Saya menemukan alamat tersebut di sebuah kuesioner yang saya entri datanya untuk sebuah penelitian. Dari sekian tumpuk kuesioner yang harus saya kerjakan tersebut, inilah satu-satunya hal menarik yang saya temukan. Terlepas dari nyata atau tidaknya alamat tersebut, saya jadi penasaran siapa yang memberinya nama dan bagaimana sejarah penamaan jalan dan gang tersebut.
Apakah ia menganggap kebahagiaan merupakan sesuatu yang lebih
besar daripada sengketa? Sehingga ia memilih “Bahagia” sebagai nama jalan yang
tentu saja lebih besar dibandingkan sebuah gang? Ataukah ia berpikir bahwa untuk
menjadi bahagia kita harus keluar dari gang sengketa untuk menemukan ruas jalan
yang lebih besar bernama kebahagiaan? Saya tidak tahu.
Mungkin saja dulunya di sana benar-benar pernah terjadi sebuah
sengketa yang besar dan mengerikan, sehingga nama gang dan jalan tersebut
seolah digunakan sebagai monumen untuk mengingatkan warga yang tinggal di
sekitarnya. Dan nama jalan itu, mungkin saja sebagai pengingat bahwa setelah
sengketa berakhir, mereka semua dapat merasakan kelegaan dan kebahagiaan.
Mungkin saja di sepanjang Jalan Bahagia itu terdapat ruas-ruas gang lain selain
Gang Sengketa. Mungkin saja gang-gang itu bernama Gang Galau, Gang Trauma, Gang
Luka, dan Gang Kehilangan. Mungkin saja untuk dapat benar-benar bahagia kita
perlu melewati gang-gang tersebut kemudian keluar menuju Jalan Bahagia. Ah,
tapi benarkah kita harus melakukannya? Benarkah manusia harus bahagia? Kenapa
ya manusia ingin bahagia? Saya jadi teringat penggalan sebuah puisi: “O pengetahuan, mengapa manusia/ ingin bahagia?” (Dea Anugrah, “Teringat Kuburan di Desa”).
No comments:
Post a Comment