Thursday, May 17, 2012

Mana Tahaaan…: Film Cult Yang Tetap Bertahan

Film cult, kebanyakan dipahami sebagai film yang tidak biasa. Terkadang muncul anggapan bahwa film yang dapat masuk ke dalam kategori film cult haruslah film yang “wah” dan berkualitas isi ceritanya. Padahal, sebenarnya tidak ada definisi mati dari pengertian film cult. Dilihat dari segi bahasa, “cult” merupakan kata benda dalam Bahasa Inggris yang berarti “cara memuja”. Dari pengertian tersebut dapat saja kita perluas menjadi “film yang memiliki pemuja”, atau “film yang memiliki penggemar tersendiri”. Jadi, definisi film cult sama sekali tidak terbatas pada isi cerita yang berkualitas.

Jika kita kulik lebih lanjut, akan muncul pengertian lain tentang film cult yaitu “film yang menginspirasi”, sehingga bagaimanapun filmnya, ia tetap memiliki penggemar fanatik yang meyakini bahwa film itu pantas dipuja. Tidak dapat kita pungkiri bahwa ukuran kualitas suatu film tidak akan pernah lepas dari subyektifitas si penilai, terkadang sesuatu yang “buruk” menurut ukuran normal justru dapat menjadi “unik” dalam ukuran yang lain.

Kali ini saya ingin membahas suatu film yang saya anggap sebagai film cult karena orisinalitas ceritanya yang kemudian mendorong munculnya film-film sejenis. Film tersebut adalah film Indonesia yang berjudul Mana Tahaaan… (1979) yang dibintangi oleh trio lawak kawakan Warkop DKI. Mengapa saya memilih film ini? Tak dapat kita pungkiri jika Warkop DKI merupakan fenomena tersendiri bagi dunia perfilman Indonesia. Kepopulerannya menembus semua lapisan masyarakat, baik masyarakat kelas ekonomi bawah maupun kelas ekonomi atas, baik usia tua maupun muda. Bahkan saat ini, ketika Warkop DKI tak lagi eksis di dunia perfilman, namun para penggemarnya masih setia membuat forum-forum online untuk membicarakan topik seputar Warkop DKI seperti http://www.facebook.com/group.php?v=wall&gid=38012043020 , bahkan tak ketinggalan situs resminya  http://www.warkopdki.org

Sumber: http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=21574


Terbentuknya trio Warkop DKI berawal dari Radio Prambors (saat itu Radio Prambors masih merupakan radio amatir). Awalnya, Temmy Lesanpura (Mahasiswa UI sekaligus Kepala Bagian Programming Radio Prambors) mengajak Kasino, Rudy dan Nanu untuk mengisi acara di Radio Prambors. Mereka bertiga menyambut baik ajakan tersebut, mereka lalu mengajak serta Dono dan kemudian disusul Indro yang bertempat tinggal tak jauh dari Studio Prambors dan sudah mengenal baik para kru.

Dari acara “Obrolan Santai di Warung Kopi” Radio Prambors tersebut Warkop DKI lantas mengembangkan sayap ke seni lawak pertunjukkan. Popularitas yang diperoleh dari acara Prambors tesebut sedikit banyak membuat trio ini dikenal dan mendapatkan job manggung yang lumayan. Beranjak dari seni pertunjukkan, Warkop DKI pun merambah ke dunia film. Film pertama mereka berjudul Mana Tahaaan… diproduksi pada tahun 1979 dan disutradarai oleh Nawi Ismail serta dibintangi antara lain oleh Warkop DKI, Elvy Sukaesih dan Rahayu Effendi.

Dalam film pertama mereka ini, mereka belum menggunakan nama asli mereka sebagai peran seperti film-film Warkop DKI selanjutnya. Di sini mereka berperan menjadi satu tokoh lain namun dengan karakter yang mendekati citra mereka: konyol. Karena sejak awal mereka muncul memang telah mengusung aliran komedi, maka film mereka pun memiliki genre yang sama.

Inti cerita yang sederhana menjadi ciri khas dari film-film Warkop DKI. Film Mana Tahaaan… ini pun bercerita tak jauh dari kehidupan sehari-hari mahasiswa dengan segala suka dukanya. Berawal dari scene Slamet (diperankan oleh Dono) dan Paidjo (diperankan oleh Indro) yang berasal dari Purbalingga hendak kuliah di Jakarta. Mereka menaiki kereta api menuju Jakarta. Sesampainya di Jakarta mereka tinggal di sebuah rumah kost. Pemilik rumah kost adalah seorang janda bernama Mira (diperankan oleh Rahayu Effendi), ia memiliki seorang pembantu yang cantik dan seksi  bernama Halimah (diperankan oleh Elvy Sukaesih). Banyak kejadian lucu dan konyol yang mereka alami sehari-hari, dan puncaknya adalah pada saat Slamet dan Paidjo serta dua sahabatnya (diperankan oleh Kasino dan Nanu) sama-sama menyukai pembantu tersebut.

Dialog dan adegan nyaris-seronok menjadi ciri khas lain yang selalu ada di film-film Warkop DKI. Dalam film ini pun sosok perempuan seperti Ibu Kost dan pembantu dicitrakan dengan tubuh seksi dan wajah cantik yang seolah dapat menggoda setiap pria yang melihatnya.

Karena tujuan dari film sejak awal memang murni sebagai hiburan belaka, maka aspek yang ditonjolkan pun tak jauh-jauh dari lawakan yang mengarah pada keseronokan dan bersifat slapstick. Lihat saja adegan di awal film (menit perama detik ke 38) saat Paidjo baru saja memasuki kereta api dan hendak meletakkan barang-barangnya ke tempat barang di atas kursi Slamet. Paidjo secara tak sengaja (dan tak sadar pula) menginjak kaki Slamet hingga ia terbangun sambil meringis kesakitan. Namun Paidjo tetap tak sadar dan terus saja meletakkan barang-barangnya dengan santai. Baru beberapa saat kemudian Paidjo sedikit sadar (belum sepenuhnya sadar) dan bertanya pada Slamet: “Ada apa Mas?”, setelah Slamet menjawab “Kaki saya jangan diinjek…” barulah Paidjo sadar dan mengangkat kakinya sambil minta maaf. Tak berhenti sampai di situ saja, adegan konyol terus berlanjut saat Paidjo menduduki kursi di depan Slamet karena di kursi itu terletak nasi bungkus milik Slamet. Kemudian tampak (maaf) pantat Paidjo yang terkena butiran-butiran nasi.

Guyonan semacam ini adalah guyonan yang paling lugas. Kelucuan yang ingin dimunculkan berasal dari gerakan konyol dan juga dialog dengan aksen yang terkesan sangat ndeso (kampungan), dengan kata lain guyonan yang dapat dinikmati tanpa harus berpikir terlalu lama. Cerita berlanjut pada saat Slamet dan Paidjo naik taksi yang justru membawa mereka ke tempat lokalisasi, bukan ke tempat kost seperti mau mereka. Slamet dan Paidjo lantas marah-marah kepada supir taksi dan akhirnya mereka pun diantar ke tempat kost-kostan tante Mira. 

Cerita terus berjalan sedemikian rupa, dengan guyonan yang bersifat slapstick dan sedikit-seronok. Keempat mahasiswa tersebut menyukai Halimah, pembantu tante Mira. Mereka pun berebut untuk unjuk kemampuan merayu Halimah. Hingga konflik utama muncul saat mereka berempat kekurangan biaya untuk kuliah sehingga masing-masing mencari pekerjaan sampingan. Kasino dan Nanu menjadi pengamen di jalan, Paidjo menjadi sopir taksi dan Slamet menjadi fotografer amatir. Mereka berusaha menyembunyikannya dari tante Mira. Namun akhirnya tante Mira mengetahuinya. Tante Mira pun marah kepada mereka dan menuduh mereka sebagai mahasiswa gadungan yang menipunya. Belum selesai satu masalah, muncul masalah lain lagi. Tante Mira mendapati Halimah tengah hamil. Tante Mira pun marah besar. Ia menuduh sopirnya yang menghamili, namun sopirnya membantah dan berani diadili. Tante Mira pun geram, ia balik menuduh keempat mahasiswa tersebut. Hingga akhirnya Halimah mengaku bahwa yang menghamilinya adalah pacar tante Mira. Tante Mira syok bukan kepalang, lantas mengusir pacarnya dan Halimah. Saat itulah ia mendapat undangan untuk ikut menghadiri pelantikan keempat mahasiswa tersebut menjadi sarjana. Tante Mira pun melupakan kesedihannya karena melihat keempat mahasiswa itu akhirnya lulus juga.

Inti cerita dari film ini sebenarnya sangat tidak jelas. Seperti slogan dari film-film Warkop DKI, “Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang”, film ini pun seolah hanya ingin membuat orang yang menontonnya tertawa, tertawa dan tertawa. Jadi inti cerita memang tak jadi soal dalam film-film Warkop DKI.

Nawi Ismail, sang sutradara. Memang telah banyak makan asam garam dalam menggarap film ber-genre serupa. Tengok saja Benyamin Biang Kerok (1972), Benyamin Brengsek (1973), Benyamin Koboi Cengeng (1975) serta Benyamin Tukang Ngibul (1975). Keempat judul film tersebut memiliki genre yang sama dengan film-film Warkop DKI yang kemudian banyak ia garap pada tahun-tahun selanjutnya. Nawi Ismail memang biasa menggarap film-film drama, komedi dan laga. Nawi tahu betul bagaimana membuat sebuah film komedi yang dapat menyasar masyarakat luas dan dapat membuat mereka tertawa terbahak-bahak sepanjang film. 

Pada masa jayanya, film Warkop DKI tidak hanya ditayangkan bioskop lokal. Jaringan bioskop untuk orang kelas menengah ke atas, Teater 21 pun sering menayangkan film mereka. Tak hanya itu, di kampung-kampung sering diadakan acara “layar tancap” yang menayangkan film Warkop DKI. Dan film-film Warkop DKI itu tak pernah sepi penonton!

Namun di sisi lain, kebanyakan film-film Warkop DKI tidak dapat diedarkan secara Internasional karena masalah pelanggaran hak cipta, yaitu digunakannya musik karya komponis Henry Mancini tanpa izin atau tanpa mencantumkan namanya dalam film. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi akibat kurangnya pengetahuan mengenai hak cipta. Lebih-lebih, pembuat film-film Warkop DKI pun pasti sama sekali tak memiliki bayangan untuk mengedarkan film-filmnya sampai ke tingkat Internasional, jadi mungkin mereka santai saja mencomot musik orang lain tanpa pikir panjang.

Seperti yang telah saya uraikan sebelumnya, film-film yang dibintangi grup Warkop DKI merupakan film yang berjaya pada masanya. Ia merupakan pelopor film dengan gaya komedi yang benar-benar slapstick. Dan karena itulah ia mudah diterima masyarakat luas. Itu semua bukan berarti tidak ada pihak-pihak yang kontra terhadap film-film Warkop DKI, namun jumlahnya memang kalah banyak dibandingkan pihak yang pro terhadap film-film Warkop DKI. 

Pihak yang kontra ini menganggap bahwa film-film tersebut dapat merusak moral karena tampilannya yang vulgar (pakaian wanita dalam film Warkop DKI memang selalu seronok) dan adegan-adegan yang menjurus pada seksualitas. Humor yang terkandung pun kebanyakan humor yang mengarah pada seks. Isi cerita yang tidak mendidik dan humor yang slapstick cukup banyak dihujat kelompok-kelompok tetentu. Tapi sekali lagi, maih jauh lebih banyak orang yang pro terhadap film-film Warkop DKI. Film-film tersebut pun laris di pasaran, sehingga pendapat kontra terhadap film-film Warkop DKI pun seolah hanya angin lalu saja.

Terlepas dari pro dan kontra masyarakat terhadap film-film Warkop DKI, saya melihat film ini sebagai film cult. Film yang membuat gebrakan pada masanya. Mengapa? Karena memang demikian kenyataannya. Pada masa itu, film-film yang banyak beredar adalah film komedi yang lebih beraliran laga seperti film-film Benyamin Sueb. Unsur komedi memang ada, namun tidak selugas film-film Warkop DKI. Ditambah lagi, kelebihan dari film-film Warkop DKI adalah unsur seksualitas pada humornya. Itu hal yang menarik jika mengingat bahwa hal yang paling menarik perhatian orang pada umumnya adalah hal-hal berbau seks. Apalagi seks di sini tidak ditampilkan secara murni seperti film-film erotis yang dibintangi Suzana, namun ditampilkan secara segar dalam humor. Ada sebuah jargon berbahasa jawa yang menarik “Lucu iku ora adoh seka saru”. Kurang lebih artinya adalah, sesuatu yang lucu itu tidak jauh-jauh dari sesuatu yang berbau seks. Ini sangat menarik dan menjadi relevan dengan kesuksesan film-film Warkop DKI yang memang menjual kelucuan lewat seksualitas.

Dengan begitu, maka pantaslah film Mana Tahaaan… mendapat status sebagai film cult. Kalau boleh saya bilang, film ini merupakan film komedi pertama yang berani membawa unsur seks pada saat itu. Mengingat pada saat itu unsur seks lebih umum dibawakan bersamaan dengan tema horor daripada komedi.

Lalu, di mana sisi “menginspirasi” dari film cult ini? Jawabannya jelas. Mari kita lihat perkembangan dunia film Indonesia setelah muncul film Mana Tahaaan… ini. Pertama, jelas Warkop DKI terus membuat film-film serupa setelah melihat tanggapan positif dari “percobaan” pada film pertama tersebut. Kedua, setelah masa-masa jaya dari perfilman Indonesia mulai surut dan akhirnya mulai bangkit kembali, sempat muncul “tren” film bertema komedi-seks di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya film bertema demikian yang beredar, tengok saja Quickie Express (2007), Mas Suka Masukin Aja (2008), ML (2008) dan XXL (2009). Siapa yang mempelopori genre film-film tersebut? Saya yakin jawabannya Warkop DKI!

Selain itu, saat era film di Indonesia mati suri dan beralih ke sinetron, Warkop DKI pun tak ketinggalan dikemas dalam bentuk sinetron berjudul Warkop DKI. Genre yang diusung tak jauh beda dengan film layar lebarnya. Tampilannya pun masih sama: wanita-wanita seksi yang menjadi andalannya. Selanjutnya mari kita lihat acara-acara televisi setelah sinetron Warkop DKI tak lagi ada, banyak sinetron-sinetron serupa yang muncul. Misalnya saja yang paling populer yaitu Komedi Tengah Malam. Konsep cerita dan gaya penyampaian humornya sangat mirip dengan Warkop DKI. Dengan pemeran utama laki-laki yang (maaf) berwajah jelek dan kampungan, dipasangkan dengan pemeran wanita yang cantik-cantik dan seksi. Tak lupa busana para wanitanya harus seronok, harus terbuka. Kelucuan yang dibawa pun bersifat slapstick. 


Sumber: http://www.facebook.com/WARKOPDonoKasinoIndro


Saat ini, personil Warkop DKI yang tersisa hanya tinggal Indro seorang. Semua rekannya telah meninggal. Walaupun tak lagi eksis di dunia perfilman, Warkop DKI tetap eksis di hati para penggemarnya. Terbukti dengan adanya grup-grup penggemar pada situs jejaring sosial Facebook maupun milis-milis. Selain itu, genre film komedi-seks pun masih banyak diikuti sampai saat ini. Walaupun kesuksesan film-film tersebut tidak mengikuti kesuksesan film-film Warkop DKI. Hal ini terjadi karena mungkin masyarakat sekarang sudah lebih kritis dalam menilai apakah suatu film layak tonton atau tidak.

Jadi, walaupun terdapat pro dan kontra dalam menanggapi film-film Warkop DKI, bagi saya film-film tersebut (terutama Mana Tahaaan…) tetap pantas mendapatkan status sebagai film cult. Film yang memiliki penggemarnya sendiri. Film yang mempelopori munculnya film-film lain yang sejenis. Film yang “out of the box” pada masanya. Akhir kata, tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!

Referensi: 
Badil, Rudy dan Indro Warkop.Main-Main Jadi Bukan Main.2010.Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia
 
Baihaqi, Q.Gaul Jadul, Biar Memble Asal Kece.2009.Jakarta:Gagas Media
 
Butler, Andrew M.Film Studies.2005.Harpenden:Pocket Essentials
 
Kristanto, J.B.Katalog film Indonesia, 1926-2007.2007.Jakarta:Nalar
 
Kristanto, J.B.Nonton Film Nonton Indonesia.2004.Jakarta:Penerbit Buku Kompas
 
McCarthy, Soren.Cult Movies In Sixty Seconds.2003.London:Sheena Dewan
 
Stadler, Jane with Kelly McWilliam.Screen Media.2009.Crows Nest:Allen&Unwin
 
Sudarmo, Darminto M.How to be A Good Comedian.2006.Jakarta:Niaga Swadaya
 
Susanto, A. Budi.Penghiburan.2005.Yogyakarta:Kanisius
 
Situs:

http://www.imdb.com
 
http://www.warkopdki.org



*Tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Media dan Budaya Kaum Muda

1 comment:

  1. Film-film Warkop sebelum era-nya Arizal justru malah jelas alurnya, Saila. Begitu dipegang Arizal isinya cuma kolase-kolase yang ga ada hubungannya satu sama lain. Menurutku film-film Warkop yang keren-keren sih pas digarap sama Nawi Ismail.

    ReplyDelete