Monday, May 14, 2012

Karena Setiap Orang adalah Perpustakaan bagi Orang Lain

 “There is no frigate like a book to takes us lands away...” Kutipan puisi Emily Dickinson yang dalam Bahasa Indonesia kurang-lebih bermakna “Tak ada bahtera sebaik buku, untuk melayarkan kita ke segenap penjuru...” tersebut kiranya dapat mewakili semangat Literati, sebuah perpustakaan komunitas di Yogyakarta yang didirikan oleh sekelompok mahasiswa pada Maret 2011 lalu. Literati meyakini bahwa setiap orang adalah perpustakaan bagi orang lain. Dengan demikian, menggalakkan budaya baca dan diskusi merupakan cara yang ditempuh Literati untuk mengamalkan visi share of knowledge. Lokasi yang masih menumpang serta biaya operasional yang harus ditanggung bersama, tanpa pembiayaan dari pihak luar, tak menyurutkan semangat mereka untuk tetap berbagi ilmu pengetahuan.
 
Tampak depan Perpustakaan Literati
Sekilas bangunan yang terletak di Perumahan Bima Kencana No. 2 Condong Catur itu terlihat seperti rumah biasa. Yang membedakannya dari rumah-rumah di sekitarnya hanyalah sebuah papan nama kecil yang terbuat dari lempengan plat kendaraan bermotor bertuliskan “LITERATI”. Setelah masuk ke dalam, barulah kita dapat mengenalinya sebagai sebuah perpustakaan, di mana terdapat buku-buku yang berjajar dalam rak kayu, beberapa poster dan kutipan buku pada dinding, serta dua meja besar dengan sejumlah kursi untuk berdiskusi.

Ruang utama Perpustakaan Literati
            Pada mulanya, Literati hanyalah sebuah ide sederhana yang lahir dari kegelisahan Adrian J. Pasaribu (Adrian) dan Windu W. Yusuf (Windu) akan memudarnya budaya baca dan diskusi di kalangan mahasiswa. Mereka merasakan itu, khususnya, pada lingkungan kampus tempat mereka kuliah, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (ISIPOL UGM). Hal ini tentu saja menjadi sebuah ironi, mengingat Fakultas ISIPOL selalu diidentikkan dengan budaya baca dan diskusi yang mengakar. Fenomena tersebut semakin menjadi-jadi karena minimnya koleksi buku-buku ilmu sosial yang bermutu di perpustakaan kampus maupun perpustakaan pemerintah. Kalaupun ada, biasanya akses terhadap buku-buku tersebut tidaklah mudah. Di sisi lain, Adrian dan Windu termasuk mahasiswa penyuka buku. Mereka sering pinjam-meminjam buku dan mendiskusikannya. Jika digabungkan, jumlah koleksi buku mereka bisa mencapai angka ribuan.
           Berangkat dari kegelisahan tersebut serta keinginan untuk berbagi ilmu pengetahuan kepada khalayak yang lebih luas, mereka pun melakukan langkah konkret untuk membuat perpustakaan publik, walaupun dengan modal seadanya. Pada perjalanannya, Adrian justru memiliki kesibukan lain yang lantas membuat ia tak bisa banyak membantu dalam hal teknis. Maka rencana ini pun lebih banyak dikerjakan oleh Windu, dibantu Oleg T. Widoyoko (Oleg), Ananditya Paradhi (Anan), serta Damar N. Sosodoro (Damar).
Dimulai pada akhir tahun 2009, tanpa mengetahui di mana nantinya perpustakaan itu akan ditempatkan, katalogisasi buku-buku sudah mulai dilakukan. Walaupun dengan cara yang sederhana dan belum sesuai dengan standar perpustakaan yang ada. “Waktu itu kami hanya berpikir pasti nanti ada caranya, kalaupun tidak dapat lokasi yang terjangkau, mungkin buku-buku itu akan tetap ditaruh di kos-kosan saya dan Adrian. Jadi perpustakaannya akan berupa jaringan individual, orang yang mau pinjam bisa menghubungi saya atau Adrian terlebih dulu, lalu janjian untuk ketemu. Pokoknya yang penting jalan dulu saja,” ujar Windu.

Ruang yang Menumpang
Pertengahan 2010, ketika proses katalogisasi yang memakan waktu nyaris setahun belum juga selesai, sebuah kabar gembira datang menghampiri mereka: ada tempat yang dapat dipinjam untuk dijadikan perpustakaan. Tempat itu adalah rumah milik Dr. Cornelis Lay, MA (alumnus Fakultas ISIPOL UGM) yang sebelumnya digunakan sebagai kantor Centre for Indonesia Risk Studies (CIRIS), namun lowong sejak tahun 2008 karena CIRIS pindah ke Jakarta.
Bulan Juni 2010, Literati yang masih separuh dikerjakan pun diboyong ke rumah baru tersebut. Walau demikian, sekali lagi langkah Literati untuk menjadi perpustakaan harus terhenti sejenak karena keempat pengurusnya memiliki kesibukan masing-masing yang tidak dapat ditinggalkan. “Waktu itu saya KKN, Windu baru saja meneruskan kuliahnya ke S2, Anan mengerjakan skripsi, dan Oleg sibuk dengan pekerjaannya. Jadi ya sama-sama nggak ada waktu,” kata Damar. Kemudian pada awal tahun 2011, barulah rencana pembentukan Literati mulai dilaksanakan kembali. Bersamaan dengan bergabungnya tiga orang pengurus baru yaitu Saila M. Rezcan (Saila), Dipa Raditya (Dipa) serta Merio Falindra (Merio), berbagai kekurangan yang ada pada sistem katalogisasi pun dibenahi. Begitu pula dengan manajemen lembaga yang masih belum jelas. Hingga tanggal 30 Maret 2011, Literati secara resmi dibuka untuk umum.
Yang membedakan Literati dengan perpustakaan lainnya adalah sistem kolektif buku yang mengusung prinsip share of knowledge. Di Literati, siapapun bisa “menitipkan” bukunya untuk dimasukkan dalam katalog, kemudian inisial si pemilik akan dibubuhkan pada label buku-buku yang “dititipkannya”. “Pemilik buku menentukan sendiri apakah nantinya buku-buku tersebut dapat dipinjam atau sekadar untuk dibaca di tempat.” tutur Anan. “Ada juga pilihan untuk sekadar memasukkan buku ke dalam katalog kami, namun buku tersebut tetap berada di rumah pemiliknya. Nanti kalau ada yang mau pinjam, kami akan menghubungkannya ke pemilik buku tersebut.” katanya lagi. “Dengan sistem seperti itu, semoga tercipta semangat diskusi dan berbagi di antara peminjam dan pemilik buku.” Oleg menambahkan.
Selain kegiatan yang terkait dengan perpustakaan, Literati juga giat mengadakan pemutaran film maupun diskusi, baik atas nama Literati sendiri, pun bekerjasama dengan lembaga lain. Hal ini sejalan dengan visinya sebagai ruang publik yang terbuka bagi siapa saja. Lembaga dan komunitas yang pernah bekerjasama dengan Literati di antaranya Cinema Poetica (website kritik film yang didirikan oleh Adrian), Kenyang Bego (website kritik makanan), Cephas Photo Forum (forum diskusi fotografi), serta Forum Diskusi Buku Daftar Pustaka (selanjutnya disebut Daftpust) yang bahkan telah rutin menggelar diskusinya setiap bulan di Literati.

Konflik Internal
Sebagaimana lembaga dan komunitas pada umumnya, Literati tentu saja tak lepas begitu saja dari konflik-konflik internal. Mulai dari perbedaan pada hal-hal remeh hingga pada tataran yang lebih esensial, seperti perbedaan cara berpikir. Semua ini memiliki potensi untuk menimbulkan gesekan-gesekan yang berbuntut panjang. Ada masanya ketika atmosfer di Literati menjadi sangat tidak sehat. Pada Desember 2011, muncul konflik-konflik antarpribadi yang tidak diselesaikan dengan baik, sehingga justru menciptakan kebiasaan menggunjing yang semakin memperburuk suasana. Saat itu fungsi struktural tidak berjalan sebagaimana mestinya serta beberapa fasilitas mengalami kerusakan dan membutuhkan banyak biaya untuk memperbaikinya. Belum lagi para pengurus sibuk dengan urusannya masing-masing dan seolah-olah telah kehabisan tenaga. Literati berada dalam masa genting.
            Memasuki Bulan Januari 2012, permasalahan tersebut semakin meradang. Beberapa cara ditempuh untuk menyelesaikannya, mulai dari dialog empat mata hingga forum besar pengurus pada tanggal 4 Januari yang lantas tidak hanya mengevaluasi masalah-masalah antarpribadi namun juga membicarakan berbagai kendala terkait dengan Literati sebagai sebuah lembaga.
           Dari forum tersebut akhirnya terkuak suatu permasalahan yang mendesak di luar konflik antarpribadi, yaitu perlunya pembenahan sistem kerja, baik kepustakaan maupun programming, supaya masing-masing pengurus tidak kehabisan tenaga. Salah satunya dengan pengurangan jam buka perpustakaan dan pembagian tanggung jawab yang lebih jelas. “Awalnya kami buka dari Senin-Sabtu pukul 09.00-15.00 (istirahat 12.00-13.00) dan 15.00-21.00 (istirahat 18.00-19.00), kemudian per Juli 2011 kami kurangi menjadi Senin-Jumat dengan jam yang sama. Ternyata itu masih terlalu menguras tenaga. Maka per Januari 2012 kami menguranginya lagi menjadi Senin-Jumat pukul 12.00-16.00 dan 16.00-21.00,” Damar menjelaskan.
Selain itu ada pula perubahan mengenai biaya pendaftaran yang semula Rp 5.000 menjadi Rp 20.000 per orang, untuk masa berlaku seumur hidup. Keputusan ini diambil sebagai jalan tengah antara persoalan biaya operasional yang tidak tertutupi dan keinginan untuk tidak memberatkan calon anggota. “Kami rasa biaya pendaftaran sejumlah itu relatif lebih terjangkau dibandingkan dengan beberapa perpustakaan lain di Yogyakarta.” kata Dipa. “Bayangkan saja, kami harus memikirkan banyak hal sekaligus, mencari pekerjaan sampingan untuk menutupi biaya operasional tiap bulan, jaga perpus, dan mengurusi program-program. Padahal kami juga punya kesibukan di kampus. Tentu saja itu membuat kami kehabisan tenaga sejak awal,” Merio menambahkan. Damar pun lantas menegaskan, dengan berbagai perubahan itu diharapkan para pengurusnya menjadi tidak terbebani dan tentu saja Literati menjadi konsisten serta bisa berumur lebih panjang.

Harapan
            Kini Literati hampir memasuki usia satu tahun, usia yang belum dapat dikatakan tua, namun juga tak lagi muda untuk lembaga sejenisnya. Anggotanya saat ini mencapai 95 orang serta telah banyak kegiatan yang digelar di sana. Di antaranya “Diskusi Terbuka: GERAKAN #OCCUPY DAN PROSPEKNYA DI INDONESIA”, “Bulan Generasi Beat: Pemutaran Film Beat dan Kelas Terbuka” bersama Daftpust, “JENDELA DUNIA: Program Pemutaran Film Juli 2011” bersama Cinema Poetica yang memutar film Biutiful (Alejandro Gonzalez Inarritu, 2010), In a Better World (Sussane Bier, 2010) dan Norwegian Wood (Tran Anh Hung, 2010). Kemudian “From the Garden of Culinary Romance”, sebuah pemutaran film tentang makanan dan budaya makan yang bekerjasama dengan Kenyang Bego dan Cinema Poetica, yang memutar film Eat Drink Man Woman (Ang Lee, 1994), The Cook The Thief His Wife & Her Lover (Peter Greenaway, 1989) serta Big Night (Campbell Scott & Stanley Tucci, 1996). “Kami tidak terlalu pusing memikirkan masa depan yang jauh, yang kami tahu saat ini kami melakukan apa yang kami bisa untuk selalu menghidupkan wacana, serta menggalakkan budaya baca dan diskusi, paling tidak di wilayah Yogyakarta yang erat dengan predikat Kota Pelajar ini,” kata Damar. “Dengan segala usaha yang kami lakukan ini, kalaupun nantinya Literati harus mati entah karena apa, tentu semangatnya akan tetap kami gaungkan lewat banyak cara lain,” katanya lagi. Apa yang dilakukan Literati hingga kini mungkin hanyalah hal-hal kecil. Tak ada pula jaminan ia akan berumur panjang. Namun bukankah dunia yang besar ini, pada dasarnya terangkai dari hal-hal kecil dan tidak pasti?

Diskusi buku Kematian: Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan
   karya Muhammad Damm, 24 Januari 2012
Pemutaran film dokumenter dan diskusi mengenai Pramoedya Ananta Toer
    bersama Forum Diskusi Buku Daftar Pustaka, 15 Maret 2011

Diskusi novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie bersama Forum Diskusi
Buku Daftar Pustaka, 30 Desember 2011

*Foto dan teks oleh Saila Rezcan
PS: Tulisan ini saya tulis untuk lomba penulisan Feature Journalight di Pekan Komunikasi UI 2012, namun tidak lolos :P

No comments:

Post a Comment