Thursday, May 31, 2012

Komunikasi, Sebuah Kegelisahan Personal

Tak terasa tiga puluh satu hari nyaris selesai, tak terasa pula empat tahun masa kuliah nyaris habis terpakai. Walaupun saya menguranginya dengan masa cuti satu semester, sehingga masa kuliah saya baru terhitung tiga setengah tahun.

Belum lama ini saya meluangkan waktu untuk melihat kembali transkrip nilai saya, serta mengingat ulang apa saja kiranya yang telah saya pelajari di kampus selama tiga setengah tahun ini. Saya melihat daftar mata kuliah satu per satu dan mengurai ingatan-ingatan tentangnya, baik itu materi kuliahnya, cara mengajar dosennya, maupun mengapa saya bisa mendapatkan nilai yang tertera di sana.

Hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Ada banyak mata kuliah yang saya ingat hanya sebagai sebuah kelas tanpa gol yang jelas. Tanpa ada alur belajar yang sistematik dan ukuran-ukuran nilai yang transparan. Mungkin jika diibaratkan sebagai sebuah ceramah, ia seperti ceramah motivasi yang terasa nyaman, solutif, serta mudah dipahami ketika kita mendengarkannya, namun semua kata-kata tersebut lenyap menguap begitu kita meninggalkan ruangan.

Saya rasa permasalahan terbesar dari kuliah jenis ini adalah sistem yang nir perencanaan. Tidak adanya kontrak belajar di awal pertemuan serta kurangnya sosialisasi Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) berakibat pada materi kuliah yang seolah-olah hanya berisi ceramah dosen yang tidak terarah. Semua seperti semau dosennya saja, ingin memberi materi apa pada tiap pertemuan. Akibatnya, mahasiswa cenderung memahami perkuliahan dengan sepotong-sepotong. Maksudnya, bisa jadi pada satu pertemuan kita paham topik atau isu aktual apa yang dibicarakan dosen, namun entah pada pertemuan-pertemuan lainnya. Sehingga pemahaman materi kuliahnya sudah tidak sesuai silabus, tidak utuh pula. Bahkan tak jarang, karena apa yang disajikan di dalam kelas tidak sesuai dengan silabus yang ada, banyak mahasiswa yang kecele terhadap mata  kuliah itu.

Sistem yang seperti itu tidak saja membuat perkuliahan menjadi sia-sia, namun juga merugikan mahasiswa dari segi penilaian. Jika dosen tidak memberikan ukuran nilai yang jelas di awal perkuliahan dan hanya memberi ceramah saja, bagaimana bisa kita mengonfirmasi nilai akhir kita, apa kriteria-kriteria penilaiannya? Harusnya hal-hal semacam ini disampaikan sejak awal, pun jika kebijakan dosen dalam menilai memang hanya sebatas Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester.

Selain itu semua, terdapat satu hal yang sebenarnya paling esensial terkait dengan kualitas perkuliahan, yaitu positioning yang jelas sejak awal, mahasiswa belajar ilmu tersebut sebagai apa? Sebagai calon praktisi ataukah calon akademisi? Bahkan bagi calon praktisi pun terbagi lagi menjadi dua prioritas, bagian kreatifnya-kah? Atau bagian teknisnya?




Jika memang visi sebuah kampus adalah menjadikan dirinya sebagai kampus berbasis riset yang bertujuan untuk melahirkan penemuan-penemuan baru atas ilmunya, maka tentu saja sejak awal mahasiswa harus diarahkan untuk melihat ilmu tersebut dari perspektif akademis, sehingga implementasinya pada perkuliahan, mahasiswa tidak akan terlalu direpotkan dengan masalah kreatif, apalagi teknis.

Benar jika kita harus mempelajari ilmu secara utuh. Namun yang saya tekankan di sini, dalam ranah ilmu komunikasi kita tetap harus melakukan pilihan fokus, karena menguasai ketiga kemampuan tadi jelas bukan hal yang ringan. Jika memang ingin mencetak praktisi yang kreatif, maka sejak awal mahasiswa harus diarahkan untuk melihat ilmu tersebut sebagai ilmu yang praktis non-teknis. Contohnya, dalam kuliah yang berkaitan dengan sinema, mahasiswa diarahkan untuk membuat ide dan konsep film yang memiliki visi. Penulis naskah, penata musik, director of photography, serta sutradara adalah profesi yang lahir dari perspektif ini. Sedangkan jika ingin mencetak praktisi teknis, maka sejak awal mahasiswa harus diarahkan untuk fokus menguasai teknis. Kameramen, soundman, serta kerja-kerja teknis lain merupakan profesi yang lahir dari perspektif ini.

Namun jika ingin mencetak akademisi, tentu saja sejak awal mahasiswa harus diarahkan untuk fokus melihat film sebagai objek penelitian, sebagai sesuatu yang bisa dipelajari secara akademis. Fokus di sini bukan berarti total pada satu hal kemudian sama sekali tidak peduli pada dua hal lainnya. Karena itu tidak akan terjadi, untuk menguasai satu hal, dua hal lainnya tetap perlu dipelajari, hanya saja bobot dan praktiknya yang harus dibedakan.

Kembali saya terpaku pada selembar kertas transkrip nilai. Saya sadari betapa tidak terorganisirnya ilmu yang telah saya pelajari, sehingga saya dan banyak teman-teman lain kelabakan ketika memasuki masa-masa akhir studi kami. Seolah selama ini kami belajar tanpa arah dan tujuan yang jelas. Saya bahkan belum dapat menentukan, dari berbagai fokus studi yang terdapat pada Konsentrasi Media dan Jurnalisme, sebenarnya apa yang benar-benar saya sukai dan kuasai? Karena dalam konsentrasi tersebut pun masih terlalu banyak pilihan fokus studi yang tidak pernah diarahkan dalam pengambilannya. Apa sebenarnya yang saya pelajari dengan mendalam selama saya kuliah? Apakah Jurnalisme? New Media? Film? Komunikasi Budaya? Sejarah Media Massa? Komunikasi Politik? Penyiaran Radio? Penyiaran Televisi? Fotografi? Saya belum bisa menentukan, pun di saat jatah waktu kuliah telah nyaris habis terpakai.

No comments:

Post a Comment