Jika kita bandingkan dengan sebuah cerpen berjudul “Hantu Nancy” karya Ugoran Prasad yang dimuat di Kompas 29 November 2009, saat reformasi sudah menjadi hal yang lumrah dan kebebasan berpendapat diteriakkan dimana-mana. Cerpen ini bercerita tentang pembunuhan seorang pemilik salon bernama Nancy yang dilakukan oleh sekelompok orang. Kasus-kasus pembunuhan saat itu memang merupakan hal yang wajar terjadi, dalam berita-berita Koran maupun televisi, berita kriminal tak pernah absen memenuhinya.
Gaya tutur Ugoran terasa sangat bebas dan lantang. Mari kita lihat kutipan cerpen tersebut:
“…Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang dan ngeri.”
Bagaimana perbedaannya? Sama-sama bercerita tentang pembunuhan, namun cerpen Ugoran terasa lebih vulgar dibandingkan dengan cerpen milik Raharjo. Bagaimana Ugoran memilih kata yang lugas tanpa ameliorasi sama sekali seperti “mampus”, serta gambaran akan keadaan tokoh Nancy saat mati.
Dalam hal ini, konsep etika menjadi lebur dan tak lagi membatasi. Batas-batas apa yang etis dan tidak menjadi kabur, toh masyarakat dapat menerima tulisan “kejam” dan “vulgar” karya Ugoran tersebut, toh tidak ada protes yang berarti terhadap karya tersebut, apalagi sampai pembredelan.
Artinya, perlahan-lahan konsep etika, nilai, norma, dan moralitas pada masyarakat Indonesia memang bergeser. Sesuatu yang tadinya kaku dan sensitif untuk dibicarakan kini menjadi hal yang biasa saja. Bahkan saat ini banyak karya sastra yang membahas tema-tema berbau seks dan SARA secara blak-blakan. Konsep karya sastra yang kaku dan banyak aturan pada awalnya, kini berubah menjadi jauh lebih futuristik dan bebas.
Melihat perkembangan karya sastra di Indonesia terutama cerpen, saat ini media tersebut menjadi salah satu media yang banyak digunakan untuk mengungkapkan pemikiran, pendapat, bahkan kritik tehadap fenomena-fenomena sosial. Kebebasan tersebut bukan hanya terbatas pada kebebasan berkarya namun sudah merambah sampai kepada kebebasan dalam memilih cara untuk menyampaikan pemikiran, pendapat serta kritik itu sendiri.
Apa yang disebut norma, etika, dan nilai saat ini telah kabur konsep dan batasnya. Masyarakat kita relatof lebih dapat menerima seala macam perbedaan pendapat maupun perbedaan mengenai cara berpendapat itu sendiri. Meskipun bukan berarti masyarakat kita telah sepenuhnya bertransformasi menjadi masyarakat yang tak acuh terhadap norma dan nilai, namun kecenderungannya adalah, tingkat toleransi terhadap sesuatu menjadi lebih besar.
Karya-karya sastra yang merepresentasikan berbagai fenomena sosial memang telah ada sejak dulu, namun bisa dikatakan, pada masa-masa awal Orde Baru, para penulis karya sastra itu masih “malu-malu” dalam mengkritik, masih ragu-ragu dalam mengungkapkan sesuatu secara gamblang. Namun melihat perkembangannya sejak tahun 2000an, dimana Reformasi merebak di udara, karya-karya sastra pun mengalami reformasi, orang-orang mulai meruntuhkan sekat-sekat batas dan aturan dalam menciptakan karya sastra. Siapapun bisa menuliskan sesuatu sesuai dengan yang ada di pikirannya.
Walau demikian, bukan berarti sanksi moral lantas menghilang sama sekali terhadap seuatu yang dianggap imoral. Sanksi dan tekanan sosial tetaplah ada, namun lebih bersifat fleksibel dan individual, dalam artian, belum tentu sesuatu yang dinilai tak layak ataupun tak etis oleh seseorang, maka akan dinilai demikian juga oleh orang lain. Ukuran etis dan tidak etis kini sangat tergantung pada persepsi masing-masing individu. Apalagi penilaian terhadap karya sastra yang cenderung dianggap bebas.
No comments:
Post a Comment