Hari ini salah satu sahabat saya sejak SMA menjalani wisuda S1-nya. Namanya Vidya, ia kuliah di Fakultas Hukum UGM. Karena itulah siang ini saya kembali bertemu dan berbincang dengan sahabat-sahabat saya sejak SMA, dan diantara kami semua, Vidya-lah yang pertama lulus kuliah. Suasana ini kembali membawa saya pada sebuah percakapan bersama Awe tentang fase setelah kuliah (lihat selengkapnya di sini). Dalam tulisan tersebut awe berkata:
"Jika saya terus disini bisa jadi Jogja hanya akan menjadi sebuah keseharian yang membosankan, saatnya berlibur ke tempat lain. Ah mengapa saya jadi mau menjadikan setiap tempat yang saya kunjungi sebagai tempat liburan, bukankah itu yang kamu bilang mengasyikkan Sail?"
Dalam tulisan tersebut, Awe menolak sekaligus tak dapat menghindari sebuah konsep yang saya tawarkan: liburan. Dalam perjalanan hidup seseorang, tentu saja berbagai fase akan dilewati, termasuk kegalauan untuk menentukan apa yang ingin dilakukan dalam hidup, dengan berbagai pertimbangannya. Pernah saya membicarakan hal ini dengan seorang teman, dan ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pada akhirnya impian dan cita-cita bisa jadi hanya sebagai klangenan saja. Sebagai bahan cerita untuk anak dan cucu, bahwa "Dulu bapak/ibu pernah begini lho nak...".
Dengan seorang teman yang lain, ia berkata bahwa sebisa mungkin ia tidak ingin ke Jakarta. Kemudian berceritalah ia tentang percakapannya dengan sang ibu di telepon. Ibunya berkata seperti ini,
"Egois sekali kamu kalau tidak ingin melakukan sesuatu hanya karena takut tidak betah, kamu pikir ayahmu selama ini betah bekerja seperti itu untuk menyekolahkanmu?"
Plak! Teman saya ini mengaku sedih mendengar kata-kata ibunya itu. Saya hanya mengiyakan apa yang dikatakan oleh ibunya.
Kemudian saya teringat sebuah percakapan lain dengan ibu saya, tentang cita-citanya di masa lalu. Saya tahu ibu saya pernah ingin menjadi pramugari, namun ia berkata ia tidak memenuhi syarat-syarat utama, secara fisik. Saya tidak pernah tahu apakah ia menyesali kenyataan yang tak pernah sampai pada mimpi-mimpinya atau tidak. Dan setiap kali ia berkata bahwa saya bebas menjalani apa yang saya mau, hati saya ngilu.
Mungkin pada akhirnya saya akan jadi seorang pemimpi yang keras kepala, yang bersikeras untuk terus menjalani hidup sebagai liburan seutuhnya. Untuk lebih mementingkan apa yang saya rasa perlu untuk lakukan dalam hidup. Namun tampaknya Awe salah mengartikan konsep liburan tersebut, liburan tidak terikat pada ruang, namun pada visi. Saya lihat saat ini ia tidak menetap di Jogja, ia sedang berada di Sumatera. Namun saya tahu, hingga saat ini ia tak pernah sedetikpun meninggalkan liburannya, karena apa yang ia lakukan sepenuhnya adalah yang ia inginkan.
Mungkin kelak saya akan melakukan sebuah pekerjaan yang hanya bertujuan untuk mencari uang, namun tidak kemudian saya meninggalkan liburan saya, mimpi-mimpi saya, kegelisahan saya. Saya tidak ingin menjadi robot yang tak punya jiwa. Saya mengerti saya harus mencari uang untuk menghidupi diri saya, namun saya tidak ingin menjadikan uang sebagai sebuah ambisi, tidak. Sekali lagi, tidak.
Mungkin saya sedang bertaruh dan mengambil risiko besar, namun sayup-sayup saya mendengar Friedrich von Schiller berbisik di telinga saya: "Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan”
Mungkin pada akhirnya saya akan jadi seorang pemimpi yang keras kepala, yang bersikeras untuk terus menjalani hidup sebagai liburan seutuhnya. Untuk lebih mementingkan apa yang saya rasa perlu untuk lakukan dalam hidup. Namun tampaknya Awe salah mengartikan konsep liburan tersebut, liburan tidak terikat pada ruang, namun pada visi. Saya lihat saat ini ia tidak menetap di Jogja, ia sedang berada di Sumatera. Namun saya tahu, hingga saat ini ia tak pernah sedetikpun meninggalkan liburannya, karena apa yang ia lakukan sepenuhnya adalah yang ia inginkan.
Mungkin kelak saya akan melakukan sebuah pekerjaan yang hanya bertujuan untuk mencari uang, namun tidak kemudian saya meninggalkan liburan saya, mimpi-mimpi saya, kegelisahan saya. Saya tidak ingin menjadi robot yang tak punya jiwa. Saya mengerti saya harus mencari uang untuk menghidupi diri saya, namun saya tidak ingin menjadikan uang sebagai sebuah ambisi, tidak. Sekali lagi, tidak.
Mungkin saya sedang bertaruh dan mengambil risiko besar, namun sayup-sayup saya mendengar Friedrich von Schiller berbisik di telinga saya: "Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan”
No comments:
Post a Comment