Friday, May 18, 2012

Vulgaritas: Sebuah Paradoks Dalam Gaya Pemberitaan

Pers merupakan satu dari empat tiang penyangga demokrasi suatu negara. Kebebasan pers di suatu negara sangat berpengaruh terhadap kualitas demokrasinya. Seperti yang telah kita ketahui, pers di Indonesia memiliki banyak kisah suram pada masa Orde Baru, terkait dengan kebebasannya untuk mengungkapkan fakta. Rezim Soeharto tidak hanya melakukan kebiri atas kebebasan berpendapat, namun ia juga membentuk suatu konstruksi dan konsep yang otoriter mengenai perlindungan terhadap keamanan negara. Informasi tak lagi dibatasi dengan garis pembeda antara fakta dan fiksi, namun menggunakan garis pembeda antara berbahaya bagi rezim atau tidak, baik fakta maupun fiksi. Sebuah fiksi sekalipun, jika dinilai membahayakan keamanan negara, maka bisa saja penulisnya masuk penjara. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer yang karya-karyanya banyak dilarang dan dibakar.

Luka dan ketakutan yang digoreskan rezim Orde Baru kepada pers Indonesia membuatnya lari menuju titik sebaliknya ketika rezim itu runtuh dan digantikan oleh Reformasi. Pers Indonesia lari dari titik takut-takut menuju titik liberal yang mengatasnamakan reformasi dan demokrasi. Semua orang merasa berhak berpendapat dan didengar pendapatnya, seperti euphoria menikmati kebebasan yang puluhan tahun sudah direnggut.

Fenomena itu semakin lama semakin menjadi-jadi, apalagi ditambah dengan munculnya berbagai media baru yang masih kurang pegalaman. Industri media seolah bukan perkara empat penyangga demokrasi suatu Negara lagi namun sudah mengarah pada industri murni, industri yang mengedepankan profit. Fenomena lain yang tak kalah mencengangkan adalah betapa pers kita berkembang ke arah gaya penyajian vulgar, dalam hal ini berita kriminal. 

Jika menggunakan asumsi mengenai hubungan antara kesejahteraan ekonomi dan tindakan kriminal, maka sebagai negara berkembang yang masih belum mampu menyelesaikan perkara kebutuhan pokok sehari-hari, masyarakat Indonesia berpotensi tinggi untuk melakukan tindakan kriminal. Hal ini terbukti dengan adanya sekian banyak kasus kriminal yang terjadi tiap tahunnya di Indonesia.

Mengutip sebuah pendapat lama mengenai fakta, bahwasanya sesuatu itu menjadi ada atau terjadi ketika itu diberitakan di media. Sebuah contoh, seandainya saja tidak ada yang memberitakan Perang Vietnam yang dimulai sejak tahun 1955 dalam Isserman (2003:21), mungkin perang tersebut tidak akan pernah ada dalam catatan sejarah dunia. Ya, sedemikian hebatnya kekuatan berita, ia mendokumentasikan fakta dan mencatat sejarah, ia membuat seluruh dunia mengakui bahwa hal tersebut benar-benar ada dan terjadi.

Hal tersebut berlaku sama pada kasus-kasus kriminal yang diberitakan di Indonesia. Masyarakat tidak akan mengetahui tentang kekejaman para pelaku mutilasi yang mendadak menjadi tren dalam kasus-kasus kriminal. Banyak muncul pertanyaan mengenai apa penyebab meningkatnya kasus kriminal yang mirip satu sama lain tersebut? Mengapa seolah-olah tercipta tren dalam melakukan tindakan kriminal? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terlebih dahulu kita harus melihat bagaimana kasus-kasus kriminal tersebut diberitakan.

Tentu saja kita masih ingat dengan sebuah program berita kriminal milik stasiun televisi Indosiar berjudul PATROLI, yang muncul pasca Orde Baru, sekitar tahun 2000. Program yang seolah ingin menampilkan kesuksesan kinerja aparat kepolisian tersebut secara rutin menyajikan berita-berita mengenai kasus kriminal dari berbagai daerah di Indonesia yang telah mampu dipecahkan oleh aparat. Lalu apa yang salah dari hal tersebut? Dari segi informasi, tentu saja informasi mengenai kasus kriminal tersebut tetap penting. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah penting untuk menampilkan secara vulgar seluruh konten yang berkaitan dengan sebuah kasus kriminal? Misalnya saja, apakah perlu media memberitakan sebuah kasus dengan menampilkan fisik korban pembunuhan yang sudah sangat tidak layak tampil? Sekalipun visual tersebut telah disensor menggunakan mozaik. Namun seberapa pentingkah tampilan tersebut ikut muncul dalam pemberitaan? Informasi apa yang bisa didapatkan pemirsa dari tampilan tersebut? Apakah signifikan dengan informasi yang penting tentang kasus itu sendiri?

Jika kita melihat kembali masa-masa pembungkaman jurnalisme di Indonesia, jangankan visual yang vulgar—yang mampu menebar teror di masyarakat, visual yang biasa saja namun mampu memberikan dampak negatif bagi pemeritah saja pasti langsung tak lolos sensor. Maka menjadi sesuatu yang menarik ketika saat ini, tampilan-tampilan tersebut semakin banyak muncul di media, dengan alasan menyajikan fakta.
Yang perlu ditelaah lebih lanjut ialah, tentang seberapa penting dan signifikan fakta itu diketahui masyarakat. Seno Gumira (1997:48), menjelaskan bahwa saat ia menulis berita mengenai tragedi Dili pada tahun 1991 untuk Jakarta Jakarta, ia menggunakan begitu banya kalimat vulgar untuk menggambarkan kekejaman yang terjadi saat itu. Ia beberapa kali ditangkap karena masalah itu, namun ia bersikukuh bahwa apa yang ia lakukan itu benar, karena ia hanya menuliskan informasi yang ia dapatkan dari saksi mata, itu semua adalah fakta. Saya setuju dengan Seno ketika ia memilih untuk tidak menyensor tiap kalimat dalam beritanya. Alasannya, permasalahan Dili merupakan permasalahan besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sedapat mungkin jangan ada sedikitpun fakta yang dihilangkan.  Jika memang terdapat suatu fakta mengenai penduduk sipil yang dipukuli kepalanya sampai pecah, tulis saja apa adanya. Hal itu menjadi penting untuk diketahui masyarakat agar jelas siapa yang salah dalam insiden tersebut.

Berbeda dengan kasus kriminal kecil seperti pembunuhan yang bermotif dendam pribadi, saya kira tidak perlu sampai sedetail itu dalam penyajiannya menjadi berita. Bukan berarti saya meremehkan satu nyawa manusia, namun saya beranggapan bahwa penyajian secara detail tidak akan banyak menambah fakta yang diserap oleh masyarakat. Toh ketika menyimak sebuah berita mengenai pembunuhan, masyarakat yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan korban maupun tersangka hanya dapat mengambil satu kesimpulan sederhana: ada pembunuhan di daerah X, dengan motif dendam pribadi, tersangkanya A, korbannya B. Kesimpulannya: keamanan semakin berkurang. Dengan menambahkan detail mengenai bagaimana pembunuhan itu dilakukan, tidak akan menambah informasi tersebut, melainkan justru semakin menambah ketakutan dan kengerian, salah-salah malah menjadi inspirasi untuk melakukan pembunuhan yang serupa.

Dalam pemberitaan tentang insiden Dili, di mana konteksnya tidak hanya antara pelaku dan korban, namun lebih terkait dengan kelangsungan hidup masyarakat Dili terkait dengan konflik dengan pemerintah, saya rasa penting untuk menampilkan fakta dan detail sekecil apapun, karena hal tersebut akan memperjelas posisi masing-masing, baik pihak masyarakat Dili maupun pihak pemerintah, sehingga masyarakat luas pun dapat menilai dengan tepat atas apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang pantas untuk dibela.

Mungkin saja fenomena penayangan vulgar dalam pemberitaan kasus kriminal terjadi akibat pemahaman keliru mengenai konsep penyajian yang faktual. Bisa jadi media-media tersebut merasa kurang akurat jika tidak menayangkan pula visual-visual yang mendukung, meskipun sebenarnya hal itu tidak menambahkan informasi penting apapun kepada masyarakat selain kekejaman. Selain itu, kemungkinan yang kedua adalah lagi-lagi mengenai media dan industri, yaitu ketika sesuatu mengandung violence, asumsinya hal tersebut akan banyak diminati oleh masyarakat, sehingga ia jadi bernilai tinggi untuk “dijual”. Kemungkinan kedua inilah yang patut diwaspadai. Sungguh menakutkan bukan jika masyarakat kita tumbuh menjadi masyarakat yang tega menjual kekejaman demi kepentingan industri?



Referensi:
Ajidarma, Seno Gumira.1997.Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus
Bicara.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya

Isserman, Maurice.2003.Vietnam War.New York:Facts On File, Inc




*Tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Pemberitaan

No comments:

Post a Comment