Thursday, September 29, 2011

Surat untuk penyair (yang) bodoh

: Dea Anugrah

Hei penyair (yang) bodoh,
Jika benar manusia dibentuk oleh masa lalunya,
aku memilih untuk menjadi seperempat manusia saja.
Agar tigaperempat sisanya bisa kuberikan padamu,
untuk kau bentuk bersama waktu,
menjadi esok, lusa, dan seterusnya.

Hei penyair (yang) bodoh,
Jika benar manusia tak pernah melupakan sesuatu,
aku memilih untuk menjadi tigaperempat manusia saja.
Agar tigaperempat itu menjadi ingatan tentangmu,
dan seperempat lainnya hanyalah kenangan pahit yang sedikit,
tidak akan membuat sakit.

Hei penyair (yang) bodoh,
Jika benar manusia tak pernah punya pilihan,
aku akan berterimakasih pada waktu,
yang menjadikan manusia manusia seperti kita ini bertemu.

Oh, penyair,
Jika benar kau adalah penyair (yang) bodoh,
maka aku telah menjadi kebodohan itu,
yang selalu berada di sampingmu dan menjadi satu.

Sehingga manusia manusia yang (katanya) dibentuk dari masa lalunya itu,
juga manusia manusia yang (katanya) tak pernah melupakan sesuatu itu,
serta manusia manusia yang (katanya) tak pernah punya pilihan itu,
melihat kita dan berkata:

"Penyair (itu) bodoh."

yang sama saja dengan

"Kamu (itu) aku."

satu.

Tuesday, September 6, 2011

Buat pacarku yang bernama televisi

Riuh adik adik yang berlarian
mengitari rumah,
dan bertengkar,
sebentar kemudian menangis,
sekejap hilang seperti mimpi.
Rasanya seperti ditarik menuju peti mati.

Aku di sini
bersama televisi
mendekap sunyi hingga sepi.

Sedangkan ruang
dan waktu terus berjalan bersama mereka
dalam ketuk langkah langkah kecil
yang perlahan tak bersuara
tak sudi sampai ke telinga.

Hanya kepada televisi aku bicara
tentang betapa sepi itu menjadi demikian rumit,
dan cengeng.

Sebagaimana ribuan orang kesepian lainnya
yang punya banyak catatan untuk dibahasakan
kepada orang orang.
Namun hanya ada televisi yang tersenyum simpul
di hadapan mereka.

Pun aku saat ini!

Karena hanya ada televisi,
tersisa
di tiap tiap ruang keluarga
yang ditinggal pergi pemiliknya.

Saturday, August 13, 2011

Sebab Kita Tak Pernah Menjalin Asmara

: m

Aku tak tahu
mengapa pada suatu pagi,
perjalanan terhenti

Padahal
baru saja kuletakkan
sajak kita
pada perhentian
yang lumayan

Baru selesai sebuah catatan
lahir di atas perasaan

Baru sesaat saja
sejak
sebuah titik kuletakkan
pada pengumuman

Apa ikatan tanpa penghulu adalah ilusi?
Mungkin ikatan tanpa penghulu adalah ilusi

Kau tak pernah berkata ini kemauan
hanya tabrakan
tak pantas ada dalam kenangan
bahkan untuk sekedar kau catat pada butir butir pasir
penunjuk waktu atas ingatanmu
yang perlahan
jatuh
dan terus saja jatuh

Padahal
asmara begitu nyata pada mata,
suara,
asa,
serta abjad abjad yang kususun rapat
untukmu
saat itu

Namun kau lebih suka menyebutnya bukan cinta
"kita memang tak pernah menjalin asmara, bukan?"
tanyamu di pagi itu
dan aku tak pernah diizinkan waktu
pun sekedar kecewa dan termangu

Thursday, August 11, 2011

Betapa Bicaraku Tak Kau Dengarkan

: w

Betapa bicaraku tak kau dengarkan
hal hal yang selalu menjadi runyam
seperti kata penyair muda,
jatuh cinta tak butuh alasan,
namun pernikahan menjadi demikian menakutkan
pada perbedaan perbedaan kecil yang mengganjal

Betapa bicaraku tak kau dengarkan
tentang pengharapan pengharapan
dan
harga yang harus dibayar
untuk sebuah relasi
yang katanya saling mencintai

Betapa bicaraku tak kau dengarkan
jadi puing
dan asing
masing masing
bicara sampai kering

Betapa bicaraku tak kau dengarkan
pertengkaran yang tersangkut pada
tali tali maaf
namun akhirnya lepas juga
simpulnya
dan lupa
dan lelah
dan sudah

Tuesday, May 31, 2011

Nguping Mei 2011

"Yang baru dateng ayo tanda tangan dulu, terus ngambil snack pagi sama makan siang." - Hera Ariani on APPLAUSE #1

"Udah diedit?" - Rony Zakaria on APPLAUSE #1

"Menurutku ini bagusan nggak ada orangnya" - Kurniadi Widodo on APPLAUSE #1

"Motret buat apa tho mbak?" - Para subjek foto dalam projek Death.Inc saya

"Mbak kalau ruang R.III/409 itu di sebelah mana ya?" - Para peserta SNMPTN 2011

"Ayo bikin jadwal magang minggu ini." - Novia Permata on Radio Karbol Fm

"Besok rapat program Juni sama jobdesk ya" - Damar Nugrahono on Perpustakaan Literati

"Camera?" "Rolling!" - on kuliah Program Siaran Televisi

"Kamu ngereview Bab 9 ya" - Lukluk Sihjati on Asistensi kuliah Filsafat Komunikasi

"Iki postingan afu tenan! afuuuuu... Marakke tambah sedih ninggalke jogja.. Afuuu..." - Ardi Wilda on 31 Hari Menulis: To(e) Go(e)

"Wah asem lali posting!" - on 31 Hari Menulis

Monday, May 30, 2011

Kelak

Saya mempunyai beberapa keinginan di masa depan. Keinginan itu ada macam-macam, kali ini saya ingin berbagi tentang benda-benda yang saya inginkan di masa depan.

| Karavan
Sejak menonton serial kartun "The Wild Tornberries", saya jadi ingin memiliki mobil karavan yang bisa digunakan untuk berjalan-jalan ke tempat-tempat terpencil. Saya selalu suka berada di tempat baru dan bertualang. Rasanya seru jika kita bisa berpindah-pindah tempat tinggal dan hidup beradaptasi dengan keadaan yang baru. Saya juga tidak perlu repot mencari penginapan ketika berkelana ke luar kota.

| Rumah berhalaman luas dan berpagar rendah
Rumah gaya Inggris dengan halaman luas dan pagar kayu yang rendah merupakan hal lain yang saya inginkan. Saya selalu suka dengan rumah berhalaman luas di mana saya bisa bermain-main dengan anak-anak saya kelak. Sedangkan pagar kayu rendah memberikan rasa aman tersendiri.

| Sepeda gandeng
Kalau sekarang sepeda fixie sedang banyak disukai orang, saya tetap ingin memiliki sepeda gandeng. Bisa gandeng 2 maupun 3 atau 4. Sepertinya seru membayangkan saya bersama suami dan anak-anak menaiki sepeda itu dan bersepeda sore-sore ke taman kota. Sepeda itu juga bisa mengingatkan kami untuk tetap kompak dalam berkeluarga, kompak bekerjasama menjalankan peran masing-masing agar keluarga tetap utuh.

|Taman Kanak-kanak
Saya suka anak-anak, saya suka guru TK saya dulu. Untuk itu saya ingin membuat TK dan bertemu anak-anak setiap hari :)

| Toko buku kecil
Toko buku seperti yang ada di Prawirotaman atau Sosrowijayan menjadi impian tersendiri bagi saya. Cukup yang kecil saja, bukan sebesar Gramedia.

Itulah beberapa impian masa depan saya, bagaimana dengan kamu?

Sunday, May 29, 2011

Death.Inc

Judul di atas merupakan judul esai foto yang diusulkan tutor workshop saya, Rony Zakaria. Projek personal yang telah lama saya rencanakan ini akhirnya berhasil saya eksekusi melalui workshop fotografi APPLAUSE #1. Meskipun begitu, jelas saya belum puas dengan hasil yang sekarang saya dapatkan, projek ini tidak akan berhenti sampai di sini, saya akan melanjutkannya.

"Tidak ada kata mujur dalam fotografi, yang ada kerja keras." - Don Hasman

Saturday, May 28, 2011

Mari Belajar Mengangkat Pantat

Hari keempat dari rangkaian workshop APPLAUSE #1, saya belajar mengangkat pantat. Bukan secara literal saya mengangkat-angkat pantat saya, tetapi saya belajar untuk bekerja keras jika ingin mendapatkan sesuatu. Projek yang saya kerjakan dalam workshop ini merupakan projek pertama yang saya kerjakan, dan untuk sebuah projek awal bagi seorang newbie, saya merasakan tema saya ini relatif sulit. Saya tidak hanya memotret satu subjek/tempat, saya memotret beberapa subjek dan tempat namun mereka berkaitan satu sama lain, mereka berada dalam satu isu besar. Hal itulah yang sedikit banyak membuat saya kelelahan dalam mengerjakannya, karena waktu yang juga sangat terbatas: empat hari.

Selama empat hari ini saya merasakan betul dampak positif dari melawan rasa malas. Hari pertama saya lalui dengan sangat tidak efisien, alokasi waktu saya kacau. Ditambah dengan riset awal yang masih mentah, saya benar-benar memulai semuanya dari nol sejak hari pertama. Itu kesalahan fatal untuk sebuah proses pengerjaan esai foto yang hanya memiliki waktu empat hari.

Hari kedua dan ketiga saya sedikit putus asa karena saya belum memiliki stok foto yang cukup, padahal waktu final edit semakin sedikit. Hari ketiga tengah malam, saya sampai di rumah singgah kemudian berusaha merancang agenda untuk hari keempat dengan hati-hati, saya tidak ingin melewatkan kesempatan terakhir untuk medapatkan foto yang saya inginkan untuk projek saya.

Paginya, saya berencana berangkat pukul 7.00, dan godaan terbesar adalah saat berusaha mengangkat pantat dari tempat tidur: bangun. Selain karena rasa lelah yang telah menumpuk dan waktu tidur yang berkurang, saya juga memiliki sedikit keraguan untuk meneruskan projek ini karena berbagai kendala. Namun pada titik ini saya menampar diri saya, saya melompat bangun dan langsung menuju kamar mandi tanpa banyak berpikir. Betul juga, setelah itu, saya merasakan semangat dan keyakinan yang mampu mendorong saya untuk bergerak. Dan semua itu terbayar dengan pelajaran yang saya dapatkan di lapangan, pelajaran tentang hidup.

Saya bersyukur hari ini saya mendapat banyak sekali keberuntungan yang membuat saya mendapatkan foto-foto yang saya inginkan, meskipun masih ada yang akhirnya tidak saya dapatkan, namun saya tidak akan berhenti sampai workshop ini saja, projek ini akan saya selesaikan. Saya senang bisa mengikuti workshop ini dan tahu bahwa mengangkat pantat adalah awal dari pencapaian hasil. Selamat pagi! Mari belajar mengangkat pantat!

Friday, May 27, 2011

Meeting People Is Easy*

Hari ketiga APPLAUSE #1, saya kehabisan tenaga. Stok foto saya masih sangat kurang dan waktu semakin sempit. Saya sempat putus asa dan nyaris menyerah, namun saya mencari waktu untuk merenung. Setelah sayab berpikir dengan tenang, saya mulai menyadari bahwa esensi dari workshop ini bukanlah hasil akhir, namun bagaimana saya menikmati seluruh proses belajar yang ada, maka tidak seharusnya saya putus asa.

Awalnya saya sangat ambisius untuk menyelesaikan esai yang saya rencanakan dengan sempurna, namun saat mejalani prosesnya, ada banyak kendala yang terjadi, sehingga saya menjadi semakin santai namun tetap mengusahakan yang terbaik. Beruntung sekali saya dibimbing oleh tutor dan asisten tutor yang sangat membantu dalam mengeksplor dan mencari berbagai alternatif untuk kendala yang saya hadapi, terimakasih Rony Zakaria dan Kurniadi Widodo.

Sekarang hari ketiga telah berakhir, besok merupakan hari terakhir untuk hunting dan memenuhi foto-foto yang belum ada, sebelum final edit pada hari Minggu. Memang berat, namun saya akan berusaha, ini adalah kesempatan saya untuk banyak belajar, tidak hanya dari tutor, namun juga dari setiap orang yang saya temui. Saya tidak hanya belajar fotografi, saya belajar tentang hidup, saya belajar bertanggung jawab atas semua hal yang ada dalam frame foto saya. Seperti judul film rockumentary tentang band Radiohead karya sutradara Grant Gee, "Meeting People Is Easy". Holding to them is hard. Semangaaaaat!


*Judul diambil dari judul film karya Grant Gee, "Meeting People Is Easy" (1998)

Thursday, May 26, 2011

Masyarakat Yang Takut

Sejak Rabu kemarin, saya mengikuti sebuah workshop fotografi jurnalistik yang diadakan oleh Kelas Pagi Yogyakarta, di mana saya terdaftar sebagai siswa angkatan dua sejak bulan beberapa bulan lalu. Workshop bertajuk APPLAUSE #1 ini tidak hanya berisi kuliah namun juga penugasan bagi tiap-tiap peserta. Sebelumnya, masing-masing peserta diwajibkan mengirimkan portofolio foto terbaiknya serta proposal foto esai yang ingin dikerjakan selama workshop.

Ada satu pengalaman menarik yang saya alami selama dua hari melakukan penugasan tersebut, yaitu bagaimana orang-orang di Indonesia demikian takutnya difoto. Projek yang saya kerjakan membuat saya mau tak mau harus berinteraksi dengan orang-orang baru yang sama sekali belum pernah saya temui. Dalam proses itu sebisa mungkin saya berusaha untuk membuat subjek saya nyaman dan tidak merasa terancam dengan kehadiran saya. Saya memastikan pada mereka bahwa saya sama sekali tidak berniat jahat, dan saya juga berusaha mengungkapkan dengan jujur tujuan dan niat saya yang sesungguhnya.

Namun demikian, tetap saja ada beberapa orang yang tampak sangat ketakutan ketika saya meminta izin untuk memotret mereka, entah mengapa. Sebelumnya, saya pernah mengalami hal serupa ketika hendak membuat esai foto tentang penjual jamu tradisional. Ibu penjual tersebut mendadak menjadi defense berlebih saat saya bilang ingin berkunjung ke rumahnya untuk melihat proses peracikan jamunya. Saat hal ini saya diskusikan bersama seorang teman, ia memberikan dua kemungkinan, bisa jadi ia memiliki resep rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain, atau yang terburuk ia melakukan hal-hal yang melanggar hukum sehingga ia takut ketahuan pihak yang berwajib.

Ternyata selain hal tersebut masih ada satu kemungkinan lagi, hal ini baru terpikirkan oleh saya setelah sedikit berdiskusi dengan asisten tutor saya di workshop. Kemungkinan itu ialah, persepsi masyarakat terhadap media yang masih relatif buruk. Media masih dianggap sebagai pihak yang suka mencari-cari kesalahan atau mencampuri kehidupan pribadi, dan juga masih bersifat eksploitatif. Sebagai calon awak media, saya mengakui hal tersebut sekaligus kecewa. Padahal jika para pelaku media mau bertindak sedikit lebih menghormati subjek, mereka justru dapat menangkap sesuatu yang natural dan tanpa ganjalan dari subjek-subjeknya. Persepsi masyarakat terhadap media yang seperti ini, sedikit banyak akan merugikan para awak media yang sama sekali tidak memiliki niat buruk.

Dari pengalaman ini, saya jadi memiliki pemikiran untuk mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap media yang seperti itu. Mungkin memang terkesan utopis, namun saya akan melakukan apa yang saya mampu, apa yang saya bisa. Saya akan selalu mengingat bahwa semua harus dimulai dengan kejujuran dan niat baik. Mari:)

Wednesday, May 25, 2011

To(e) Go(e)


Hei,
Rindukah kau pada kotaku?
Kota yang hanya bisa membisu, saat kau berlalu

Tuesday, May 24, 2011

Monday, May 23, 2011

Ordinary Day

Jika saya ingat-ingat, mungkin hari ini merupakan hari ulang tahun paling santai yang pernah saya alami. Sudah lama saya tidak menampilkan tanggal lahir di akun Facebook saya, entah mengapa saya mulai merasa tidak perlu mencantumkan hal-hal tertentu yang saya anggap privat ke dalam Facebook, dan trust me, it works! Wall saya tidak dipenuhi ucapan-ucapan ulang tahun, hari saya berjalan dengan lebih tenang, dan cemas saya bisa berkurang. Bukan berarti saya tidak menyukai ucapan dan doa dari teman-teman (saya percaya setiap haripun teman-teman sudah mendoakan saya ;P), saya hanya ingin menjalaninya dengan wajar dan tidak berlebihan. Ketika saya memasang tanggal lahir di Facebook, saya khawatir ada pihak yang menjadi terbebani jika tidak mengucapkan lewat wall maupun media lain, padahal sesungguhnya ia tidak benar-benar ingin atau sempat mengucapkannya. Ya, mungkin apa yang saya pikirkan terkesan rumit, dan toh itu sekedar ucapan. Tapi, ya, saya tidak ingin membuat orang merasa wajib mengucapkannya, bagi saya usia kronologis memang tidak penting dirayakan, saya hanya ingin menjalani hari ini sama seperti hari-hari biasa. Jika memang ada yang ingin mengucapkan selamat (meskipun saya tak pernah paham apa yang harus diselamati), saya tidak menolak, saya akan berterima kasih.

Jadi, selamat menempuh usia 21 tahun 1 hari besok pagi, Saila.

Sunday, May 22, 2011

Bonne Année

Bukan, ini bukan tulisan tentang daftar keinginan untuk setahun kedepan ataupun target yang tak tercapai selam satu tahun ini. Ini tulisan tentang ulang tahun, sesuatu yang nyaris saya lupakan jika saja hari ini saya tidak mengambil KTP saya dari perpustakaan. Ya, saya lupa kalau hari ini adalah hari terakhir saya berusia 20 tahun, besok saya akan genap berusia 21 tahun – jika saya masih hidup.

Saya sedikit terkejut pada diri saya sendiri ketika sadara bahwa saya lupa hari ulang tahun saya, baru kali ini saya lupa seperti ini. Selama ini, saya selalu ingat tanggal ulang tahun saya, bukan untuk saya rayakan besar-besaran bersama teman, namun saya mengingatnya sebagai patokan untuk diri saya sendiri, setidaknya saya menganggap penting ulang tahun cukup bagi yang mengalaminya saja, bukan karena orang lain penting untuk tahu.

Tahun lalu, ketika saya hendak memasuki usia 20 tahun, saya demikian sadar dan ingat, bahkan sejak seminggu sebelumnya, karena saat itu saya panik dengan hal itu. Saya panik dengan berbagai bayangan akan umur 20 yang berarti sudah seharusnya menentukan arah – sedangkan saya belum melakukan apapun saat itu. Waktu itu saya melewati hari terakhir usia belasan saya bersama teman baru yang mulai akrab, Makbul. Kami tidak melakukan apapun seharian, hanya menonton beberapa film Indonesia kemudian mengoloknya. Saat itu saya benar-benar tidak siap menghadapi bergantinya hari, saya takut dan mengatasinya dengan bersenang-senang belaka, seolah dapat menunda.

Perjalanan membawa saya pada dialog-dialog tentang usia, tentang penentuan arah dalam hidup, bersama banyak orang. Beberapa bulan lalu, saya dan teman saya Dea lagi-lagi membicarakan tentang tujuan hidup dan apa yang sebenarnya ingin kami lakukan dalam hidup. Dea melegakan diri saya yang terlalu rumit, saat itu ia berkata “Mari berhenti memikirkan apa yang sebenarnya kita mau, lakukan saja apa yang kita suka, selama kita mampu.”. Kemudia ia berkata ia teringat Puthut EA pernah mengatakan bahwa ia menulis, menonton film, dan melakukan hal-hal lain karena ia menyukainya. Ia tidak merasa terbebani dan tidak merasa harus memiliki alasan.

Mendengar apa yang disampaikan Dea, saya lantas berpikir dan tersadar, memang tidak seharusnya saya terlalu memusingkan hal tersebut dan malah membuat saya tidak melakukan apapun pada akhirnya. Saya jadi lebih santai.

Mungkin sejak saat itulah saya menjadi tidak terlalu memikirkan dan mencari-cari apa yang sebenarnya saya mau serta berusaha menghentikan hal lain yang saya anggap tidak mau saya lakukan. Saya membebaskan diri saya, namun tetap pada garis-garis tertentu. Saya berhenti mencemaskan sesuatu yang tidak terlalu esensial dan lebih banyak melakukan sesuatu yang saya ingin lakukan: belajar fotografi, membaca buku, mendengarkan musik, menonton film, menulis, apapun. Toh spesifikasi kan hanya persepsi Amerika, dan dengan spesifikasi bukan berarti kita harus menghentikan hal-hal lain yang sebenarnya ingin kita lakukan bukan? Itu persepsi saya.

Mungkin karena itulah hari ini saya lupa tanggal ulang tahun saya. Karena mungkin usia kronologis kini jadi tidak terlalu penting bagi saya. Usia psikologis jauh lebih penting, dan ia tidak bertambah setiap tahun, melainkan setiap saya semakin mampu memahami diri saya dan hidup ini dengan lebih bijaksana dan bersahaja. Ia tidak perlu diperingati namun diresapi.

Bonne année untuk saya, dua jam lagi genap 21 tahun kau menghirup udara dunia, semoga usia psikologismu berkembang pula seiring usia kronologismu yang tak lagi kanak-kanak.

Cheers!

Saturday, May 21, 2011

Stories Of Memories

"Prek cha! hahaha" merupakan reaksi pertama yang muncul saat saya membaca review Ocha Gorgom untuk blog saya ini di blog admin 31 Hari Menulis. Mengapa begitu? Saya memiliki beberapa tanggapan untuk review Gorgom tersebut. Yang pertama, ketika Ocha menulis "Mung marai nggerus thok.". Oke, mungkin saya memang sering menulis tentang kenangan-kenangan yang terkesan menyedihkan bagi sebagian orang, namun sungguh saya tidak bermaksud seperti itu.

Pada dasarnya saya tidak pernah suka mendikte pendapat orang lain, termasuk dalam blog. Semua orang bebas menilai dan merasakan impresinya. Namun kali ini saya hanya ingin sedikit bercerita.

Blog ini memang berangkat dari keinginan saya untuk mengarsipkan segala sesuatu yang pernah saya alami, yang berkesan dan penting untuk saya. Memang terkesan egois ketika saya menggunakan ruang publik demi kepentingan yang sangat personal seperti itu, namun saya tidak bermaksud untuk menjebak diri saya pada kesedihan-kesedihan masa lalu, saya justru membebaskannya, karena saya melatih untuk menghadapinya.

Semua hal yang saya tulis di sini bukan sesuatu yang baru, semua orang pernah mengalami patah hati, semua orang pernah mengalami pencarian jati diri, semua orang pernah menemukan orang-orang yang berarti. Jadi sebenarnya, impresi seseorang terhadap blog ini sangat mencerminkan dirinya sendiri, karena kita bercermin ketika membaca blog ini. Ketika ia nggerus, berarti ada satu bagian dari dirinya yang merasa dekat dengan pengalaman itu, dan tentunya masih belum bisa lepas.

Saya sendiri merasa, ketika saya mengarsipkan kebahagiaan-kebahagiaan saya, kesedihan-kesedihan saya, semua kenangan yang berarti, maka saya tidak akan lupa mengapa sekarang saya berdiri di sini dengan keadaan seperti ini, serta apa saja yang seharusnya saya pelajari. Saya juga belajar untuk menghadapi tiap rasa pahit dan sakit yang pernah saya kecap, sehingga semakin lama, saya semakin santai mengingatnya, saya tidak lagi galau dan bisa menerimanya. Saya tidak menulis untuk meratapinya.

Jadi sebenarnya itulah yang saya inginkan dari blog ini, silakan bercermin dari pengalaman dan kenangan saya, jika anda merasa nggerus, berarti sebenarnya ada sesuatu dalam diri anda yang belum bisa menerima kepahitan di masa lalu anda, dan anda selalu lari.

Thursday, May 19, 2011

A Brother I Never Have (Bagian III)

Asep Muizudin Muhammad Darmini - "Sumpah, saya bukan blogger!" adalah judul blog milik Asep. Menarik bukan? Yap, saya pun langsung tertarik saat melihat blog tersebut di multiply. Perkenalan saya dengan Asep nyaris sama dengan Adrian, lewat multiply. Impresi pertama saya pada Asep adalah ia merupakan seseorang yang lucu, galau dan terkadang galak. Sungguh kombinasi yang aneh ya. Saya mulai merasa ada kecocokan dengannya ketika kami saling memberi komentar pada cerpen dan isi blog masing-masing. Dari situ saya merasa nyaman ngobrol dengannya, meskipun hanya lewat multiply.

Di kampus, saat saya berpapasan dengannya saya pun memberanikan diri untuk menyapanya, sampai obrolan basa-basi terjadi dan berkembang menjadi obrolan-obrolan lain. Seringnya sih, kami tidak hanya berdua namun bersama Adrian juga. Ada satu momen bersama Asep yang saya rasa paling berarti, yaitu saat ia menceritakan sesuatu yang sangat personal kepada saya, padahal saat itu saya merasa belum terlalu dekat dengannya, namun ia telah demikian percaya pada saya dengan menceritakan hal tersebut. Saat itu saya langsung mendapat kepercayaan dan kedekatan yang besar, maka tentu saja saya tidak ingin mengecewakannya.

Walaupun kemudian saya tidak terlalu sering bertemu dan mengobrol dengannya, namun perasaan dekat itu tidak hilang. Demikian juga saat ia lulus dan saya tidak sempat hadir ke wisudanya (saya merasa ia lulus tiba-tiba! hahaha), saya hanya bisa mengucapkan selamat lewat sms. Tapi untungnya, sebelum ia pulang ke Tasikmalaya, kami sempat makan berdua dan mengobrol panjang di Rempah Asia. Saya tidak akan melupakan sore itu, apa yang kami bicarakan, tertawakan, dan kami jelek-jelekkan :P

Mas Asep, apapun langkahmu selanjutnya,aku mendukungmu! Mau jadi Guru, Pengajar Muda, atau apapun yang kamu suka, semoga kamu senang menjalaninya ya :)

A Brother I Never Have (Bagian II)

Ardi Wilda Irawan – Sebelum kuliah, saya hanya tahu satu AW, yaitu restoran fast food dengan ciri khas minuman Sarsaparila yang menggoda. Namun setelah kuliah, visual yang terbayang ketika saya mendengar kata AW bukanlah lagi restoran fast food tersebut, melainkan seorang makhluk ajaib bernama Ardi Wilda Irawan yang akrab disapa Awe. Ya, ia memang ajaib.

Sama seperti Adrian, Awe adalah kakak tingkat saya di kampus, ia pun satu angkatan dengan Adrian. Saya lebih dulu mengenal Awe daripada Adrian, namun perkenalan saya dengan Awe memang berbeda dibandingkan dengan Adrian. Saya mengenal Awe dari klub fotografi jurusan – Publisia Photo Club (PPC). Saat itu Awe adalah ketua PPC, dan PPC memiliki lumayan banyak agenda yang mengasyikkan selain diklat reguler. Yang pertama adalah hunting ke Solo, saat itu ada peringatan 1 Suro di Keraton Surakarta. Terdapat ritual mubeng beteng seperti di Keraton Yogyakarta, namun uniknya, di Surakarta terdapat Kebo Bule (Kerbau Albino) yang ikut diarak mengelilingi beteng. Saat itu yang dapat ikut hunting adalah Awe, Dwi, Aji, Pradah, Aldi dan saya. Kami berenam berangkat dari Jogja sore hari. Satu hal yang saya ingat dari momen itu adalah ketika Awe yang saat itu berboncengan dengan Dwi nyaris menabrak mobil dari arah berlawanan karena kecerobohan Dwi. Saat itu kami semua hanya bisa tertawa ngakak berkali-kali.

Momen-momen yang saya lalui bersama Awe lebih banyak momen yang berbau proyek, ya, Awe memang cah proyek. Beberapa kali saya diajak untuk membantunya dalam beberapa proyek, seperti mengikuti Kompetisi Membuat Video Klip Efek Rumah Kaca, Membuat film dokumenter tentang Bioskop Permata, bahkan proyek iseng seperti membuat kaos bergambar wajah Angga Prawadika! Hahahaha.

Kedekatan saya dan Awe mungkin tidak sama dengan kedekatan di antara saya dan Adrian, kedekatan kami lebih lama terbangun, karena kami lebih sering berada dalam suasana kerja sehingga kami pun jarang membicarakan hal-hal personal. Namun, saya tetap merasakan Awe sebagai seorang kakak, ia mengajari saya banyak hal dan membuka pikiran saya akan banyak hal.

Dan ternyata, meskipun ia terlihat tak peduli pada hal-hal personal saya, sebenarnya ia peduli. Terbukti pada saat saya sedang galau-galaunya, ia memberi semangat pada saya. Hanya lewat pesan singkat, hanya dengan satu kalimat. Namun mampu membuat saya bersemangat, karena saya tahu, masih ada orang-orang yang peduli pada saya, meski melalui cara-cara yang sederhana. Maka pada saat ia sedang galau pun, saya berusaha untuk membantunya bangkit, saya tidak ingin melihatnya terpuruk terlalu lama. Ayolah Wek, bangun! :P

Hal menyenangkan yang sempat kami lakukan adalah piknik di hari Sabtu ke Sendangsono bersama teman-teman yang lain, Yogi, Intan, Dwi, Aji dan Pradah. Hari itu sungguh menyenangkan, saya benar-benar merasakan piknik lagi setelah sekian tahun, hahahaha.

Ada dua niat yang sampai saat ini – di mana ia sudah hampir meninggalkan Jogja karena telah selesai kuliah, masih belum terpenuhi di antara saya dan Awe, yaitu perjalanan ke Temanggung dan rencana produksi film satu lagi. Semoga masih sempat ya kakak Awe ;)

Tuesday, May 17, 2011

A Brother I Never Have (Bagian I)

Saya memiliki lebih banyak teman laki-laki dibandingkan perempuan, di antara mereka ada yang menjadi sangat dekat, seperti saudara kandung, seperti kakak. Saya akan bercerita tentang mereka, orang-orang yang membuat saya belajar banyak hal, sampai saat ini.

Adrian Jonathan Pasaribu – a brother I never have, adalah seorang kakak tingkat saya di kampus. Kami pertama kali bertemu lewat sebuah situs blog bernama multiply.com, saat itu saya sama sekali belum pernah bertemu dia secara langsung. Multiply sangat berjasa mempertemukan kami, tanpanya mungkin saya tidak akan pernah mengenal orang yang sudah saya anggap kakak sendiri ini, hahaha.

Saat itu memang banyak anak jurusan saya yang memiliki account Multiply, di sana kami berinteraksi dan saling mengunjungi blog, berbagi komentar, dan yang jelas: saling berkenalan lewat tulisan, yang kadang lebih jujur daripada perkenalan lisan.

Meskipun berisi banyak hal random, namun blog Adrian saat itu cukup menarik perhatian saya, mungkin karena saya banyak sepakat dengan cara dia melihat sesuatu. Satu tulisannya yang paling membuat saya kagum adalah tulisan yang berjudul “Bosan Hidup” (tulisan itu sekarang sudah tidak ada, karena blognya di Multiply pun sudah lama ia hapus. Sekarang ia fokus mengurusi Cinema Poetica). Dalam tulisannya itu ia melihat keputusasaan karena cinta sebagai sesuatu yang sia-sia, karena jika kita mau berpikir lebih terbuka, ada sangat banyak penderitaan lain yang mungkin lebih memprihatinkan – dan tidak menimpa kita. Waktu itu saya sampai mengopy-paste tulisan itu ke note Facebook dan mensharenya ke banyak teman. Setelah itu, kami saling memberikan komentar di blog, baik secara serius maupun bercanda :P.

Pertemuan pertama saya dengan dia adalah saat saya hendak meminjam buku, waktu itu kami bertemu di depan kantor jurusan – yang sekarang sudah hilang gedungnya :’(. Dari obrolan singkat tersebut ada satu hal yang paling saya ingat: saya merasa nyaman bicara dengannya, meskipun dia tahu lebih banyak, namun ia tidak pernah merendahkan lawan bicaranya, ia tidak mengintimidasi saya.

Kemudian, beberapa minggu setelah itu, saya mengobrol sangat panjang dengan dia lewat Yahoo! Messanger, dari malam sampai pagi! Saya ingat betul, saat itu kami membicarakan masalah hati – curhat, hahahaha. Saya bercerita banyak hal dan begitu juga sebaliknya, saat itu kami saling tercengang dengan kisah masing-masing dan pada akhirnya hanya bisa saling menghibur, hahahaha.

Ada satu pengalaman yang tidak pernah saya lupa. Waktu itu saya akan berulang tahun, dan sahabat saya, Novi, Didi dan Brian meminta Adrian untuk menulis surat misterius untuk diberikan pada saya secara sembunyi-sembunyi. Saat itu saya bingung, mengapa tiba-tiba di motor saya dan di sela-sela buku kuliah ada surat cinta. Ternyata itu hasil dari keisengan mereka -_- sampai sekarang surat-surat itu masih saya simpan dengan baik.

Semakin lama hubungan kami semakin dekat, obrolan demi obrolan terjadi, pertemuan-pertemuan, curhatan-curhatan, rahasia-rahasia, kami bahkan sempat bermain-main dengan relationship status di Facebook, ya kami berpacaran di Facebook – dan ada beberapa orang yang hampir percaya. Hahahaha! Ya, kedekatan kami terjadi begitu saja.

Bahkan saya bisa bertemu dan berkenalan dengan Makbul (baca Bicara Mantan) juga karena dia :) Sampai saya putus dengan Makbul pun, sikapnya tak berubah, ia tetap seorang kakak yang hangat, yang rela saya curhati dan hujani dengan air mata, yang betah melihat kegalauan saya, yang rela saya rampok film-filmnya, saya pinjam buku-bukunya :P

Sekarang, Adrian telah menyelesaikan kuliahnya dan akan segera di wisuda tanggal 19 Mei besok – tentu saja saya akan hadir :)). Setelah itu ia akan kembali ke Jakarta, dan saya sedih karenanya, sedih :’)

Monday, May 16, 2011

Intrapersonal

Hei
Pagi-pagi sudah sayu
Benar kata bintang-bintang,
Gemini tak bisa membedakan antara keyataan
dan ilusi

Ini hari ini
Bukan hari itu
Mengapa tak juga kau bangun dan berwudhu?
Bahwa semuanya takdir
Ya
semuanya takdir

Kau bisa mengutuki masa lalu sampai gila
Namun pada akhirnya tetap saja harus menerima

Sudah,
Bangun dan rela

Sunday, May 15, 2011

Ketika Mendung dan Hujan Bergandengan Tangan

Tak ada yang salah dengan mendung
ataupun hujan

Di sore yang mungkin sama seperti waktu itu,
aku melihat langit
yang kelabu seperti mau runtuh
Persis
saat cinta kita tak lagi utuh

Hujan kecil-kecil itu lebih menyedihkan
karena rintiknya pelan
perlahan
berhenti dengan lamban

Seperti menegaskan,
bahwa hatimu terluka
bahwa jiwamu dirundung melankolia

Kesedihan adalah benda yang tak bisa dibagi
seperti kehilangan, yang selamanya justru tak kan hilang

Saturday, May 14, 2011

Lompat!

Lompat!
!
!

Ada geram yang tertahan di tengah temaram
lampu pinggir kota
bawah jembatan
tak bertuan

Semogsa ini yang terakhir
bahwa kita diam namun saling menyimpan luka
bahwa kita tertawa namun sungguh ingin mengakhirinya

Kau egois
Ya, kau

Apa setengah dekade tak cukup jua?
Untungnya ini berakhir
Ya berakhir

Di tengah malam menjelang dini hari
Setidaknya kita tak berjumpa lagi hingga September
Atau tahun depan

Selamat jalan
Semoga kau tak kembali dengan wajah yang sama muram

Surat Dari Belanda

Ternyata kau baca juga
Kata
Kata
Yang kujajar rapi dalam lima seri
Tentang kita
Kau baca
Dan kau kirim balasnya

Jauh dari sana,
Groningen
Belanda

Dengan hati-hati kupastikan tak ada yang cecer
dalam perjalanan lewat kabel
Lalu aku yakin
Semua sampai
saat ada titik terduduk di akhir paragraf
Sendirian

Suratmu sampai
Tomo-san

Hypnotized Children

Wednesday, May 11, 2011

Apres le deluge, nous

buat J, pangeran kecilku

Selamat pagi, wajah yang selalu menari di pangkuan benakku
Hari ini aku bersyukur atas banyak hal:
Aku bersyukur atas pertemuan-pertemuan, yang membawa pada hubungan-hubungan
Aku bersyukur atas senyuman-senyuman, yang setidaknya menenangkan
Aku bersyukur atas pertengkaran-pertengkaran, yang menegaskan bahwa kita tidaklah ada dalam benakku saja
Tapi nyata
Kita

Karena amarah adalah istilah yang berakar dari cinta
Bukankah amarah adalah istilah yang berakar dari cinta?

Untuk itu aku lebih suka kita bertengkar,
Kita telah banyak sekali bertengkar
Dibandingkan diam
dan tenang
Namun bergejolak hebat yang tertahan
lalu meledak tiba-tiba
dan berakhir seketika

Aku lebih suka kita bertengkar,
dengan begitu aku tahu kita ada,
dan masih saling memberi cinta

Tuesday, May 10, 2011

The Unspoken (Bagian V – Selesai )


                Masa-masa awal tanpa Tomo merupakan masa-masa yang lesu bagi kami. Apalagi ditambah dengan berbagai masalah intern seperti kedisiplinann waktu saat latihan maupun manggung, skala prioritas dengan berbagai kesibukan yang lain, serta sedikit perdebatan tentang arah yang ingin dituju: aliran musik, segmen, gol dan sebagainya. Secara personal saya merasa jenuh dengan format Top 40 karena saya merasa kami menjadi tidak memiliki ciri. Selain itu, jika memang ingin mengukuhkan diri sebagai band festival, rasanya kok masih jauh dari standart, mengikuti festival-festival kecil saja kami jarang, apalagi event besar yang menjadi patokan kualitas band-band indie di Indonesia seperti L.A Indiefest, sama sekali tidak ada keinginan dan kemampuan untuk ke sana.

                Ditengah-tengah kondisi seperti itu, tiba-tiba Tomo mengontak saya dan mengajak bergabung dengan band barunya bersama teman-teman sekelasnya saat kelas 2 dulu – meskipun hanya sekedar band pengisi waktu luang, bukan band yang sangat serius, saya pun mau. Ternyata di sana juga ada Prima, dan ternyata lagi, aliran musik band ini adalah Japanese Music, tambah bersoraklah saya!

                Apa yang saya rasakan di band bernama Sapi Berkibar (Satuan Pemuda Indonesia Berkibar) ini benar-benar sesuatu yang fresh dan menyenangkan. Karena atmosfernya sangat santai namun arahnya jelas, saya jadi lebih optimis dengan band ini. Dengan kemampuan bermusik Tomo yang oke punya, kami berhasil menciptakan tiga lagu, meskipun hanya satu lagu yang selesai sampai ke penulisan liriknya – saya yang membuat lirik lagunya. Itu pertama kalinya saya diberi kepercayaan begitu besar dalam band, dan saya merasa sangat bahagia mampu menyempurnakan sebuah lagu yang kami ciptakan bersama-sama.

Berbeda dengan apa yang saya rasakan di Get Wet, meskipun saya berusaha tidak mempermasalahkannya, namun faktor adanya dua orang vokalis yang sama-sama superior dalam satu band sebenarnya merupakan bencana. Ya, ada sangat banyak momen di mana saya merasa tidak berguna berada di sana, karena toh sudah ada Kiki yang jauh lebih baik dari saya. Saya lebih sering merasa sebagai backing vokal saja. Perasaan ini muncul bukan semata-mata karena sentimen pribadi, namun turut diperkuat dengan fakta bahwa dalam mengambil berbagai keputusan, semua cenderung depends on Kiki.

Sebuah contoh, saat ingin mengcover lagu, penentuan nada dasar apa yang akan digunakan menyesuaikan dengan karakter vokal Kiki yang alto, padahal saya memiliki suara meso-sopran, sehingga saya yang lebih sering memaksakan diri menyanyi dengan nanda dasar yang rendah, akibatnya suara saya tenggelam dan saya tidak dapat menyanyi dengan maksimal. Contoh lain adalah pemilihan lagu dan pembagian vokal. Kalau pemilihan lagu jelas, saya tidak terlalu peduli, toh kami adalah band Top 40 yang menyesuaikan pasar. Namun saya lebih merasa terduakan ketika sampai pada pembagian vokal. Sepanjang lima tahun ini, saya sangat jarang berada pada awal lagu, dan dulu, dulu sekali, saya malah mendapatkan jatah lebih sedikit dibandingkan Kiki, sampai-sampai saya merasa bahwa tanpa saya pun, tidak akan ada pengaruhnya terlalu besar. Namun pada akhirnya saya menyimpan semua itu dan tetap berjalan seperti biasa, saya justru melepaskannya sama sekali, dengan kata lain, saya tidak terlalu peduli lagi, yang penting saya ada meskipun hanya sebagai faktor pelengkap.

Seiring berjalannya waktu, kami mendapat personil baru bernama Kiko, ia seorang gitaris. Jadi formasi kami agak berubah, Dody yang tadinya ada di gitar, pindah menjadi keyboardist. Secara aliran, kami menjadi mengarah ke J-Music, selain karena “kampanye” yang saya lakukan secara kontinyu, ternyata Kiko juga penyuka musik Jepang, jadilah saya memiliki teman sehati! Hahaha… Festival-festival musik Jepang pun kami jajal, dan hasilnya tak terlalu mengecewakan namun juga tidak memuaskan: kami selalu berada di peringkat nanggung, misalnya peringkat empat saat yang diambil juara hanya tiga, dan sebagainya. Sungguh menyebalkan bukan?

Sejauh itu semuanya tampak lancar dan kembali hidup, namun ternyata saya salah. Satu hal yang baru saya sadari sekarang adalah, kami tidak pernah benar-benar bicara. Kami bertemu hanya pada saat latihan ataupun membahas rencana manggung atau lomba, di luar itu, bahkan smsan pun kmai jarang. Hubungan kami seolah-olah erat, namun selama lima tahun bersama, mungkin momen-momen santai yang mendekatkan kami hanya dapat dihitung dengan jari. Sangat jarang kami mengobrol santai dan spontan, janjian, makan bersama, jalan-jalan, atau apapun itu. Smeua itulah yang membuat hati kami tidak saling terhubung, dan semua ganjalan-ganjalan yang ada di antara kami tidak pernah keluar dan tersampaikan. Kami tidak pernah belajar apapun. Kami layaknya robot yang menjalankan jobdesk dan bubar begitu tugas selesai.

Inilah yang saya sayangkan dari lima tahun kebersamaan kami. Kami asing stau sama lain. Dan bulan April lalu, setelah kami menyelesaikan rekaman satu lagu ciptaan kami untuk sebuah album kompilasi band-band Japanese Music di Jogja, kami memutuskan untuk vakum. Sayang memang, namun selain karena faktor kesibukan masing-masing yang menyebabkan kami jarang bisa tampil dengan personil lengkap, mungkin kami juga perlu merenungi kembali semua yang telah kami jalani.

Namun di luar semua permasalahan yang ada, dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya mencintai band ini dan orang-orang di dalamnya, meskipun kita tidak pernah benar-benar bicara, meskipun kita tak pernah benar-benar merasa saling terikat dan dekat, tapi saya telah berbagi banyak momen yang membahagiakan dan yang membuat saya terus belajar. Sekali lagi, untuk Tomo, Yona, Dody, Prima, Kiki, dan Kiki, saya menyayangi kalian, sampai jumpa lagi pada saat yang tepat untuk kembali bermusik, dan semoga kita sudah lebih dewasa dalam hal emosi dan empati :’)

Monday, May 9, 2011

The Unspoken (Bagian IV)

                Tanpa terasa, kami berada di penghujung masa-masa SMA. Ujian masuk universitas, Ujian Nasional, Ujian Sekolah kami lewati begitu saja, saat itu semua berakhir, barulah kami menyadari: akankah perpisahan tiba? Pengumuman ujian masuk universitas pun tiba, saya diterima di jurusan pilihan saya, Komunikasi UGM, Prima pun demikian, berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan di Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Tomo masuk Fakultas Ekonomi Internasional Class UGM lewat jalur kerjasama, Dody tidak berhasil masuk UGM, namun diterima Fakultas Ekonomi International Class di UII, Yona memang tidak bermaksud masuk UGM, ia diterima di Jurusan SI UKDW. Sedangkan Kiki, ia tidak berhasil menembus jurusan yang sama dengan saya – jurusan yang juga ia inginkan: Komunikasi UGM.

               Semenjak pengumuman itu, Kiki menghilang. Ia tidak dapat dihubungi, nomor hapenya tidak aktif, dan rumahnya selalu tampak tertutup. Padahal, pada saat itu, kami sedang sibuk latihan untuk sebuah event yang sudah kami sanggupi sebelumnya. Dan di tengah-tengah itu, Tomo menyatakan ingin keluar, setelah event internal sekolah, English Night 2008 yang digelar pada bulan Mei. Sungguh suasana yang tidak nyaman, tapi kami tak bisa berbuat apapun, itu hak tiap personil, apalagi alasan Tomo saat itu adalah ketidakcocokan dengan aliran musik – walaupun saya tahu, ia menyembunyikan alasan yang sebenarnya. Sangat disayangkan, saya sedih sekali waktu itu.

                Dalam ketidakjelasan yang ada, saya sempat berfikir bahwa apakah ini memang saatnya untuk berakhir? Jujur saja saya kehilangan separuh semangat saya ketika tahu bahwa mungkin ini akan menjadi penampilan lengkap kami yang terakhir. Saat itu Kiki tidak tahu jika Tomo berencana resign, ya, bagaimana kami bisa memberi kabar kalau ia sengaja menutup diri dan menghilang? Jujur pada saat itu saya kesal, bagaimana bisa ia selabil ini. Saya mengerti, gagal dalam ujian masuk universitas itu memang berat – saya pun takut setengah mati pada saat itu, namun bukankah masih ada kesempatan kedua yang terbuka lebar, yaitu SNMPTN? Mengapa ia tak berfikir positif dan berusaha bangkit? Dan mengapa pula ia mengurung diri terlalu lama dan tidak membiarkan kami menyemangatinya?

                Usai penampilan lengkap kami yang terakhir pada English Night Mei 2008, barulah kami memberitahu Kiki tentang keputusan Tomo, ia terkejut dan bertanya mengapa kami baru memberitahunya saat itu. Saya pun kesal dan meminta ia berkaca, apa yang ia lakukan beberapa waktu terakhir? Menghilang dari muka bumi.

                Usai keluarnya Tomo, saya merasakan ketimpangan yang cukup besar dalam band, bagaimana musik-musik kami menjadi begitu sepi tanpa nada-nada dari keyboardnya, bagaimana kami menjadi canggung satu sama lain, disorientasi. Namun pada masa-masa itu kami tetap bermusik dan masih rajin mengisi berbagai acara di Yogyakarta, baik yang dibayar maupun yang atas nama teman. Ya, kami masih ingin berjalan meski dengan kepincangan.

Bersambung….

Sunday, May 8, 2011

The Unspoken (Bagian III)

                Akhirnya, hari H pun semakin dekat. Saat itu kami belum memiliki nama. Lalu saya mengusulkan nama Get Wet, karena setiap kami latihan pasti turun hujan, tak jarang kami basah kuyup sampai di studio dan latihan dalam kondisi seperti itu. Maka diputuskanlah nama itu, sama sekali tidak ada pikiran negatif seperti yang kerap disangka orang (-_-).

                Hari H acara Porsenitas. Band kami diberikan slot waktu tampil nomor 2 atau 3, karena kami masih dianggap cupu oleh senior-senior kami. Saat itu saya, Prima, Kiki, Dody dan Tomo sudah siap di kelas, namun Yona tak juga datang. Tiba-tiba seorang senior masuk ke kelas dan bertanya “Mana ini Get Wet Band?” Lalu saat kami menjawab ia justru mencibir “Wah, ini sih bukan grup band tapi kelompok belajar!” ucapnya. Kami pun saling berpandangan satu sama lain. Apa maksudnya coba? Mungkin ia berkata seperti itu karena secara fisik kami memang tidak gahar seperti layaknya pemain band, ya kami cupu dan lugu layaknya murid pintar yang rajin belajar.

                Begitu Yona datang, hujan turun makin deras, lalu kami pun tampil. Hentakan pertama pada intro lagu “Jesus Of Suburbia” yang kami mainkan mampu menarik perhatian sebagian besar audiens yang tadinya lebih asyik menonton pertandingan voli di halaman depan Joglo – tempat kami tampil. Kemudian orang-orang semakin banyak yang melihat ke arah Joglo, mungkin penasaran, siapa band yang nekat membawakan lagu sulit seperti itu, dan hey! Inilah kami, kelompok belajar! Hahahaha….

                Usai lagu, riuh suara tepuk tangan penonton mampu menyaingi suara hujan yang makin lebat. Ya, overall kami berhasil membawakan lagu itu dengan tidak memalukan. Sejak saat itulah perjalanan panjang Get Wet Band yang awalnya hanya proyek iseng-iseng dimulai.

                Get Wet juga mampu menarik perhatian para guru, sehingga jika ada lomba mewakili sekolah, seringkali kami yang ditunjuk untuk maju, tak jarang kami menang, namun tak jarang pula kami disangka supporter oleh panitia – karena penampilan kami yang sederhana. Demikian juga sebagai band intern pengisi acara Pentas Seni maupun English Night. Dan kami menjalani saja semua itu dengan mengalir, tak pernah ada pembicaraan serius tentang visi maupun misi ke depannya, tujuan, manajemen, dan sebagainya. Kami hanya menjalaninya sebagai band Top 40 yang menyesuaikan diri pada tiap event. Lalu bagaimana konflik-konflik tercipta? Tunggu postingan berikutnya :P

Saturday, May 7, 2011

The Unspoken (Bagian II)

                Dugaan saya terbukti. Band SMP saya itu ya hanya manggung untuk pertama dan terakhir kali sekaligus. Hahahaha :D . Memasuki SMA, saya sama sekali tidak merencanakan untuk kembali membentuk band, selain karena tidak yakin akan menemukan orang-orang yang cocok dan beraliran musik sama dengan saya, saya juga tidak memiliki alasan untuk membentuk sebuah band. Sampai pada suatu ketika, SMA saya hendak menggelar acara Pekan Olahraga, Seni dan Kreatifitas (Porsenitas).

Waktu itu bulan Maret 2006, dan entah kenapa saya dan teman-teman satu lingkaran saya saat itu tiba-tiba ingin ikut tampil, lalu jadilah kami membentuk band “asal-asalan” untuk menjadi perwakilan kelas dalam Porsenitas. Waktu itu di kelas kami ada Dody yang bisa gitar, Prima bisa gitar namun ia memang memutuskan untuk belajar bass. Kemudian saya sendiri di vokal, namun tidak sendirian karena ada Kiki yang memang sudah sering mengikuti kompetisi menyanyi sejak kecil – tidak seperti saya yang masih nol besar. Kemudian kami kebingungan mencari drummer dan gitaris satu lagi. Saat itulah Prima mengusulkan nama Yona, anak kelas sebelah yang merupakan teman SDnya, kemudian untuk mengimbangi formasi, kami memutuskan untuk mengajak Bimo, teman sekelas Yona sebagai gitaris dua.

Kamipun menggelar latihan pertama di studio musik milik orangtua Yona, BTP Music Studio. Saat itu Bimo tidak bisa ikut, akhirnya kami latihan berlima saja. Awal-awal latihan sungguh terasa aneh, kami lebih banyak bercanda daripada latihan. Yona sangat pendiam, apalagi ia adalah satu-satunya personil yang berbeda kelas dengan saya, Dody, Prima dan Kiki.

Latihan berikutnya entah kenapa Bimo tetap tidak bisa ikut dan tidak juga memberi kabar yang pasti, akhirnya kami memutuskan untuk mencari pengganti Bimo yang tampaknya angin-anginan ini. Secara kebetulan kami malah mengetahui bahwa teman sekelas kami yang bernama Tomo bisa memainkan keyboard dan gitar. Jadilah Tomo bergabung.

Latihan demi latihan kami jalani, waktu itu tanpa banyak berdebat kami semua sepakat untuk menggarap lagu “Jesus Of Suburbia” milik Greenday yang saat itu sedang populer. Lagu berdurasi kurang lebih 9 menit sebenarnya bukanlah pilihan tepat untuk sebuah band yang masih seumur jagung, apalagi itu Greenday! Toh kami nekat saja, hahaha :D Prinsip kami saat itu, jika ingin mengawali sesuatu, awalilah dengan gebrakan, yang nekat sekalipun. Lalu bagaimana kelanjutannya? Nantikan postingan berikutnya yaaaa…. ;D