Monday, May 28, 2012

Etika Komunikasi dalam Penyiaran: Mitos Lama yang Tak Kunjung Jadi Nyata

Berdasarkan UU Penyiaran NO. 32/2002, media penyiaran dibagi menjadi tiga macam yaitu Media Penyiaran Publik, Media Penyiaran Swasta serta Media Penyiaran Komunitas. Tentunya semua media tersebut tetap saja terikat dengan sebuah etika, terutama etika komunikasi. Seperti yang kita tahu, saat ini media penyiaran publik di Indonesia telah kehilangan taringnya sebagai media yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan publik. Sebut saja Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) yang saat ini nyaris tak terdengar gaungnya barang sedikitpun. Padahal, bicara tentang etika komunikasi, seharusnya media publik inilah yang menjadi teladan bagi dua media penyiaran lainnya. Di sisi lain, media penyiaran swasta/komersil jelas tak mungkin menjadikan etika serta hal-hal normatif lainnya sebagai sesuatu yang prioritas. Karena berdiri di atas kepentingan kapital dan modal, otomatis mereka rentan untuk dibutakan dengan uang dan keuntungan. Media swasta melihat apa yang mereka lakukan semata-mata adalah industri. Sedangkan media penyiaran komunitas dapat dikatakan sebagai media dengan sistem “kerja bakti”. Mereka berangkat dari komunitas yang notabene berasaskan kekeluargaan, dilatarbelakangi dengan kesamaan hobi atau kesukaan. Dengan demikian, tentu saja media komunitas tak memiliki daya kapital yang besar, bahkan relatif swadaya. Maka, untuk menembus tembok mainstream pun bukan hal yang mudah bagi media komunitas.

Jika melihat dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa media publik adalah media yang menjalankan etika komunikasi secara pas namun tidak dipedulikan, media swasta adalah media yang tidak peduli pada etika komunikasi dan cenderung mementingkan keuntungan semata, sedangkan media komunitas adalah media yang berusaha menjalankan etika komunikasi sebaik mungkin namun tak berdaya untuk meruntuhkan kebobrokan etika media swasta.

Peraturan terkait dengan etilka komunikasi sebenarnya sudah ada, namun bukan Indonesia namanya jika tidak berprinsip “peraturan ada untuk dilanggar”. Di sisi lain aturan tertulis terkait dengan etika komunikasi pun rumusannya belum terperinci dan masih banyak celah terjadinya pelanggaran. Bayangkan saja kode etik jurnalistik yang hanya memiliki 20 pasal itu diharapkan mampu mendidik para praktisi media di seluruh Indonesia untuk menjadi jurnalis yang beretika. Jelas omong kosong besar. Dibandingkan dengan kode etik lingkup perusahaan media The Times saja sudah kalah jauh. Selain itu, yang 20 pasal ini pun pada kenyataannya tak mampu bersikap keras terhadap pelanggaran yang terjadi. Mudah saja mengembalikan acara yang dikenai sanksi dilarang siar oleh KPI, ganti saja judulnya, siaran lagi, lalu beres. Seperti yang terjadi pada Empat Mata dan Silet. Kode Etik Jurnalistik hanya menjadi bahan olok-olok bagi kapitalisme. Jurang antara keduanya terlampau jauh, kode etik hidup di wilayah utopis dan realitasnya pelaksanaan jurnalisme berada pada kebalikannya.

Kondisi demikian terjadi tak lain karena sebuah sebab akibat yang tak dapat dilepaskan satu sama lain, kapital menuntut keuntungan, keuntungan dapat diperoleh jika modal lebih kecil daripada penjualan. Maka, modal dari media penyiaran antara lain adalah praktisi media /jurnalis yang bekerja untuk mereka, sedangkan penjualan adalah jumlah iklan dan rating yang ada pada institusi mereka. Kesimpulannya, sebisa mungkin institusi media menekan harga untuk praktisi media/jurnalis (modal), kemudian mencari cara untuk meningkatkan jumlah iklan dan rating. Caranya? Merekrut praktisi media/jurnalis yang murah gajinya, yang sekolahnya tidak sesuai dengan pendidikan jurnalis, yang tak mengeri apa-apa tentang jurnalisme. Yang penting penampilan menarik dan bisa sedikit berpikir. Lalu bagaimana dengan usaha peningkatan iklan? Cari saja berita-berita penuh sensasi, yang bombastis, yang humanis, yang dramatis, beres. Dengan kenyataan yang seperti itu, sudah sangat jelas bukan, tak ada lagi tempat untuk etika dalam media swasta.

Solusi untuk permasalahan ini tentu saja tidak mudah membalikkan telapak tangan, untuk menghilangkan jurang antara yang normatif dan kenyataan jelas peran masyarakat sangat dibutuhkan. Selama mainstream masyarakat masih terpaku pada sesuatu yang dangkal, tentu saja tak akan ada perubahan signifikan. Masyarakat perlu menjadi kritis dan membabat habis media yang tak tahu etika, media yang asal mencari keuntungan saja. Selain itu, media publik yang semestinya menjadi penetral pun harus melakukan revolusi besar-besaran agar dilirik masyarakat, sehingga nantinya media swasta akan meniru media publik.

No comments:

Post a Comment