Saturday, May 5, 2012

Harga Sebuah Sapaan Di Minimarket

Beberapa waktu lalu saya pergi sebuah minimarket franchise. Sebelum masuk ke dalam, saya sempat terpaku  sejenak di depan pintu masuknya. Di sana ada selembar poster promosi yang kira-kira bertuliskan begini:

    “Dapatkan 2 bungkus mie instan gratis! Jika anda tidak mendapat sapaan dari pegawai kami.”

Saya hanya tersenyum tipis ketika membaca tulisan tersebut, kemudian saya masuk ke dalam toko. Tidak seperti yang saya duga, ternyata kalimat sapaan yang saat ini telah menjadi tren di berbagai tempat jual beli itu tidak terdengar ketika saya masuk, tidak ada sapaan untuk saya. Para pegawai yang ada di sana sedang menata barang-barang. Kemudian saya segera mencari apa yang saya butuhkan, dan pikiran usil saya mulai muncul. Saya membayangkan apa yang akan terjadi jika nanti saya mengklaim tulisan pada poster tersebut, iseng saja, sekadar ngetes, tak ada niat lain.

Sambil memilih-milih barang yang hendak saya beli, saya masih memikirkan tentang poster tadi. Saya sungguh heran dengan jenis promosi semacam itu. Kesannnya sangat tidak empiris, bagaimana cara pembeli mengklaimnya? Dari sisi pembeli, promosi ini jelas hanya akan dianggap main-main, seperti yang saya pikirkan tadi. Memangnya ada berapa orang yang rela mendapatkan predikat nggeragas dengan mengklaim promosi tersebut, hanya demi dua bungkus mie instan gratis? Dan dari sisi pegawai, jika ada pelanggan yang mengklaim promosi tersebut, besar kemungkinan mereka tak akan menolak untuk memberikan hadiah yang dijanjikan. Tentu saja hal ini mereka lakukan dalam rangka menghindari konfrontasi dengan pelanggan, yang akan berbuntut teguran dari atasan mereka. Namun siapa yang bisa menjamin, bahwasanya hadiah tersebut memang berasal dari toko tersebut dan sudah dianggarkan? Siapa yang bisa menjamin bahwa sistem tersebut sebenarnya hanya akan menguntungkan pemilik toko, apapun yang terjadi?

Saya membayangkan, hadiah yang dijanjikan dalam promosi tersebut—dua bungkus mie instan—merupakan tanggungan pegawai, bukan toko. Jadi, siapapun yang sedang berjaga saat itu dan membuat kesalahan—dengan tidak menyapa pembeli, kemudian pembeli tersebut mengklaimnya, maka ia yang harus membeli dua bungkus mie instan tersebut kemudian memberikannya pada pembeli yang mengklaim. Masuk akal? Tentu saja. Dengan demikian, si pemilik toko tidak akan mengalami kerugian apapun. Ketika pegawainya lupa memberi salam pada pelanggan, ia akan mendapat keuntungan dari dua bungkus mie instan yang dibeli pegawainya sekaligus pencitraan bagi tokonya yang terkesan memberikan service pada pembeli. Di sisi lain, ketika pegawainya tidak ada yang alpa memberikan sapaan, ia pun mendapat keuntungan yang nyaris sama: pembeli akan merasa dihargai. Ketika saya membicarakan hal ini dengan pacar saya, ia membayangkan jika kelak kami memiliki toko, mungkin kami akan membuat sebuah promosi seperti ini:

“Dapatkan sebungkus coklat jika anda berterimakasih pada pegawai kami! Tentu saja coklat tersebut telah masuk anggaran hadiah dan tidak kadaluarsa. Mari kita budayakan mengucapkan terima kasih pada siapapun!”

Akhirnya saya selesai memilih barang-barang yang akan saya beli, kemudian saya berjalan menuju kasir. Saya membayar belanjaan saya sambil tersenyum simpul tanpa mengucapkan apapun. Anggap saja saya baru ingat bahwa saya harus mengurangi konsumsi mie instan, apalagi mie instan yang mungkin berasal dari hak orang lain :)

No comments:

Post a Comment