Budaya pop dikenal sebagai budaya
yang diproduksi secara massal serta sarana penyebarannya melalui media massa.
Musik merupakan salah satu produk budaya yang universal, karena itu pula musik
“kebanyakan” biasa disebut dengan musik pop/mainstream. Bagi sebagian orang,
sifat masif dari budaya pop ini kerap menimbulkan asumsi negatif sebagai
sesuatu yang tidak menarik dan tidak prinsipil. Maka lantas muncul sesuatu
untuk meresistensi hal tersebut, sehingga muncullah genre “indie” yang berasal
dari kata Independent dalam bahasa
Inggris, termasuk dalam musik.
Selama ini musik indie identik
dengan musik yang anti-mayor, mampu melawan arus serta lain dari yang lain,
baik pada tataran produksi maupun isi: musikalitas dan pesan yang hendak
disampaikan. Di sini saya tidak akan membahas mengenai musikalitas, namun lebih
kepada pesan yang hendak disampaikan oleh apa yang disebut musik indie itu
sendiri.
Pada kelanjutannya, argumen bahwa
musik indie tersebut tidak hanya bicara tentang cinta namun juga pada ranah
sosial dan (mungkin) politik lantas memunculkan satu konsep yang disebut dengan
“lirik yang kritis” dari para audiens untuk musik indie tersebut. Sebutlah
beberapa review mengenai band Efek Rumah Kaca (ERK), Bangkutaman dan
Melancholic Bitch (Melbi), semua mengamini konsep tersebut.
Seiring berjalannya waktu, konsep
indie dan mainstream perlahan bias. Indie yang awalnya ditakutkan tidak akan
mampu menghidupi diri karena idealismenya terbukti survive, sebut saja sebuah
label indie bernama Jangan Marah Records milik Band ERK yang mampu hidup sampai
sekarang. Dengan demikian tentu dapat kita pahami bahwa musik indie tidak lagi
menjadi musik yang mesti “terseok-seok” untuk menyampaikan “lirik yang kritis”
pada audiens. Pertanyaannya, sejauh mana konsep kritis tersebut mampu dipahami?
Dan juga sebagai apa “lirik yang kritis” itu diterima oleh audiens.
Dari beberapa artikel review
mengenai musik dan band indie yang saya baca, rata-rata audiens mengonsepkan
kritis tersebut adalah ketika lirik-lirik lagu itu menyenggol isu-isu sosial,
politik, serta kegalauan zaman. Misalnya saja lagu “Belanja Terus Sampai Mati”,
“Di Udara” dan “Lagu Cinta Melulu” milik ERK, serta “Mars Penyembah Berhala”
milik Melbi dan “Ode Buat Kota” milik Bangkutaman. Pertanyaan berikutnya
adalah, setelah itu lantas apa? Apakah pesan yang disampaikan oleh kreator sama dengan pesan yang
diterima oleh audiens?Pernah saya mengobrol dengan seorang
teman yang mengaku menikmati musik-musik ERK, playlist di music playernya pun
penuh dengan lagu-lagu ERK. Dengan sangat lancar ia menyanyikan lagu “Belanja
Terus Sampai Mati”. Namun kecintaannya terhadap ERK tidak tercermin pada sikap
hidupnya sehari-hari, saat ia tertawa sambil menyanyikan lagu “Belanja Terus
Sampai Mati” seolah ia sedang menertawakan diri sendiri. Mengutip istilah dari
David Brooks dalam bukunya “Bobos In
Paradise”, teman saya ini mungkin cocok disebut dengan Bobo: Bourgeois
bohemians, yang diidentifikasikan sebagai “Highly
educated folk who have one foot in the bohemian world of creativity and another
foot in the bourgeois realm of ambition and worldly success.”
Hal
ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan tadi, sejauh mana pesan dari kreator diterima oleh audiens?
Apakah hanya berhenti pada tataran tren dan menjadi bagian dari hiburan semata
layaknya musik-musik lain yang mungkin dianggap “tidak kritis”? Atau
jangan-jangan pesan tersebut diterima secara kritis-apatis oleh audiens di mana
kreator
dan audiens sebetulnya sama-sama menyadari segala ketidakberesan yang ada namun
pada akhirnya tidak mampu melakukan apa-apa termasuk pada dirinya sendiri?
Mungkin sering kita dengar pernyataan semacam ini: “Ya itu memang salah sih,
tapi mau gimana lagi, semua orang juga melakukan itu.”
Jika
demikian, lantas sejauh apa indikator keberhasilan musik indie sebagai musik
yang kritis? Di mana sebenarnya posisi musik indie dalam kritik sosial? Atau
sebenarnya istilah kritis lebih tepat digantikan dengan sinis? Jangan sampai
kita terjebak pada ironi menertawakan diri sendiri, tanpa merasa perlu
memperbaiki.
*Tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Masyarakat Indonesia: Struktur dan Perubahan
Referensi:
Brooks,
David. 2000. Bobos In Paradise. Touchstone: New York
Menurutku terlalu berlebihan melihat musik sebagai elemen utama perubahan sosial. Oke dia bisa jadi salah satu faktor tapi bukan faktor utama. Bagaimanapun juga kan musik cuma sepersekian dari banyak elemen yang membangun sebuah struktur sosial. Kenapa Woodstock bisa jadi salah satu social movement, karena dia nerada di setting tempat dan waktu yang pas. Kenapa Iwan Fals jadi icon musik perlawanan, ya karena waktu itu dia berhadapan dengan rezim yang represif. Itu beberapa contoh
ReplyDeleteNah terkait sejauh mana pesan yang diterima audiens, ini susah. Apalagi kalo kita ngomong di ranah budaya pop. Kalo aku ngutip kata-katanya Alex Ross, sulit untuk mendedahkan pesan-pesan dalam musik mana yang penting dan mana yang kabur. Masih sulit untuk membedakan jadi fan ato kritik musik. Apalagi di Indonesia kan belum terbangun sistem apresiasi musik yang bagus, jadi sebagian besar jatuhnya musik, bahkan musik dari band-band (males banget nyebut kata ini) indie, pun jatuh-jatuhnya lebih ke fungsi hiburan aja
Sori dowo :)
menurut ku lirik2 yang ditulis di atas msh sebatas pemaparan fenomena sosial dan juga fungsi autokritik semata, untuk jadi sebuah social movement y seperti yang disebutin juragan warung di atas, harus di waktu dan tempat yang pas,,,
ReplyDeleteNek menurutku sih,
ReplyDeletesajakmen musik emang sudah jadi salah satu media perubahan sosial kok. Perubahan itu bisa ke arah lebih baik atau buruk. Coba kita lihat saja beberapa contoh pengaruhnya dari musik pop lokal tahun-tahun terakhir ini : galau berlebihan, 4LaY, cara pandang (remaja) terhadap kehidupan (cinta), gaya hidup, cara ngomong, hingga sikap dan pola pikir.
Musik-musik non-mainstream yang dianggap membawa 'pesan' sepertinya baru bisa memberi perubahan kepada pendengar-pendengar yang 'berpikir'.
Musik mainstream itu biasanya gampang dicerna, apalagi kalau temanya ya itu-itu saja. Aku sendiri sih nggak tahu kalau misalnya suatu hari nanti musik non-mainstream 'pembawa pesan' tersebut akhirnya mendapat sorotan yang lebih di masyarakat umum bakal sama gampangnya dicerna dan sama gampangnya memberi perubahan seperti layaknya tren.
Lha wong belum pernah berhasil jadi tren.
Kalau ada yang salah mohon dikoreksi.
Mas Azam....
ReplyDeleteKalo saya liat sih itu bukan perubahan sosial mas. Lebih ke fenomena aja sebagai bagian dari tren. Kalo perubahan sosial kita kan otomatis ngomong lembaga masyarakat (kelompok, organisasi, action group) yang melakukan aksi untuk ngerubah suatu sistem besar . Nah galau, 4Lay sama hal lain yang mas sebutin itu sejauh ini yang saya liat masih belum terbentuk jadi satu "lembaga". Memang jumlah mereka saat ini keliatan banyak,dimana-mana ada tapi apa iya dengan jumlah yang banyak itu mereka otomatis melembaga? Belum tentu.
Kalo soal musik mainstream ato non-mainstream. Well, sebetulnya kalo mas liat, apa yang mas sebut musik non-mainstream itu justru sama kuat kok. Jangan terlalu percaya dengan apa yang diliat di media. Mereka memang gak dapet exposure media, tapi pergerakannya justru jauh lebih trengginas. Karena apa? Pertama, mereka bisa berkarya dengan bebas tanpa perlu dipusingkan hitungan untung rugi ala industri. Kedua, mereka punya jaringan komunitas yang kuat yang saling mendukung. Ketiga, mereka tau arti penting fanbase. Itu yang gak keliatan di band-band mainstream.
Juga jangan pernah berharap musik so called non-mainstream bakal jadi tren. Justru itu yang sangat dihindari. Counter culture kok pengen jadi tren. Dimana "counter"-nya coba ?
Kalo ada yang salah mohon maap. Sori panjang :)
Ooo, begitu yang Anda maksud dengan 'perubahan sosial', Mas Jaki. Mungkin saya salah istilah ya :))
ReplyDeleteSoal musik non-mainstream lak lha iyo itu jadi budaya tandingan mainstream. Maksud saya sebelumnya sebenernya adalah sebuah pengandaian+pertanyaan kalau-kalau musik tersebut entah gimana caranya terekpos besar-besaran (namun masih dalam bentuk yang murni) apakah masyarakat awam sama mudahnya mencerna musik tersebut?
Saya (sangat?) paham pergerakannya kok, minimal di Jogja, soalnya sekarang juga masih suka gaul sama beberapa teman di situ ;) Tapi saya juga bukan orang pinter di bidang itu juga ding :p
Hmmm.....jangan pesimis kalo masyarakat ga bisa nerima mas. Buktinya medio 90an, Dewa 19 yang punya album se"ajaib" Pandawa Lima aja bisa tembus satu juta kopi.Bahkan band-band kayak Cherry Bombshell aja bisa tiap hari wara-wiri di TV. Artinya publik nerima kan?. Intinya sih lebih ke bagaimana media ngasih porsi seimbang buat para musisi. Biar masyarakat gak konsumsi yang itu-itu aja. Biar punya pilihan.....
ReplyDeleteYak, silakan berdiskusi dengan rukun ya mas-mas sekalian :)
ReplyDeleteberubah ny format radio show tv one dari mbah sys ns centris ke sandy pass band centris jg menarik tuh dibahas, karena kontennya juga jaauuhhhh berbeda, ada semacam semangat counter culture di dalamnya untuk acara musik serupa di pagi hari :D
ReplyDelete