Tuesday, May 10, 2011

The Unspoken (Bagian V – Selesai )


                Masa-masa awal tanpa Tomo merupakan masa-masa yang lesu bagi kami. Apalagi ditambah dengan berbagai masalah intern seperti kedisiplinann waktu saat latihan maupun manggung, skala prioritas dengan berbagai kesibukan yang lain, serta sedikit perdebatan tentang arah yang ingin dituju: aliran musik, segmen, gol dan sebagainya. Secara personal saya merasa jenuh dengan format Top 40 karena saya merasa kami menjadi tidak memiliki ciri. Selain itu, jika memang ingin mengukuhkan diri sebagai band festival, rasanya kok masih jauh dari standart, mengikuti festival-festival kecil saja kami jarang, apalagi event besar yang menjadi patokan kualitas band-band indie di Indonesia seperti L.A Indiefest, sama sekali tidak ada keinginan dan kemampuan untuk ke sana.

                Ditengah-tengah kondisi seperti itu, tiba-tiba Tomo mengontak saya dan mengajak bergabung dengan band barunya bersama teman-teman sekelasnya saat kelas 2 dulu – meskipun hanya sekedar band pengisi waktu luang, bukan band yang sangat serius, saya pun mau. Ternyata di sana juga ada Prima, dan ternyata lagi, aliran musik band ini adalah Japanese Music, tambah bersoraklah saya!

                Apa yang saya rasakan di band bernama Sapi Berkibar (Satuan Pemuda Indonesia Berkibar) ini benar-benar sesuatu yang fresh dan menyenangkan. Karena atmosfernya sangat santai namun arahnya jelas, saya jadi lebih optimis dengan band ini. Dengan kemampuan bermusik Tomo yang oke punya, kami berhasil menciptakan tiga lagu, meskipun hanya satu lagu yang selesai sampai ke penulisan liriknya – saya yang membuat lirik lagunya. Itu pertama kalinya saya diberi kepercayaan begitu besar dalam band, dan saya merasa sangat bahagia mampu menyempurnakan sebuah lagu yang kami ciptakan bersama-sama.

Berbeda dengan apa yang saya rasakan di Get Wet, meskipun saya berusaha tidak mempermasalahkannya, namun faktor adanya dua orang vokalis yang sama-sama superior dalam satu band sebenarnya merupakan bencana. Ya, ada sangat banyak momen di mana saya merasa tidak berguna berada di sana, karena toh sudah ada Kiki yang jauh lebih baik dari saya. Saya lebih sering merasa sebagai backing vokal saja. Perasaan ini muncul bukan semata-mata karena sentimen pribadi, namun turut diperkuat dengan fakta bahwa dalam mengambil berbagai keputusan, semua cenderung depends on Kiki.

Sebuah contoh, saat ingin mengcover lagu, penentuan nada dasar apa yang akan digunakan menyesuaikan dengan karakter vokal Kiki yang alto, padahal saya memiliki suara meso-sopran, sehingga saya yang lebih sering memaksakan diri menyanyi dengan nanda dasar yang rendah, akibatnya suara saya tenggelam dan saya tidak dapat menyanyi dengan maksimal. Contoh lain adalah pemilihan lagu dan pembagian vokal. Kalau pemilihan lagu jelas, saya tidak terlalu peduli, toh kami adalah band Top 40 yang menyesuaikan pasar. Namun saya lebih merasa terduakan ketika sampai pada pembagian vokal. Sepanjang lima tahun ini, saya sangat jarang berada pada awal lagu, dan dulu, dulu sekali, saya malah mendapatkan jatah lebih sedikit dibandingkan Kiki, sampai-sampai saya merasa bahwa tanpa saya pun, tidak akan ada pengaruhnya terlalu besar. Namun pada akhirnya saya menyimpan semua itu dan tetap berjalan seperti biasa, saya justru melepaskannya sama sekali, dengan kata lain, saya tidak terlalu peduli lagi, yang penting saya ada meskipun hanya sebagai faktor pelengkap.

Seiring berjalannya waktu, kami mendapat personil baru bernama Kiko, ia seorang gitaris. Jadi formasi kami agak berubah, Dody yang tadinya ada di gitar, pindah menjadi keyboardist. Secara aliran, kami menjadi mengarah ke J-Music, selain karena “kampanye” yang saya lakukan secara kontinyu, ternyata Kiko juga penyuka musik Jepang, jadilah saya memiliki teman sehati! Hahaha… Festival-festival musik Jepang pun kami jajal, dan hasilnya tak terlalu mengecewakan namun juga tidak memuaskan: kami selalu berada di peringkat nanggung, misalnya peringkat empat saat yang diambil juara hanya tiga, dan sebagainya. Sungguh menyebalkan bukan?

Sejauh itu semuanya tampak lancar dan kembali hidup, namun ternyata saya salah. Satu hal yang baru saya sadari sekarang adalah, kami tidak pernah benar-benar bicara. Kami bertemu hanya pada saat latihan ataupun membahas rencana manggung atau lomba, di luar itu, bahkan smsan pun kmai jarang. Hubungan kami seolah-olah erat, namun selama lima tahun bersama, mungkin momen-momen santai yang mendekatkan kami hanya dapat dihitung dengan jari. Sangat jarang kami mengobrol santai dan spontan, janjian, makan bersama, jalan-jalan, atau apapun itu. Smeua itulah yang membuat hati kami tidak saling terhubung, dan semua ganjalan-ganjalan yang ada di antara kami tidak pernah keluar dan tersampaikan. Kami tidak pernah belajar apapun. Kami layaknya robot yang menjalankan jobdesk dan bubar begitu tugas selesai.

Inilah yang saya sayangkan dari lima tahun kebersamaan kami. Kami asing stau sama lain. Dan bulan April lalu, setelah kami menyelesaikan rekaman satu lagu ciptaan kami untuk sebuah album kompilasi band-band Japanese Music di Jogja, kami memutuskan untuk vakum. Sayang memang, namun selain karena faktor kesibukan masing-masing yang menyebabkan kami jarang bisa tampil dengan personil lengkap, mungkin kami juga perlu merenungi kembali semua yang telah kami jalani.

Namun di luar semua permasalahan yang ada, dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya mencintai band ini dan orang-orang di dalamnya, meskipun kita tidak pernah benar-benar bicara, meskipun kita tak pernah benar-benar merasa saling terikat dan dekat, tapi saya telah berbagi banyak momen yang membahagiakan dan yang membuat saya terus belajar. Sekali lagi, untuk Tomo, Yona, Dody, Prima, Kiki, dan Kiki, saya menyayangi kalian, sampai jumpa lagi pada saat yang tepat untuk kembali bermusik, dan semoga kita sudah lebih dewasa dalam hal emosi dan empati :’)

No comments:

Post a Comment