“There is no frigate like a book to takes us
lands away...” Kutipan puisi Emily Dickinson yang
dalam Bahasa Indonesia kurang-lebih bermakna “Tak ada bahtera sebaik buku,
untuk melayarkan kita ke segenap penjuru...” tersebut kiranya dapat mewakili
semangat Literati, sebuah perpustakaan komunitas di Yogyakarta yang didirikan
oleh sekelompok mahasiswa pada Maret 2011 lalu. Literati meyakini bahwa setiap
orang adalah perpustakaan bagi orang lain. Dengan demikian, menggalakkan budaya
baca dan diskusi merupakan cara yang ditempuh Literati untuk mengamalkan visi share of knowledge. Lokasi yang masih
menumpang serta biaya operasional yang harus ditanggung bersama, tanpa
pembiayaan dari pihak luar, tak menyurutkan semangat mereka untuk tetap berbagi
ilmu pengetahuan.
Tampak depan Perpustakaan Literati |
Sekilas bangunan yang terletak di
Perumahan Bima Kencana No. 2 Condong Catur itu terlihat seperti rumah biasa.
Yang membedakannya dari rumah-rumah di sekitarnya hanyalah sebuah papan nama
kecil yang terbuat dari lempengan plat kendaraan bermotor bertuliskan “LITERATI”.
Setelah masuk ke dalam, barulah kita dapat mengenalinya sebagai sebuah perpustakaan,
di mana terdapat buku-buku yang berjajar dalam rak kayu, beberapa poster dan
kutipan buku pada dinding, serta dua meja besar dengan sejumlah kursi untuk
berdiskusi.
Ruang utama Perpustakaan Literati |
Pada
mulanya, Literati hanyalah sebuah ide sederhana yang lahir dari kegelisahan
Adrian J. Pasaribu (Adrian) dan Windu W. Yusuf (Windu) akan memudarnya budaya
baca dan diskusi di kalangan mahasiswa. Mereka merasakan itu, khususnya, pada
lingkungan kampus tempat mereka kuliah, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada (ISIPOL UGM). Hal ini tentu saja menjadi sebuah ironi, mengingat
Fakultas ISIPOL selalu diidentikkan dengan budaya baca dan diskusi yang
mengakar. Fenomena tersebut semakin menjadi-jadi karena minimnya koleksi
buku-buku ilmu sosial yang bermutu di perpustakaan kampus maupun perpustakaan
pemerintah. Kalaupun ada, biasanya akses terhadap buku-buku tersebut tidaklah
mudah. Di sisi lain, Adrian dan Windu termasuk mahasiswa penyuka buku. Mereka sering
pinjam-meminjam buku dan mendiskusikannya. Jika digabungkan, jumlah koleksi
buku mereka bisa mencapai angka ribuan.
Berangkat
dari kegelisahan tersebut serta keinginan untuk berbagi ilmu pengetahuan kepada
khalayak yang lebih luas, mereka pun melakukan langkah konkret untuk membuat
perpustakaan publik, walaupun dengan modal seadanya. Pada perjalanannya, Adrian
justru memiliki kesibukan lain yang lantas membuat ia tak bisa banyak membantu
dalam hal teknis. Maka rencana ini pun lebih banyak dikerjakan oleh Windu,
dibantu Oleg T. Widoyoko (Oleg), Ananditya Paradhi (Anan), serta Damar N.
Sosodoro (Damar).
Dimulai pada akhir tahun 2009, tanpa
mengetahui di mana nantinya perpustakaan itu akan ditempatkan, katalogisasi buku-buku
sudah mulai dilakukan. Walaupun dengan cara yang sederhana dan belum sesuai
dengan standar perpustakaan yang ada. “Waktu itu kami hanya berpikir pasti
nanti ada caranya, kalaupun tidak dapat lokasi yang terjangkau, mungkin
buku-buku itu akan tetap ditaruh di kos-kosan saya dan Adrian. Jadi
perpustakaannya akan berupa jaringan individual, orang yang mau pinjam bisa
menghubungi saya atau Adrian terlebih dulu, lalu janjian untuk ketemu. Pokoknya
yang penting jalan dulu saja,” ujar Windu.
Ruang
yang Menumpang
Pertengahan 2010, ketika proses
katalogisasi yang memakan waktu nyaris setahun belum juga selesai, sebuah kabar
gembira datang menghampiri mereka: ada tempat yang dapat
dipinjam untuk dijadikan perpustakaan.
Tempat itu adalah rumah milik Dr. Cornelis Lay, MA (alumnus Fakultas ISIPOL UGM)
yang sebelumnya digunakan sebagai kantor Centre
for Indonesia Risk Studies (CIRIS), namun lowong sejak tahun 2008 karena
CIRIS pindah ke Jakarta.
Bulan Juni 2010, Literati yang masih
separuh dikerjakan pun diboyong ke
rumah baru tersebut. Walau demikian, sekali lagi langkah Literati untuk menjadi
perpustakaan harus terhenti sejenak karena keempat pengurusnya memiliki
kesibukan masing-masing yang tidak dapat ditinggalkan. “Waktu itu saya KKN,
Windu baru saja meneruskan kuliahnya ke S2, Anan mengerjakan skripsi, dan Oleg
sibuk dengan pekerjaannya. Jadi ya sama-sama nggak ada waktu,” kata Damar. Kemudian pada awal tahun
2011, barulah rencana pembentukan Literati mulai dilaksanakan kembali.
Bersamaan dengan bergabungnya tiga orang pengurus baru yaitu Saila M. Rezcan
(Saila), Dipa Raditya (Dipa) serta Merio Falindra (Merio), berbagai kekurangan
yang ada pada sistem katalogisasi pun dibenahi. Begitu pula dengan manajemen
lembaga yang masih belum jelas. Hingga tanggal 30 Maret 2011, Literati secara
resmi dibuka untuk umum.
Yang membedakan Literati dengan
perpustakaan lainnya adalah sistem kolektif buku yang mengusung prinsip share of knowledge. Di Literati, siapapun
bisa “menitipkan” bukunya untuk dimasukkan dalam katalog, kemudian inisial si
pemilik akan dibubuhkan pada label buku-buku yang “dititipkannya”. “Pemilik
buku menentukan sendiri apakah nantinya buku-buku tersebut dapat dipinjam atau
sekadar untuk dibaca di tempat.” tutur
Anan. “Ada juga pilihan untuk sekadar memasukkan buku ke dalam katalog kami, namun
buku tersebut tetap berada di rumah pemiliknya. Nanti kalau ada yang mau
pinjam, kami akan menghubungkannya ke pemilik buku tersebut.” katanya lagi. “Dengan
sistem seperti itu, semoga tercipta semangat diskusi dan berbagi di antara
peminjam dan pemilik buku.” Oleg
menambahkan.
Selain kegiatan yang terkait dengan perpustakaan,
Literati juga giat mengadakan pemutaran film maupun diskusi, baik atas nama Literati
sendiri, pun bekerjasama dengan lembaga lain. Hal ini sejalan dengan visinya
sebagai ruang publik yang terbuka bagi siapa saja. Lembaga dan komunitas yang
pernah bekerjasama dengan Literati di antaranya Cinema Poetica (website kritik film yang didirikan oleh
Adrian), Kenyang Bego (website kritik
makanan), Cephas Photo Forum (forum diskusi fotografi), serta Forum Diskusi
Buku Daftar Pustaka (selanjutnya disebut Daftpust) yang bahkan telah rutin
menggelar diskusinya setiap bulan di Literati.
Konflik
Internal
Sebagaimana lembaga dan komunitas pada
umumnya, Literati tentu saja tak lepas begitu saja dari konflik-konflik
internal. Mulai dari perbedaan pada hal-hal remeh hingga pada tataran yang
lebih esensial, seperti perbedaan cara berpikir. Semua ini memiliki potensi untuk
menimbulkan gesekan-gesekan yang berbuntut panjang. Ada masanya ketika atmosfer
di Literati menjadi sangat tidak sehat. Pada Desember 2011, muncul
konflik-konflik antarpribadi yang tidak diselesaikan dengan baik, sehingga
justru menciptakan kebiasaan menggunjing yang semakin memperburuk suasana. Saat
itu fungsi struktural tidak berjalan sebagaimana mestinya serta beberapa fasilitas
mengalami kerusakan dan membutuhkan banyak biaya untuk memperbaikinya. Belum
lagi para pengurus sibuk dengan urusannya masing-masing dan seolah-olah telah
kehabisan tenaga. Literati berada dalam masa genting.
Memasuki
Bulan Januari 2012, permasalahan tersebut semakin meradang. Beberapa cara ditempuh
untuk menyelesaikannya, mulai dari dialog empat mata hingga forum besar
pengurus pada tanggal 4 Januari yang lantas tidak hanya mengevaluasi
masalah-masalah antarpribadi namun juga membicarakan berbagai kendala terkait
dengan Literati sebagai sebuah lembaga.
Dari
forum tersebut akhirnya terkuak suatu permasalahan yang mendesak di luar
konflik antarpribadi, yaitu perlunya pembenahan sistem kerja, baik kepustakaan
maupun programming, supaya
masing-masing pengurus tidak kehabisan tenaga. Salah satunya dengan pengurangan
jam buka perpustakaan dan pembagian tanggung jawab yang lebih jelas. “Awalnya
kami buka dari Senin-Sabtu pukul 09.00-15.00 (istirahat 12.00-13.00) dan
15.00-21.00 (istirahat 18.00-19.00), kemudian per Juli 2011 kami kurangi
menjadi Senin-Jumat dengan jam yang sama. Ternyata itu masih terlalu menguras
tenaga. Maka per Januari 2012 kami menguranginya lagi menjadi Senin-Jumat pukul
12.00-16.00 dan 16.00-21.00,” Damar menjelaskan.
Selain itu ada pula perubahan mengenai
biaya pendaftaran yang semula Rp 5.000 menjadi Rp 20.000 per orang, untuk masa
berlaku seumur hidup. Keputusan ini diambil sebagai jalan tengah antara
persoalan biaya operasional yang tidak tertutupi dan keinginan untuk tidak
memberatkan calon anggota. “Kami rasa biaya pendaftaran sejumlah itu relatif
lebih terjangkau dibandingkan dengan beberapa perpustakaan lain di Yogyakarta.”
kata Dipa. “Bayangkan saja, kami harus memikirkan banyak hal sekaligus, mencari
pekerjaan sampingan untuk menutupi biaya operasional tiap bulan, jaga perpus,
dan mengurusi program-program. Padahal kami juga punya kesibukan di kampus.
Tentu saja itu membuat kami kehabisan tenaga sejak awal,” Merio menambahkan.
Damar pun lantas menegaskan, dengan berbagai perubahan itu diharapkan para pengurusnya
menjadi tidak terbebani dan tentu saja Literati menjadi konsisten serta bisa berumur
lebih panjang.
Harapan
Kini Literati hampir
memasuki usia satu tahun, usia yang belum dapat dikatakan tua, namun juga tak
lagi muda untuk lembaga sejenisnya. Anggotanya saat ini mencapai 95 orang serta
telah banyak kegiatan yang digelar di sana. Di antaranya “Diskusi Terbuka: GERAKAN
#OCCUPY DAN PROSPEKNYA DI INDONESIA”, “Bulan Generasi Beat: Pemutaran Film Beat
dan Kelas Terbuka” bersama Daftpust, “JENDELA DUNIA: Program Pemutaran Film
Juli 2011” bersama Cinema Poetica yang memutar film Biutiful (Alejandro Gonzalez Inarritu, 2010), In a Better World (Sussane Bier, 2010) dan Norwegian Wood (Tran Anh Hung, 2010). Kemudian “From the Garden of Culinary Romance”, sebuah pemutaran film
tentang makanan dan budaya makan yang bekerjasama dengan Kenyang Bego dan
Cinema Poetica, yang memutar film Eat
Drink Man Woman (Ang Lee, 1994), The
Cook The Thief His Wife & Her Lover (Peter Greenaway, 1989) serta Big Night (Campbell Scott & Stanley
Tucci, 1996). “Kami tidak terlalu pusing memikirkan masa depan yang jauh, yang
kami tahu saat ini kami melakukan apa yang kami bisa untuk selalu menghidupkan
wacana, serta menggalakkan budaya baca dan diskusi, paling tidak di wilayah
Yogyakarta yang erat dengan predikat Kota Pelajar ini,” kata Damar. “Dengan
segala usaha yang kami lakukan ini, kalaupun nantinya Literati harus mati entah
karena apa, tentu semangatnya akan tetap kami gaungkan lewat banyak cara lain,”
katanya lagi. Apa yang dilakukan Literati hingga kini mungkin hanyalah hal-hal
kecil. Tak ada pula jaminan ia akan berumur panjang. Namun bukankah dunia yang
besar ini, pada dasarnya terangkai dari hal-hal kecil dan tidak pasti?
Diskusi buku Kematian: Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan
karya Muhammad Damm, 24 Januari 2012
|
Pemutaran
film dokumenter dan diskusi mengenai Pramoedya Ananta Toer
bersama Forum Diskusi Buku Daftar Pustaka,
15 Maret 2011
|
Diskusi
novel The Satanic Verses karya Salman
Rushdie bersama Forum Diskusi
Buku Daftar Pustaka, 30
Desember 2011
|
*Foto dan teks oleh Saila Rezcan
PS: Tulisan ini saya tulis untuk lomba penulisan Feature Journalight di Pekan Komunikasi UI 2012, namun tidak lolos :P
No comments:
Post a Comment