“... Kepribadian bangsa bagiku adalah suatu proses yang lama dalam situasi tertentu, tapi dalam situasi lain itu dapat berubah.” (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 12 April 1962)
Rasanya pernyataan di atas sarat dengan keraguan dan sesuatu yang tidak pasti. Seolah-olah ia memang menjelaskan/mendefinisikan sesuatu—yaitu kepribadian bangsa, namun sebenarnya tidak ada satupun definisi pasti yang terdapat di dalamnya. Itulah Gie. Sosok yang penuh kecemasan dan kegelisahan, sosok yang terus mencari dan meragukan sesuatu, sosok yang tidak pernah berhenti pada satu titik statis.
Membaca buku Catatan Seorang Demonstran yang berisi tulisan-tulisannya semasa hidup serta melihat bagaimana seorang Riri Riza menginterpretasikan sosoknya ke dalam film Gie, saya merasa sejak awal dirinya sendiri pun merupakan suatu paradoks: nilai-nilai kemanusiaan, moralitas, kejujuran serta keberanian yang ada dalam dirinya didukung banyak orang, namun ketika ia hadir secara utuh sebagai seorang manusia lengkap dengan segala kemanusiaan-nya, tak pernah ada yang sama beraninya dengan dia untuk menerimanya. Mungkin pada akhirnya hal itu pulalah yang menjelaskan mengapa muncul istilah “Eagle flies alone”. Nampaknya orang seperti Gie memang harus rela kehilangan satu hal dalam hidupnya jika ia ingin terus mempertahankan apa yang ia yakini: kemanusiaan-nya sendiri. Sebagai manusia, ia tak pernah mendapat tempat—karena ia tak pernah berpihak pada kekuasaan, namun sebagai sebuah gagasan dan ide, ia banyak menggetarkan hati orang-orang—yang entah kemudian berani meneruskannya atau tidak.
Pertanyaannya, apakah dunia membutuhkan orang-orang seperti Gie? Orang-orang lurus yang melihat dunia dengan kacamata yang demikian hitam-putih, orang-orang yang sangat murni—dan cenderung naif? Jawaban versi saya: sebagai gagasan, ya. Masyarakat Indonesia saat ini tidak memiliki sosok seperti ini, yang ada hanyalah “orang-orang sekadar” yang sikapnya bergantung pada musim. Sekadar berdemo karena sedang banyak yang demo, sekadar berpendapat tanpa analisis yang kuat. Orang-orang yang berada di tengah, dalam arti yang negatif.
Semasa hidupnya, Gie tak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai seorang mahasiswa, cendekiawan. Gie lebih banyak bergerak melalui tulisan-tulisannya, mungkin itu karena ia sepakat dengan Pramoedya Ananta Toer: bahwa menulis akan membuatmu abadi. Namun mari kita lihat mahasiswa saat ini, seolah tak ada lagi sosok-sosok konsisten dan radikal yang mengkritik kekuasaan yang sewenang-wenang. Padahal saat ini justru kebebasan berpendapat sudah diraih. Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai universitas yang tertua di Indonesai pun tidak lagi melahirkan pemuda-pemuda yang demikian, namun justru sebaliknya: melahirkan kebijakan-kebijakan yang semakin membuat mahasiswanya melempem. Relasi antara pihak pemimpin universitas dan mahasiswa tidaklah lagi relasi yang saling membangun dan terbuka akan dialog-dialog, mahasiswa hanya dijadikan medium untuk membangun dirinya sendiri sebagai sebuah institusi. Hal ini terbukti dengan adanya visi teraneh di dunia, visi UGM, yang katanya hendak membentuk dirinya menjadi sebuah “World class university”.
Dari hal yang paling mendasar itu saja kita telah dapat melihat bahwa sesungguhnya yang hendak dibangun oleh UGM adalah dirinya sendiri, bukan orang-orang di dalamnya. Bukankah itu tak berbeda dengan visi sebuah perusahaan yang menjadikan orang-orang di dalamnya sebagai mesin bagi dirinya sendiri? Hal inilah yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan ala mesin pula, yang tujuannya hanya satu, yakni semakin mengangungkan UGM sebagai sebuah institusi. Kemudian apa yang dilakukan mahasiswa untuk menyikapinya? Tidak ada. Yang ada hanya “sikap-sikap sekadar” tadi. Jangankan membicarakan permasalahan bangsa, permasalahan di rumah sendiri saja tidak lagi dipedulikan. Pers-pers mahasiswa mandul, mahasiswa kehilangan daya tawarnya, entah apa yang ditakutkannya.
Dalam catatan pinggirnya yang berjudul “BOH”, Goenawan Mohammad pernah mengutip kata-kata Suu Kyi—pemimpin oposisi untuk hak-hak asasi di Myanmar, yang kira-kira seperti ini “Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan. Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang memegang kekuasaan, dan takut akan dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai.”
Mungkin Soe Hok Gie adalah orang yang telah membuang ketakutannya, bahkan ketakutan manusia yang paling esensial: ketakutan akan kesepian. Mungkin sekarang ketakutan itu justru tengah melanda kita, sehingga kita menjadi demikian lemah. Mungkin ketakutan itu membuat kita gelisah, namun bukan lantas bergerak, melainkan diam. Mungkin.
*Tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Masyarakat Indonesia: Struktur dan Perubahan
*Tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Masyarakat Indonesia: Struktur dan Perubahan
Takut itu manusiawi, demikian juga untuk bersikap sekedarnya.
ReplyDeleteYang tidak manusiawi itu adalah ketidakpedulian, ke-narsis-an untuk hanya membangun diri, abai, bahkan menindas orang lain. Itu monster.